Mencari Rumah Kang Iqbal: Sebuah Pelajaran tentang Konfirmasi dan Klarifikasi

Di era modern ini, nasihat agar kita tidak mudah mempercayai orang yang belum dikenal masih tetap relevan. Terlebih dalam situasi tertentu, seperti ketika kita menanyakan alamat seorang teman kepada seseorang yang hanya kita temui secara sepintas.

Sikap kehati-hatian ini bukanlah bentuk suudzon (berprasangka buruk), melainkan lebih kepada pemahaman terhadap kemungkinan adanya kesalahan persepsi. Kesalahan tersebut bisa terjadi karena adanya niat baik dari orang yang ditanya untuk membantu, atau karena nama teman yang dimaksud ternyata memiliki kesamaan dengan nama orang lain yang lebih dikenal oleh si pemberi petunjuk.

Nama memang merupakan sesuatu yang umum atau “pasaran”, artinya banyak orang yang memiliki nama yang sama. Sebagai contoh, dalam satu lingkungan kampung saja, sangat mungkin ditemukan beberapa orang yang bernama Budi, Anton, Dede, Ihsan, Agus, Iqbal, Indah, atau Agung.

Bahkan, bisa jadi satu nama digunakan oleh paman dan keponakan sekaligus. Tanpa adanya penjelasan atau atribut yang lebih spesifik, informasi mengenai seseorang bisa menjadi bias. Misalnya, ketika seorang kurir paket bertanya, “Kang, kenal sama Budi, gak?”, maka kita akan cenderung menanyakan alamat lengkapnya terlebih dahulu.

Jika ternyata dalam satu RT terdapat tiga orang dengan nama Budi, maka kita terpaksa akan menunjukkan ketiganya kepada sang kurir agar ia bisa memastikan sendiri.

Hal seperti ini bisa dihindari bila nama seseorang dalam satu wilayah benar-benar unik, misalnya Johson. Atau, minimal ketika memesan barang secara daring, penulisan nama disertai dengan julukan atau alias, misalnya “Budi (alias Budi Handuk)” agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Hari ini, seusai meliput kegiatan Dialog Kebangsaan, saya bersama enam rekan lainnya; Bu Ochi, Bu Esti, Indah, Rismaya, Fadhil, dan Iki bergegas menuju Kampung Jeruk Nyelap. Tujuan kami adalah menjenguk istri dari Kang Iqbal, seorang rekan sekantor, yang baru saja melahirkan.

Tanpa melakukan konfirmasi terlebih dahulu, kami langsung berangkat dengan keyakinan bahwa sang pengemudi, Kang Iki, mengetahui alamat tujuan. Dalam benak saya, mereka yang tidak familiar dengan wilayah Jeruk Nyelap mungkin akan mengira kampung ini membentang dari jalan masuk hingga ke wilayah Cipanengah Hilir dan Pangkalan Kulon. Padahal, setelah mencapai sebuah madrasah dekat penjual air cacing, nama kampungnya sudah berubah menjadi Malimping.

Karena sang pengemudi berpikir seperti kebanyakan orang lainnya, maka ia membawa kami menyusuri kawasan yang diyakininya sebagai bagian dari Jeruk Nyelap.

Sebenarnya saya ingin mengingatkan, namun karena saya sendiri tidak tahu pasti alamat yang dituju, saya memutuskan menggunakan "GPS Naros" dengan bertanya kepada seorang pemuda yang berada di pinggir jalan.

Saya menanyakan keberadaan rumah Kang Iqbal, pegawai Pemda Kota Sukabumi. Dengan percaya diri, pemuda tersebut menunjukkan arah sambil mengatakan, “Iya, Pak, jalan ini. Di sana rumah Kang Iqbal.” Kami pun turun dan menyeberang.

Untuk memastikan, saya kembali bertanya kepada pedagang bensin eceran yang berada di dekat situ. Ia mengangguk, namun kemudian mengklarifikasi bahwa ia tidak mengenal Kang Iqbal yang saya maksud.

Karena kami sudah terlanjur turun dari kendaraan, kami mengikuti petunjuk GPS dan menuju rumah yang ditunjukkan. Dalam hati kecil, kami semua sebenarnya menyadari bahwa kami berada di jalur yang salah, namun rasa “tanggung” itulah yang membuat kami tetap melanjutkan.

Ternyata benar, orang yang kami temui di rumah tersebut memang bernama Iqbal, tetapi bukan Iqbal yang kami maksud. Di lingkungan itu, orang mengenalnya sebagai “Ibo”, sementara rekan kami yang baru memiliki anak dijuluki “Ibeng”.

Pada akhirnya, kami kembali ke kawasan Jeruk Nyelap. Kali ini, setelah mendapatkan petunjuk dari Kang Agus dan sepakat bersama, kami berhasil sampai di rumah yang benar. Namun, rumah tersebut kosong. Informasi yang kami terima menyebutkan bahwa Kang Iqbal sedang membawa anaknya untuk imunisasi.

Dari pengalaman ini, dapat disimpulkan bahwa ada dua hal penting yang sebelumnya kami abaikan: pertama, tidak mengonfirmasi alamat secara langsung; dan kedua, tidak memastikan keberadaan orang yang hendak kami kunjungi.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sejatinya diajarkan untuk melakukan konfirmasi dan klarifikasi atas segala informasi. Jangan sampai hanya karena kita sudah mengetahui bahwa kuda pada umumnya berkaki empat, lalu dengan penuh percaya diri kita menjawab “empat” ketika ditanya jumlah kaki kuda, tanpa melihat langsung kondisinya.

Kebenaran ilmiah tidak selalu identik dengan pengetahuan umum. Sebagai contoh, masyarakat umum percaya bahwa matahari terbit dari timur, padahal secara ilmiah, fenomena tersebut disebabkan oleh rotasi bumi, bukan karena matahari benar-benar berpindah tempat.

Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Mencari Rumah Kang Iqbal: Sebuah Pelajaran tentang Konfirmasi dan Klarifikasi"