Memahami Paradigma Pembangunan Kota Sukabumi: Prolog (6)

Manusia modern hidup dalam paradoks eksistensial yang pelik, di satu sisi kita memahami secara intelektual bahwa dunia ini hanyalah alam kesementaraan, namun di sisi lain kita tetap berlomba mengumpulkan materi seolah-olah hidup ini abadi. 

Keterikatan pada harta benda, status, dan pencapaian duniawi sesungguhnya adalah bentuk penolakan bawah sadar terhadap kefanaan diri, sebuah mekanisme pertahanan psikologis untuk mengusik kecemasan akan ketidakkekalan. 

Konsumerisme yang menjamur di era kapitalisme telah mengubah keinginan (wants) menjadi kebutuhan palsu (pseudo-needs), menciptakan lingkaran setan dimana manusia bekerja lebih keras hanya untuk memuaskan hasrat yang sengaja dipompa oleh mesin ekonomi.

Memang tidak bisa dimungkiri bahwa dalam tataran praktis, materi adalah alat bertahan hidup yang niscaya; makanan, pakaian, dan tempat tinggal adalah kebutuhan dasar yang sah untuk diperjuangkan. 

Namun masalah muncul ketika kita melompat dari logika kebutuhan (needs) ke logika keserakahan (greed), saat rumah berubah menjadi istana, pakaian sederhana berganti dengan merek-merek mahal, dan makanan bergizi tergantikan oleh hidangan prestisius. 

Filsafat minimalisme Timur seperti "wabi-sabi" di Jepang atau konsep "cukup" dalam masyarakat tradisional Nusantara mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati justru tumbuh dalam kesederhanaan yang sadar akan batas.

Keserakahan materi telah menjadi penyebab utama kerusakan planet, dari eksploitasi sumber daya berlebihan hingga produksi sampah yang mencekik ekosistem. Seharusnya, kesadaran akan kesementaraan bisa menjadi kompas etis, jika kita tahu segala sesuatu di dunia ini sementara, mengapa harus menimbun apa yang tidak bisa kita bawa mati? 

Kuncinya terletak pada niat, ketika bekerja dan mengumpulkan harta dilandasi oleh kesadaran untuk berkontribusi pada kelangsungan hidup kolektif, bukan sekadar memuaskan nafsu individu, maka materi bisa menjadi alat mulia. 

Seperti kata bijak Sufi: "Dunia ini jembatan, bukan tujuan, menyeberanglah tapi jangan membangun rumah di atasnya." Pada akhirnya, kebijaksanaan tertinggi adalah mampu hidup seimbang dalam memenuhi kebutuhan duniawi tanpa terbelenggu olehnya, sambil terus mengingat bahwa kita hanyalah musafir sementara di pentas semesta yang fana ini.

Pertanyaan mengapa Tuhan menciptakan dunia yang fana justru mengungkap kebijaksanaan ilahi yang dalam, kesementaraan adalah syarat mutlak bagi dinamika kehidupan, memungkinkan proses belajar, pertumbuhan, dan penemuan makna. 

Dalam perspektif spiritual, ketidakkekalan dunia berfungsi sebagai ujian sekaligus anugerah, ia memaksa manusia untuk terus bergerak, berinovasi, dan merenung tentang hakikat eksistensi, sementara di sisi lain mencegah stagnasi yang bisa muncul andai segala sesuatu abadi. 

Sains modern secara tak langsung membenarkan prinsip ini melalui hukum termodinamika, energi tak pernah statis, entropi selalu meningkat, dan teori evolusi yang menunjukkan bahwa adaptasi hanya mungkin dalam sistem yang terus berubah.

Para ilmuwan memang sengaja membatasi studi pada hal-hal terukur demi objektivitas ilmiah, bukan karena menolak yang transenden, melainkan untuk menjaga metodologi penelitian tetap terfokus pada bukti empiris. 

Perbedaan pendekatan sains dan agama sesungguhnya komplementer, yang satu menjawab "bagaimana" alam bekerja melalui eksperimen, sementara lainnya menjelaskan "mengapa" melalui kontemplasi, dua lensa untuk memahami realitas yang sama. 

Konflik biasanya muncul ketika sains mengklaim mampu menjelaskan segala sesuatu (saintisme), atau ketika agama menolak fakta ilmiah demi tafsir harfiah, keduanya adalah bentuk kesombongan intelektual yang mengabaikan batasan masing-masing.

Tradisi keilmuan Islam klasik seperti karya Al-Khawarizmi dan Ibnu Haitham justru menunjukkan bagaimana sains dan spiritualitas bisa bersinergi, matematika sebagai bahasa universal yang mengungkap keteraturan ilahi, atau optik yang membuktikan keagungan desain kosmik. 

Dunia yang fana ini adalah sekolah terbaik bagi jiwa, tempat kita belajar bahwa makna sejati tidak terletak pada kepemilikan materi, tetapi pada kemampuan untuk mengubah keterbatasan waktu menjadi karya yang melampaui zaman. 

Seperti sungai yang selalu mengalir namun tetap setia pada sumbernya, manusia ditakdirkan untuk bergerak dalam ruang-waktu yang terbatas sambil merindukan keabadian, sebuah paradoks yang justru memicu kreativitas, spiritualitas, dan kemajuan peradaban. Dalam ketidakkekalan inilah tersembunyi rahasia ilahi bahwa dengan menerima keterbatasan duniawi, kita justru menemukan jalan menuju yang tak terbatas.

Ilmu pengetahuan memang memiliki batasan fundamental dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan metafisik tentang tujuan penciptaan, karena metodologi ilmiah hanya dirancang untuk mengkaji fenomena yang teramati dan terukur di dalam kerangka ruang-waktu. 

Meskipun sains mampu menjelaskan mekanisme kerusakan alam semesta melalui hukum termodinamika dan teori Big Freeze, ia tidak dapat (dan tidak dimaksudkan untuk) menjawab "mengapa" Tuhan menciptakan dunia yang bersifat fana, pertanyaan yang berada di luar domain empiris. 

Kelompok agamawan justru memiliki perangkat konseptual yang berbeda untuk menjawab ini, dengan merujuk pada wahyu seperti ayat "Setiap ciptaan akan mengalami kerusakan, kecuali Tuhan" yang secara tegas menegaskan sifat sementara alam materi sekaligus keabadian yang Ilahi.

Perbedaan pendekatan bukanlah kelemahan, melainkan pembagian wilayah epistemologis yang sehat sains menjelaskan mekanisme alam, agama mengungkap makna dan tujuan eksistensi. 

Fakta bahwa alam semesta bergerak menuju kerusakan (entropi) justru konsisten dengan konsep kesementaraan dalam berbagai tradisi spiritual  dari konsep Hindu tentang pralaya (pembubaran periodik alam semesta) hingga pemikiran Kristen tentang "langit dan bumi yang baru". 

Yang menarik, sains modern seperti teori kuantum dan kosmologi justru semakin membuka ruang dialog dengan spiritualitas, dengan menemukan bahwa pada tingkat fundamental, realitas bersifat tidak pasti dan saling terhubung - sebuah pandangan yang selaras dengan banyak tradisi mistis.

Persoalannya bukan pada mana yang lebih benar antara sains dan agama, tetapi bagaimana keduanya dapat saling mengisi: data ilmiah tentang kerusakan ekologis misalnya, menjadi alarm nyata yang mengingatkan kita pada kebenaran spiritual tentang kefanaan dunia. 

Pada akhirnya, kesementaraan alam semesta mungkin adalah pelajaran terbesar Tuhan kepada manusia: bahwa hakikat sejati kita bukanlah pada apa yang kita miliki atau kuasai di dunia yang fana ini, tetapi pada bagaimana kita mempersiapkan diri untuk realitas yang lebih kekal. 

Seperti kata pepatah bijak, "Jika kita dibuat untuk kekekalan, maka dunia ini hanyalah tempat latihan". Dalam kerangka ini, proses kerusakan alam semesta bukanlah tragedi, melainkan pengingat akan transendensi bahwa ada realitas di balik realitas, ada sang Pencipta di balik ciptaan yang sementara ini.

Sepintas, saintis dan agamawan memang terlihat berseberangan, yang satu bersandar pada mikroskop dan teleskop, sementara lainnya merujuk pada kitab suci dan wahyu, namun keduanya sesungguhnya bersepakat tentang satu kebenaran mendasar bahwa alam semesta ini bersifat sementara dan sedang menuju kepada kerusakan progresif. 

Para fisikawan mengkonfirmasi hal ini melalui hukum termodinamika kedua yang menyatakan entropi (ketidakteraturan) alam semesta terus meningkat, sementara teolog merujuk pada ayat-ayat tentang kehancuran dunia di akhir zaman sebagai bukti kesementaraan ciptaan.

Perbedaan mereka hanyalah pada bahasa dan metode: sains berbicara dalam kode matematis tentang "kematian panas alam semesta" (heat death), sedangkan agama menggunakan metafora tentang "hari kiamat", dua cara dalam menjelaskan realitas yang sama. 

Kitab suci (ayat qauliyah) dan alam semesta (ayat kauniyah) sebenarnya adalah dua manifestasi kebenaran ilahi yang saling melengkapi; yang pertama berisi petunjuk moral, yang kedua menunjukkan mekanisme teknis bagaimana dunia bekerja. 

Ketika agama memperingatkan "jangan bermegah-megahan", sains membuktikannya melalui data bahwa gaya hidup konsumtif mempercepat deplesi sumber daya dan pemanasan global, hukum fisika tentang kekekalan energi menjadi bukti ilmiah dari larangan agama terhadap keserakahan.

Konflik antara sains dan agama seringkali muncul bukan karena substansi penemuannya, melainkan karena kesalahpahaman metodologis, saintis menolak dogma buta, agamawan curiga pada penemuan yang seolah menggeser Tuhan, padahal keduanya sedang mempelajari lapisan realitas yang berbeda namun saling terhubung. 

Tradisi keilmuan Islam abad pertengahan seperti karya Ibnu Rusyd justru menunjukkan bagaimana wahyu dan akal bisa berharmoni, akal menginterpretasikan alam, wahyu memberikan kerangka makna, seperti dua sayap burung yang perlu seimbang untuk terbang.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Memahami Paradigma Pembangunan Kota Sukabumi: Prolog (6)"