
Hari kemarin, Kamis (19/6/2025), ada peristiwa menggelitik yang terus bermain-main dalam pikiran saya. Peristiwanya sederhana, tapi menyimpan ironi yang dalam. Saat itu, tim Dokumentasi Pimpinan Pemerintah Kota Sukabumi, yang biasanya berada di balik kamera, justru menjadi obyek foto di salah satu studio pemotretan. Bayangkan saja, mereka yang biasa memotret Wali Kota, Wakil Wali Kota, para pejabat, bahkan tamu dari luar negeri, kini pasrah duduk manis di depan lensa.
Lebih lucu lagi, mereka yang biasanya mengarahkan, mengatur komposisi, dan menentukan angle potret orang lain, sekarang harus rela diarahkan oleh sang fotografer: "Ayo, senyumnya lebar, cissss!", "Ibu, cara duduknya agak miring ya!", "Akang, coba tangannya diangkat sedikit!" dan instruksi lainnya yang biasa mereka lontarkan ke orang lain. Kini, perintah itu kembali menghampiri mereka. Benar-benar situasi yang terbalik.
Dalam hati saya bergumam, apakah ini karmapala? Apakah ini bentuk pembalikan semesta, semacam pengingat bahwa hidup selalu berputar? Bisa jadi ini adalah bentuk penebusan kecil karena selama ini kerap menyuruh orang senyum di depan kamera meski hati mereka mungkin sedang tak karuan. Betapa seringnya kita menyaksikan orang yang terpaksa tersenyum, hambar, kecut, dingin, suram, bahkan menyedihkan. Tapi demi estetika dokumentasi, ekspresi itu tetap diabadikan.
Namun jika kita tarik ke dalam teori sosial, situasi ini dapat dilihat sebagai bentuk role reversal, pertukaran peran sosial yang tak terhindarkan. Menurut Erving Goffman dalam teorinya tentang dramaturgi sosial, setiap individu dalam kehidupan sehari-hari memainkan peran seperti aktor di atas panggung. Ada saatnya seseorang berada di depan layar, dan ada saatnya di balik layar. Ketika peran itu berganti, kita tidak hanya mengalami posisi baru, tetapi juga memahami beban dan tuntutan dari peran tersebut.
Hal ini juga menyiratkan bahwa dalam struktur sosial, tidak ada peran yang benar-benar permanen. Bahkan para dokumentator, yang biasanya ‘mengatur panggung’, pada suatu titik harus ‘bermain peran’ di atas panggung itu sendiri. Ini adalah pengingat bahwa setiap profesi dan posisi dalam masyarakat saling bergantung dan saling melengkapi. Tidak ada yang sepenuhnya dominan atau sepenuhnya di balik layar.
Kejadian kemarin juga memperlihatkan satu sisi manusia yang sering kita lupakan, keinginan untuk ikut merasakan. Dalam istilah sosiologi simbolik, ini bisa dikaitkan dengan konsep empathetic participation, di mana seseorang ingin ikut mengalami pengalaman orang lain untuk memperluas pemahaman sosial dan emosionalnya. Para juru dokumentasi itu, barangkali, secara tak langsung ingin merasakan apa yang selama ini dirasakan oleh orang-orang yang mereka potret, kikuk, malu, atau justru menikmati momen jadi pusat perhatian.
Paradoks kehidupan seperti ini sebenarnya sering terjadi. Seorang pengusaha besar bisa saja diam-diam menikmati kopi sachet di rumah kontrakan masa lalunya, sekadar untuk mengingat rasa perjuangan. Atau seorang koki ternama yang sesekali ingin makan mi instan di tengah malam. Jadi, sangat mungkin juga seorang fotografer profesional ingin difoto dalam pose terbaiknya, sekadar merasa: "Saya juga ingin kelihatan keren, dong."
Pengalaman ini juga mengajarkan bahwa tidak ada peran yang lebih tinggi atau lebih rendah. Semua peran memiliki nilai dan maknanya masing-masing. Ketika kita berpindah posisi, kita belajar tentang kerendahan hati dan empati. Kita mulai paham bahwa menjadi obyek potret pun tak semudah yang dibayangkan, perlu keberanian untuk tampil, untuk dibingkai, dan untuk dikenang.
Dan yang paling penting, pengalaman kecil seperti ini menguatkan ikatan antarpersonil dalam tim. Saat semua tertawa melihat gaya duduk yang canggung, ekspresi yang kaku, atau gaya tangan yang aneh, di situlah terbangun kebersamaan.
Ada pepatah lama yang menyebutkan hidup itu seperti roda yang berputar. Hari ini kita memotret, besok kita yang dipotret. Hari ini kita mengarahkan, besok kita yang diarahkan. Dan dari semua perputaran itu, mu mudah-mudahan kita menjadi manusia yang lebih peka, lebih mengerti perasaan orang lain, dan tentu saja, lebih siap tersenyum tanpa harus disuruh.
Posting Komentar untuk "Saat Tukang Potret Diperintah Lebih Bergaya oleh Juru Potret, Sebelum Dipotret di Studio Potret"