Catatan Harian: Antara Prokopim, Bagian Umum, dan Jumat Berkah

Hari ini adalah Jumat, hari yang bagi banyak orang, khususnya masyarakat muslim perkotaan, sering disebut sebagai Jumat Berkah. Istilah ini menjadi populer dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak pandemi Covid-19.

Jumat Berkah tidak hanya menegaskan kembali kedudukan hari Jumat sebagai penghulu segala hari, tetapi juga menjadi sarana mempererat hubungan sosial melalui kegiatan berbagi, biasanya dalam bentuk pembagian makanan.

Saya sendiri tidak hendak membahas terlalu jauh mengenai filosofi Jumat Berkah, hanya saja kebetulan kegiatan hari ini berlangsung di hari Jumat, sehingga saya merasa pantas mengaitkannya dengan suasana itu.

Saya percaya bahwa setiap hal yang datang kepada kita adalah getaran semesta yang selaras dengan hati kita, dan ketika gelombang itu tepat, semesta akan memantulkannya kembali menjadi kebaikan.

Hari ini saya dan tim Dokumentasi Pimpinan diundang ke Rumah Dinas Wali Kota Sukabumi. Bagi kami, undangan ke rumah dinas biasanya berarti agenda penting, meskipun tidak selalu demikian.

Kadang sesuatu yang penting bagi orang lain tidak perlu kita sambut berlebihan, begitu pun sebaliknya. Saya cenderung membiarkan saja setiap peristiwa hadir apa adanya.

Kami hadir lengkap dari bagian Prokopim, hanya tanpa kehadiran TU Pimpinan. Tentu bukan berarti TU Pimpinan dilupakan, karena kami tetap satu kesatuan.

Di rumah dinas, Pak Ayep Zaki selaku Wali Kota Sukabumi menyampaikan tiga pesan yang sederhana: mendoakan kebaikan untuk pemerintah kota, menjaga kekompakan tim Prokopim, dan mendukung semua program pemerintah daerah.

Pesannya terasa sederhana, namun saya akui pikiran saya sering kali terbang ke mana-mana. Apalagi melihat hidangan lezat yang sudah tertata di depan kami.

Sejujurnya saya sedikit menyesal karena sebelum ke rumah dinas sempat membeli batagor, padahal ternyata di sini sudah tersedia makanan yang mengundang selera. Jadinya saya harus menahan porsi supaya perut tidak terlalu penuh.

Setelah makan bersama, kami membuat lingkaran kecil, sebuah "riungan" yang hangat. Ketua TP-PKK, Ibu Ranty, dengan ramah mempersilakan kami menikmati hidangan. Saya memperhatikan beliau, begitu piawai menciptakan suasana nyaman dan bersahabat.

Selama ini, meski kami sering meliput kegiatan pimpinan, menyiapkan sambutan, dan membuat resume rapat, jarang sekali merasa sedekat ini. Acara santai seperti hari ini justru membuka sekat dan membuat kami merasa diakui sebagai bagian penting dari tim.

Bahkan Mang Den, salah seorang teman, berkelakar bahwa Bu Ranty adalah ibu kami semua, anak-anaknya yang terkadang suka nakal.

Saya sendiri tidak menyangka bahwa pertemuan hari ini akan berakhir penuh kegembiraan. Dimulai dengan makan bersama, dilanjutkan canda dan diskusi hangat.

Setelah sesi makan, Pak Suhendar, Kabag Prokopim, menyampaikan kesan bahwa acara semacam ini baiknya dilakukan berkala, sebulan sekali misalnya. Saya membenarkan pendapat beliau.

Ada usulan agar "riungan" serupa kelak diadakan di tempat wisata, bukan hanya di rumah dinas. Ekspresi Pak Kabag ketika mendengar ide itu terlihat heran, seolah sudah membayangkan kerepotan di masa depan, tetapi justru membuat kami semua tertawa lepas.

Saya tidak hendak memaksakan agar kegiatan seperti ini harus rutin setiap bulan, maka ketika berbicara kepada Bu Ranty, saya hanya mengatakan bahwa hal itu saya serahkan kepada Pak Kabag untuk dipertimbangkan.

Ada pula wacana agar kegiatan ini kelak disatukan dengan Bagian Umum, sehingga bisa mencakup sekitar 120 orang.

Saya merasa, dengan suasana sederhana dan santai, hanya duduk bersila melingkar sambil menikmati makanan, semua sekat hilang. Kita menjadi manusia biasa, lepas dari ketegangan birokrasi dan tekanan pekerjaan.

Ruang semacam ini sangat membantu munculnya ide-ide segar dan gagasan besar. Saya membayangkan, bila kegiatan serupa dilakukan di Ruang Utama Balai Kota, barangkali suasana akan lebih kaku, tertutup, bahkan tawa pun terasa dibatasi.

Namun di rumah dinas hari ini, ekspresi kami lebih bebas. Saya menyadari, misalnya, dalam suasana formal, mungkin Pak Herman tidak akan berani mengemukakan pendapatnya langsung di hadapan Pak Kabag. Tetapi di suasana cair seperti ini, semua bisa terbuka.

Obrolan santai itu juga merembet ke hal-hal teknis pekerjaan. Bu Ochi menyatakan bahwa kegiatan seperti ini memang harus dijadwalkan secara berkala. Bu Esti sempat menyinggung intensitas penjadwalan yang kadang membuat dirinya cenat-cenut.

Mang Agus setuju bahwa kegiatan riungan dapat mempersatukan emosi tim. Mang Husen dengan berani mengutarakan soal gaji THL yang belum setara UMR. Mang Deden juga blak-blakan mengatakan bahwa terkadang harus mengeluarkan uang pribadi untuk keperluan kegiatan di akhir pekan. Sementara, Kang Setiyono memperkenalkan diri kepada kami.

Intan, dengan tangisan tulus, bercerita betapa sulitnya menghadapi tamu-tamu tidak resmi yang ngotot ingin menemui Pak Wali. Agnes, yang biasanya sangat fasih membaca susunan acara, sampai terbata-bata saat mengungkapkan unek-uneknya. Memes juga mengakui mengalami hal serupa.

Ada pula tiga ASN baru yang akhirnya berani bicara langsung kepada Bu Ranty, menyampaikan pendapat mereka tanpa rasa takut. Apa yang mereka lakukan justru berbanding terbalik dengan Kang Bolang yang hanya senyam-senyum saat diberi kesempatan berbicara.

Kemudian, Bu Abril hanya mengatakan "sudah cukup.." disambut tawa oleh kami. Cukup dalam konteks ini bukan berarti "sudah acaranya hentikan sampai di sini," namun lebih kepada agar muncul pertanyaan susulan. Setelah ditanya oleh Bu Ranty, akhirnya Bu Abril bercerita bagaimana seharusnya ruang arsip benar-benar ideal sebagai tempat penyimpatan arsip.

Teh Yeni, yang selama ini lebih banyak diam, juga akhirnya buka suara menjelaskan bagaimana penjadwalan acara sebenarnya sudah diverifikasi Pak Wali. 

Hal ini membuka mata semua orang, termasuk saya, bahwa jadwal padat yang sering membuat kami kewalahan sebenarnya sudah melalui proses panjang dan bukan semata-mata dijadwalkan asal-asalan. Bu Ranty sendiri menegaskan bahwa Pak Ayep memang harus dijaga ritmenya, karena beliau pun manusia biasa, bukan robot yang bisa terus-menerus bekerja tanpa jeda.

Saya merasa bahwa dalam pola kerja modern, suasana seperti ini wajib dihidupkan secara konsisten. Kadang kita memang perlu ruang merdeka, tanpa tekanan, agar bisa mengenali teman kerja bukan hanya dari tugasnya saja, tetapi juga dari rasa, keluhan, bahkan kebahagiaannya.

Saya terkesan melihat betapa satu kegiatan sederhana seperti hari ini mampu membangkitkan semangat bersama, memulihkan motivasi, dan membuat kami merasa dihargai.

Saya mencatat dalam hati, bahwa getaran kebaikan, seperti yang saya yakini sejak pagi, ternyata betul-betul selaras hari ini. Semua berjalan tenang, bersahaja, apa adanya, namun justru itulah yang membuat hati terasa hangat.

Kalau nanti ditanya bagaimana sebaiknya suasana kerja di sebuah organisasi publik, saya mungkin akan menjawab: seperti hari ini, di mana manusia boleh menjadi manusia seutuhnya, tanpa beban, tanpa pura-pura, sambil makan bersama dan saling mendengarkan. Dan penting saya katakan, ini baru awalan...

Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Catatan Harian: Antara Prokopim, Bagian Umum, dan Jumat Berkah"