Radio Komunikasi: Break, Roger, Copy, Ganti!

Peneliti sosial sudah tentu memahami apa yang dikemukakan oleh Johan Huizinga tentang Homo Ludens, sebuah konsep yang menyebut manusia bukan sekadar Homo Sapiens, tetapi juga Homo Ludens, makhluk yang senang bermain.

Teori tersebut menegaskan bahwa dorongan bermain adalah salah satu naluri paling mendasar dalam diri manusia. Bahkan, Huizinga menempatkan unsur bermain sebagai fondasi utama lahirnya budaya, karena di dalam permainan tersimpan kreativitas, imajinasi, kebebasan, dan pola interaksi sosial yang terus menghidupi peradaban manusia.

Pernyataan Huizinga memang terbukti benar. Sejak peradaban manusia paling awal, permainan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup mereka. Dalam perspektif agama, terutama Islam, dijelaskan bahwa kehidupan dunia pada hakikatnya hanyalah permainan dan senda gurau.

Artinya, sifat bermain ini sudah melekat dalam kodrat manusia, sehingga memengaruhi cara mereka menata hidup, membangun komunitas, dan menciptakan nilai-nilai sosial budaya dari masa ke masa.

Atas alasan itulah muncul dugaan bahwa tiga revolusi besar dalam sejarah manusia, pertanian, industri, dan teknologi, tidak terlepas dari dorongan dasar manusia untuk bermain-main, mencoba, dan berkreasi.

Jika dilihat dari dekat, permainan sesungguhnya menjadi latihan dan ruang eksperimen bagi manusia untuk mengasah nalar dan mencipta. Proses itu lalu menumbuhkan kemajuan teknologi, membuka peluang kolaborasi, dan membangun struktur sosial yang lebih kompleks dibanding makhluk lain.

Manusia memang tidak pernah lepas dari permainan, dari waktu ke waktu, musim ke musim, permainan datang silih berganti. Tidak hanya anak-anak yang bermain, orang dewasa pun demikian. Mereka bermain dalam wujud yang lebih kompleks, mulai dari permainan sosial, permainan kekuasaan, hingga permainan teknologi yang menciptakan inovasi.

Dalam permainan, selalu ada unsur imajinasi yang meletup dan kemudian diterjemahkan menjadi penemuan baru yang bermanfaat atau bahkan membahayakan.

Sepengetahuan saya, banyak teknologi justru lahir dari eksperimen permainan. Permainan sederhana anak-anak di masa lalu seperti telepon-teleponan memakai kaleng susu misalnya, adalah cikal bakal konsep teknologi komunikasi.

Prinsipnya sederhana, energi bunyi diubah menjadi getaran melalui tali, kemudian diteruskan dan diterima lagi sebagai bunyi. Namun kalau diurai dengan ilmu fisika, permainan ini menyimpan kerumitan yang luar biasa.

Permainan kaleng beruntai tali itu sebenarnya sudah merangkum konsep frekuensi, amplitudo, dan desibel suara. Anak-anak mungkin tidak memikirkannya, tetapi jika seorang ilmuwan mengamati, dia bisa menarik formula dan teori fisika akustik dari sana.

Berapa kekuatan suara yang harus diucapkan agar dapat diterima anak lain di ujung kaleng adalah soal teknis yang di masa depan diterjemahkan menjadi teknologi canggih bernama telepon.

Kita tahu, Samuel Morse misalnya, butuh waktu 12 tahun untuk menciptakan telegraf, yang hanya mentransmisikan sinyal titik dan garis dari Washington ke Baltimore.

Lalu Alexander Graham Bell pun harus berkutat di laboratorium bertahun-tahun sebelum akhirnya menemukan telepon yang bisa mentransmisikan suara manusia. Semua itu diawali dari konsep dasar permainan bunyi dan getaran.

Begitu pula di bidang militer, teknologi komunikasi berkembang melalui ribuan uji coba yang awalnya juga berangkat dari permainan isyarat dan simbol. Radio komunikasi dua arah yang dikenal sekarang sebagai handy talkie adalah hasil evolusi panjang bermain-main manusia dengan gelombang elektromagnetik.

Berabad-abad sebelumnya, orang hanya menabuh genderang atau meniup terompet untuk menyampaikan pesan, sekarang mereka bisa berbicara langsung lintas wilayah hanya dengan satu sentuhan tombol.

Peralatan komunikasi militer ini, seperti handy talkie atau radio rig, nyatanya masih terus bertahan hingga sekarang. Tidak hanya digunakan tentara atau aparat negara, tetapi juga diadopsi oleh komunitas sipil yang mencintai radio komunikasi.

Bahkan budaya radio komunikasi sempat masuk dalam lagu-lagu populer. Farid Hardja misalnya, di era 80-an pernah mengabadikan nuansa komunikasi radio lewat lagu “Bercinta di Udara” yang populer hingga kini.

Sebagai Homo Ludens, manusia memang cenderung meniru atau beradaptasi. Ketika handy talkie hanya bisa dimiliki segelintir orang kota di dekade 80-an, orang-orang desa pun tidak mau kalah. Mereka berusaha membuat radio komunikasi sederhana dengan kawat tembaga dan peralatan seadanya, meniru teknologi HT meskipun masih sangat konvensional.

Komunitas rakom di desa saat itu juga diorganisir secara informal. Sama seperti komunitas resmi seperti RAPI atau ORARI, warga yang ingin memasang rakom berbasis kabel harus tercatat agar tidak saling mengganggu frekuensi. Menariknya, pola komunikasi mereka mengadopsi seluruh kebiasaan manusia kota, termasuk penggunaan istilah teknis dan kode radio.

Istilah-istilah seperti break, roger, copy, ganti, kontek, hingga kode angka semacam 86, 85, 10.23, 10.25, sampai sebutan huruf alfa, bravo, charlie, delta, echo, zulu, diadaptasi begitu saja oleh manusia desa melalui proses penularan informasi. 

Mereka ibarat client yang menerima bimbingan secara tidak langsung dari “server” yaitu rekan mereka yang telah membangun komunikasi dengan orang kota atau pengguna radio yang lebih dahulu paham.

Budaya transfer pengetahuan ini menarik karena nyaris terjadi tanpa ada rembug resmi atau pelatihan formal. Pengetahuan komunikasi radio berpindah begitu saja, diteruskan dari mulut ke mulut, dan akhirnya menjadi kebiasaan sosial secara mapan.

Namun di balik semua itu, kita juga perlu melihat bagaimana perkembangan komunikasi saat ini, terjadi perubahan signifikan. Kini, komunikasi berbasis media sosial sudah mengambil alih sebagian besar fungsi-fungsi radio komunitas. Orang tidak perlu lagi menyiapkan perangkat radio, cukup bermodalkan ponsel dan aplikasi perpesanan.

Media sosial adalah ruang maya tanpa batas. Di sana tidak ada etika komunikasi seketat komunikasi radio. Orang bebas bicara apa saja, memaki, mencaci, menghakimi, tanpa moderator atau wasit yang mengawasi. Kalaupun ada, sifatnya hanya sebatas admin grup. Ini tentu sangat berbeda dengan budaya radio komunikasi konvensional.

Dalam radio komunikasi, bahkan untuk memanggil orang lain saja seseorang wajib mengucapkan permisi atau break, lalu menunggu jawaban. Ada etika sopan santun yang dijaga agar komunikasi berjalan tertib.

Maka, tidak berlebihan jika komunitas radio komunikasi harus mulai mempopulerkan lagi teknologi radio kepada generasi muda. Handy talkie dan radio rig adalah sarana komunikasi alternatif yang tahan cuaca, tidak bergantung pada sinyal internet, dan bisa diandalkan dalam kondisi darurat.

Kesadaran generasi milenial terhadap fungsi radio komunikasi sangat penting untuk mengantisipasi jika sewaktu-waktu teknologi modern gagal. Edukasi tentang radio komunikasi bisa menjadi salah satu warisan kebudayaan Homo Ludens di era digital.

Dengan demikian, permainan manusia sebagai Homo Ludens, ternyata tidak berhenti hanya pada masa kanak-kanak. Semangat bermain ini berkembang menjadi budaya, lalu menciptakan inovasi, hingga membangun jaringan sosial.

Bahkan pola bermain itu pun, dengan caranya sendiri, tetap mampu bertransformasi dan menyesuaikan diri mengikuti zaman tanpa kehilangan jati dirinya sebagai ruang kebebasan manusia untuk berkreasi dan menyalurkan imajinasi.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Radio Komunikasi: Break, Roger, Copy, Ganti!"