Zonasi/Domisili dalam Penerimaan Siswa Baru, antara Klaim Keadilan dan Realitas Ketimpangan

Penerapan sistem zonasi, sekarang domisli dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) atau SPMB saat ini, pada dasarnya dimaksudkan untuk mendekatkan akses pendidikan dan pemerataan kualitas antarsekolah.

Namun, ketidakfahaman terhadap alasan konseptual di balik sistem ini, serta absennya kajian komprehensif yang berbasis keadilan kewilayahan, telah melahirkan banyak masalah baru di lapangan. Ketika kebijakan ini diterapkan tanpa verifikasi sosiologis maupun kultural, maka yang terjadi bukan pemerataan, melainkan frustrasi massal di tengah masyarakat.

Salah satu pernyataan yang menjadi dasar sistem zonasi/domisili adalah bahwa sekolah harus menerima siswa dari lingkungan terdekat, sering kali disandingkan dengan istilah ‘akamsi’ (anak kampung asli).

Sayangnya, pernyataan ini masih bersifat normatif dan global, belum diperkuat dengan klausul turunan yang menjelaskan bagaimana mekanisme seleksi harus tetap menjamin kualitas dan tanggung jawab moral siswa terhadap ekosistem sekolah.

Mari kita lihat satu contoh konkret: seorang calon siswa tinggal sangat dekat dengan SMA/SMK negeri yang difavoritkan. Namun, siswa ini dikenal sebagai bagian dari kelompok berandalan motor, memiliki nilai akademik rendah, dan tidak memiliki motivasi belajar yang baik. Karena sistem sekolah asal tidak mengenal “tidak naik kelas”, ia secara otomatis tetap lulus ke SMA/SMK tujuan.

Lantas, apakah hanya karena kedekatan geografis, siswa semacam ini layak masuk ke sekolah unggulan yang selama ini menjadi dambaan banyak siswa lain?

Jawaban instan yang sering muncul: "Ya, karena pendidikan adalah hak semua orang.” Ini adalah pernyataan yang terjebak dalam paradigma global terlalu longgar. Pendidikan memang untuk semua, tapi tidak semua orang bisa diterima di sekolah tertentu semata karena letak rumahnya.

Jika demikian logikanya, lalu bagaimana dengan prinsip seleksi berbasis kelayakan, tanggung jawab, dan kesiapan mental siswa? Hidup ini tidak bisa dijalani hanya dengan slogan dan klaim universal, tanpa menyentuh realitas faktual di lapangan.

Ibarat tanah, kita semua bisa berkata bahwa Bumi tidak punya pemilik absolut. Namun, bukan berarti kita bebas menduduki tanah orang lain hanya karena merasa punya hak eksistensial.

Sama halnya dengan sekolah, bukan semata-mata siapa yang dekat rumahnya, melainkan siapa yang pantas untuk menjadi bagian dari ekosistem pendidikan yang berkualitas. Jangan sampai hanya karena sistem zonasi/domisili, sekolah kehilangan otoritasnya dalam menjaga mutu dan etos akademik.

Akibat dari sistem yang lemah ini, masyarakat pun mencari celah. Ada yang rela membayar jutaan rupiah agar anaknya diterima di sekolah tujuan. Tindakan itu bukan bentuk keserakahan, melainkan ekspresi kasih sayang orangtua yang ingin anaknya mendapatkan pendidikan terbaik.

Ketika harapan itu gagal, banyak anak mengalami tekanan psikis hingga jatuh sakit. Ini bukan kesalahan personal semata, tetapi pertanda bahwa daya tahan sosial-psikologis generasi saat ini menurun, dan diperparah oleh sistem yang gagal memahami realitas mereka.

Sistem zonasi, dalam praktiknya, telah menjerumuskan anak-anak pada jebakan kebijakan yang mengatasnamakan pemerataan pendidikan, tetapi justru melahirkan ketidakadilan yang baru. Ketika keadilan hanya ditentukan oleh jarak dan bukan oleh nilai-nilai tanggung jawab, integritas, dan semangat belajar, maka kita sedang melahirkan generasi yang manja dan kehilangan daya saing.

Pernyataan seperti “sekolah di mana saja sama” juga harus ditinjau ulang. Faktanya, para siswa tetap berbondong-bondong mendaftar ke sekolah-sekolah unggulan. Bahkan mereka yang kini berada di posisi pengambil kebijakan dulunya juga bersaing ketat melalui sistem NEM, UMPTN, dan berbagai tes seleksi lainnya. Jadi, mengapa sekarang malah membatasi sistem seleksi yang sudah terbukti memberi ruang keadilan berbasis prestasi?

Sebagai solusi jangka pendek, lakukanlah kajian mendalam dan evaluasi menyeluruh terhadap dampak sistem zonasi/domisili. Bandingkan dengan sistem seleksi berbasis NEM di era Orde Baru, yang meskipun memiliki kekurangan, namun secara umum lebih dipandang adil dan terukur.

Jika memang ada keberhasilan dari masa lalu, akuilah dengan rendah hati. Tidak ada salahnya pemerintah termasuk Kementerian berkaca dan belajar dari model yang pernah bekerja dengan baik.

Menyusun sistem pendidikan berbanding lurus dengan kepekaan sosial, ketelitian ilmiah, dan keberanian bersikap adil. Karena pendidikan memuat tanggung jawab bersama dalam menciptakan masa depan yang benar-benar sehat dan bermartabat.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Zonasi/Domisili dalam Penerimaan Siswa Baru, antara Klaim Keadilan dan Realitas Ketimpangan"