Mehamami Paradigma Pembangunan Kota Sukabumi: Prolog (7)

Krisis ekologis modern adalah bukti nyata perlunya rekonsiliasi, data ilmiah tentang krisis iklim menjadi alarm keras yang mengkonfirmasi nubuat agama tentang kerusakan bumi akibat ulah manusia. 

Dalam konteks ini, baik saintis maupun agamawan sebenarnya sedang membaca "kitab" yang sama, hanya berbeda halaman, dan keduanya sepakat bahwa dunia ini fana, bahwa keserakahan merusak, dan bahwa manusia punya tanggung jawab kosmik sebagai khalifah di bumi.

Seperti dua aliran sungai yang akhirnya bermuara ke laut yang sama, sains dan agama pada hakikatnya menuju kebenaran yang satu, hanya saja kita perlu bijak memahami bahwa bahasa eksperimen laboratorium dan bahasa kitab suci adalah dua dialek berbeda dari satu bahasa universal yaitu bahasa penciptaan.

Manusia pada hakikatnya adalah makhluk pencari makna yang hidup dalam narasi-narasi kolektif, sebagaimana dikemukakan Yuval Noah Harari, narasi yang sederhana dan mudah dicerna cenderung lebih bertahan lama dalam ingatan peradaban.

Konflik antara saintis dan agamawan yang berlarut-larut sejak akhir Abad Pertengahan hanyalah satu episode dari drama panjang pencarian kebenaran manusia, di mana kedua pihak sering terjebak dalam dikotomi palsu, sains berusaha menghapus jejak ilahi dari alam semesta, sementara agama bersikeras memaksakan tafsir literal atas fenomena ilmiah.

Akar masalahnya terletak pada kegagalan kedua belah pihak untuk memahami prinsip "pisau cukur Ockham" yang diajukan William Ockham, bahwa penjelasan paling sederhana (yang tidak mengalikan entitas tanpa kebutuhan) justru sering membuka jalan bagi rekonsiliasi antara yang sakral dan profan.

Ockham dengan geniusnya menunjukkan bagaimana Potentia Dei Absoluta (kekuasaan absolut Tuhan) dan Potentia Dei Ordinata (kekuasaan Tuhan yang termanifestasi dalam hukum alam) bukanlah kontradiksi, melainkan dua sisi dari realitas ilahi yang terpadu.

Para saintis modern yang ateis sering mengabaikan bahwa hukum alam yang mereka teliti adalah wujud Potentia Dei Ordinata, sementara agamawan fundamentalis lupa bahwa mukjizat termasuk dalam ranah Potentia Dei Absoluta yang melampaui hukum alam biasa.

Manusia kontemporer seharusnya menjadi jembatan antara dua kutub ini, mempelajari mekanisme alam melalui sains tanpa menafikan dimensi transendental yang memberi makna pada fakta-fakta ilmiah tersebut.

Sejarah membuktikan bahwa peradaban paling gemilang (seperti era keemasan Islam) justru lahir ketika sains dan spiritualitas berjalan beriringan, ketika observasi teleskopik tidak bertentangan dengan kontemplasi tasawuf, ketika matematika dipahami sebagai bahasa universal Tuhan.

Krisis makna di era modern, depresi, kecemasan eksistensial, dan dekadensi moral, sebagian besar bermula dari perpecahan ini, ketika manusia dipaksa memilih antara menjadi "mesin penghitung" yang dingin atau "fanatik dogmatis" yang buta.

Solusinya terletak pada pendekatan integral, di mana fisika kuantum yang membicarakan ketidakpastian partikel elementer bisa berdialog dengan konsep Sufisme tentang ketakterbatasan Tuhan, atau di mana teori evolusi dipahami sebagai mekanisme ilahi untuk menciptakan keanekaragaman kehidupan.

Seperti kata Rumi: "Ada seribu cara untuk berlutut dan mencium tanah, ada seribu cara untuk pulang ke rumah", sains dan agama hanyalah dua jalan berbeda menuju kebenaran yang sama, dua bahasa yang mengungkapkan syair kosmik tentang asal-usul, makna, dan tujuan akhir keberadaan kita.

Kisah pergulatan antara saintis dan agamawan di era Copernicus sesungguhnya merupakan contoh klasik kesalahpahaman epistemologis, teori heliosentrisnya tidak pernah dimaksudkan untuk menafikan kitab suci, melainkan sekadar menjelaskan mekanisme tata surya melalui bukti matematis.

Persoalan "pusat tata surya" sebenarnya bergantung pada perspektif, secara fisika, matahari memang pusat gravitasi yang memengaruhi orbit planet-planet, tetapi secara filosofis, Bumi tetap menjadi pusat makna karena di sinilah kehidupan dan kesadaran manusia berada.

Jika kita mengukur berdasarkan massa dan gravitasi, matahari yang mencakup misalnya 99,86% massa tata surya layak disebut pusat, namun jika parameter ukurannya adalah keberadaan pengamat sadar yang mampu merenungkan kosmos, maka Bumi tak terbantahkan sebagai pusat eksistensial.

Pertanyaan "apakah matahari berguna tanpa Bumi?" justru mengungkap bias antroposentris, kegunaan adalah konsep yang diciptakan oleh kesadaran manusia, sementara matahari akan terus bersinar dengan atau tanpa keberadaan kita.

Para ilmuwan memang seharusnya tidak terjebak dalam debat metafisik semacam ini, karena tugas mereka adalah menjelaskan "bagaimana" alam bekerja, bukan "mengapa" alam ada, domain yang menjadi wilayah filsafat dan teologi.

Konflik heliosentris-geosentris abad ke-16 mencerminkan kegagalan membedakan antara deskripsi fisik (matahari sebagai pusat orbital) dan makna eksistensial (Bumi sebagai rumah manusia), dua level kebenaran yang bisa koeksis. Dalam kitab suci, ketika Bumi disebut sebagai "pusat", yang dimaksud adalah posisinya dalam narasi penciptaan sebagai ruang ujian ilahi, bukan klaim astronomis tentang struktur tata surya.

Alam semesta tidak peduli dengan konsep "kegunaan",bintang meledak, galaksi bertabrakan, dan planet terbentuk tanpa mempertimbangkan kebutuhan manusia, tetapi justru dalam ketidakpedulian kosmik inilah keagungan penciptaan terlihat.

Perseteruan Copernicus-Gereja seharusnya menjadi pelajaran bahwa sains dan agama berbicara dalam bahasa yang berbeda: yang satu mengukur jarak antarplanet, yang lain menafsirkan makna keberadaan planet bagi jiwa manusia.

Toh, baik matahari maupun Bumi adalah bagian dari tarian kosmis yang sama, saintis mempelajari gerakannya, agamawan merenungkan maknanya, dan keduanya tidak perlu saling menafikan selama menyadari batasan masing-masing.

Konflik antara sains dan agama sesungguhnya bersumber dari perbedaan pendekatan, bukan substansi kebenaran. Sains menjelaskan mekanisme alam melalui metode empiris (ayat kauniyah), sementara agama menawarkan makna eksistensial melalui wahyu (ayat qauliyah), dua perspektif yang saling melengkapi seperti hukum entropi dan konsep kefanaan dalam kitab suci.

Kasus Copernicus hingga diskusi modern tentang kesementaraan alam menunjukkan bahwa kedua belah pihak sering terjebak dalam dikotomi palsu, padahal prinsip Potentia Dei Ordinata (hukum alam teratur) dan Potentia Dei Absoluta (kuasa ilahi transenden) justru membuktikan harmoni antara rasionalitas dan spiritualitas.

Manusia modern perlu menjadi jembatan yang memadukan keduanya, menggunakan sains untuk memahami dunia sekaligus merujuk pada agama untuk menemukan makna, karena hanya dengan keseimbangan inilah kita bisa merawat alam yang fana sambil mempersiapkan diri untuk dimensi yang kekal. Krisis ekologis dan spiritual zaman kini adalah bukti nyata bahwa kita tak bisa lagi memisahkan kedua jalan kebijaksanaan ini.

Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Mehamami Paradigma Pembangunan Kota Sukabumi: Prolog (7)"