Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bag 22)

Beberapa waktu lalu saya menjumpai sebuah konten menarik yang memuat pernyataan “Puasa di era generasi terbaik.” Dalam konten tersebut, ditampilkan potongan iklan salah satu produk yang pernah tayang di televisi sekitar tahun 90-an. Begitu melihatnya, saya langsung bisa menebak bahwa si pembuat konten, pasti adalah bagian dari ingatan atau memori kolektif tahun itu, kemungkinan besar dari generasi X atau Y.

Saya tidak tergesa-gesa menghakimi apakah benar masa itu adalah generasi terbaik, sebab setiap era tentu punya dinamika dan keunikannya sendiri. Akan tetapi, bagi yang melintasi masa tersebut, memori kolektif cenderung membenarkan bahwa era 80 hingga 90-an merupakan masa yang istimewa. Masa itu dilewati oleh generasi Baby Boomers, X, dan Y, tiga generasi yang banyak memandang tahun 90-an sebagai puncak tradisi dan peradaban manusia. Meskipun bisa juga disebut sebagai era antiklimaks, puncak yang setelahnya membawa degradasi perlahan menuju titik nadir peradaban.

Tugas saya saat ini adalah mengisahkan kembali memori kolektif tersebut agar dapat dipahami oleh generasi setelahnya. Saya, bersama tiga generasi itu, tentu sedang ikut larut dalam hiruk-pikuk era milenial sekarang. Di zaman ini, teknologi digital begitu dominan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dominasi itu sebenarnya bersifat imajinatif saja, karena manusia tetap berpijak di bumi, tidak benar-benar menjadi bagian dari dunia digital secara fisik ragawi.

Pada era 80 hingga 90-an, tentu saja tidak ada yang terlalu berharap bahwa teknologi digital akan menjadi bagian dari kehidupan seperti sekarang. Dalam dunia pendidikan, misalnya, saat itu baru diperkenalkan Lembar Jawaban Komputer (LJK). Alat ini dipakai untuk mengoreksi hasil ujian menggunakan mesin pembaca optik yang mendeteksi isian pensil karbon. Penggunaan LJK ini mulai berlaku di Indonesia awal 90-an, sementara di negara-negara maju telah lebih dulu digunakan pada dekade 70 atau 80-an.

Salah satu fenomena sosial penting di tahun 80 hingga 90-an yang menjadi memori kolektif adalah cara masyarakat muslim menyambut hari raya Iduladha. Masyarakat menyambut dengan penuh semangat, bukan hanya dari sisi religius dengan berpuasa sunnah pada hari Tarwiyah dan Arafah, tetapi juga dalam merawat tradisi dan kebiasaan khas selama Iduladha. Di kalangan masyarakat Sunda, bulan Zulhijjah bahkan dikenal dengan sebutan “Rayagung”, gabungan dari kata “Raya” dan “Agung” yang mencerminkan keutamaan bulan tersebut.

Malam takbiran di kampung pada Iduladha tidak kalah semarak dibanding Idulfitri. Malam itu dirayakan dengan gegap gempita, takbir berkumandang, bedug bertalu-talu, dan jalan-jalan yang masih berupa bebatuan dipenuhi anak-anak. Dalam situasi itu, cerita tentang makhluk halus seperti sandekala, wewe gombel, dan kelong wewe tidak berlaku. Anak-anak percaya bahwa makhluk-makhluk tersebut akan menghindari malam takbiran karena kepanasan oleh kumandang takbir. Padahal sesungguhnya, keberanian mereka datang dari semburan dopamin dalam tubuh yang membuat rasa takut seakan lenyap.

Memang, dari sisi masakan, Iduladha tidak semewah Idulfitri. Orangtua biasanya hanya menyiapkan hidangan sederhana untuk berbuka puasa sunat dan untuk makan bersama setelah salat Iduladha. Namun kesederhanaan itu justru mempererat suasana kekeluargaan dan kerendahhatian dalam menyambut hari raya.

Setelah salat sunat Iduladha, masyarakat saling bersalaman dan memperkuat tali silaturahmi. Bersalaman secara massal menjadi rutinitas paling tidak dua kali dalam setahun, dan pada momen inilah koneksi emosional dan batiniah antarwarga diperkuat. Dari salaman itu, terbangun rasa percaya diri dan pengakuan satu sama lain bahwa manusia bukan makhluk yang sempurna, melainkan saling membutuhkan dan saling mengakui kesalahan.

Sikap saling bersalaman itu mencerminkan nilai luhur, bukan merasa paling benar, melainkan membuka diri untuk saling memahami dan meminta maaf. Dalam hubungan antarmanusia, perasaan bersalah yang diakui dan ketulusan yang disampaikan justru mengangkat martabat manusia lebih tinggi daripada mereka yang selalu merasa berada di atas kebenaran dan ada di tempat tertinggi daripada orang lain.

Hal paling dinanti dalam Iduladha tentu saja pembagian daging kurban. Pada tahun 80 hingga 90-an, orang yang mampu berkurban dengan sapi masih terbilang jarang. Biasanya, satu kampung hanya memiliki satu atau dua orang yang berkurban dengan kambing terbaik. Jumlah hewan kurban saat itu belum sebanyak sekarang, dan itu wajar karena jumlah penduduk pun belum padat seperti sekarang.

Jika satu DKM masjid bisa menyembelih dua hingga tiga ekor kambing saja, itu sudah dianggap pencapaian yang sangat bagus. Ini menjadi cerminan seleksi alam yang terjadi kala itu, kebutuhan masyarakat terhadap daging dapat terpenuhi selama satu minggu penuh meskipun hanya dengan dua hingga tiga kambing per masjid. Hari-hari tasyrik diisi dengan kegiatan membuat sate dan memasak daging, sesuatu yang tidak dilakukan di hari biasa.

Kegiatan memasak daging kurban, terutama membuat sate, menjadi tradisi khas yang hanya terjadi sekali dalam setahun. Momen ini dinanti oleh seluruh anggota keluarga, terutama anak-anak, yang jarang bisa menikmati daging dalam keseharian. Pengalaman ini menjadi kenangan kuliner yang tak tergantikan dan membentuk memori indah tentang Iduladha masa itu.

Ingatan kolektif mengenai masa-masa itu masih tertanam kuat dalam diri generasi yang mengalaminya. Bahkan bagi generasi Baby Boomers yang kini sudah memiliki cucu dan cicit, mereka tetap merasa ada sesuatu yang hilang dari kehidupan sekarang. Salah satu yang paling mereka rindukan adalah penyebutan bulan “Rayagung” sebagai penyelaras Zulhijjah, yang bagi mereka menyimpan makna budaya dan religius tersendiri.

Zaman boleh berganti, teknologi boleh berubah, tetapi kenangan dan nilai yang tertanam di masa lalu tetap menjadi fondasi identitas. Kisah tentang bagaimana masyarakat merayakan Iduladha di masa 80-an dan 90-an menjadi cerminan cara hidup yang berakar pada kebersamaan, kesederhanaan, dan penghormatan terhadap tradisi.

Generasi setelahnya, patut menghargai dan merekam ulang ingatan-ingatan itu sebagai cermin untuk menilai bagaimana kita menjalani hidup hari ini. Jika memori kolektif itu disampaikan dengan jujur dan utuh, ia akan menjadi bahan refleksi sekaligus sumber kekuatan bagi generasi masa depan.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bag 22)"