Selamat Tahun Baru, 1447 H
Kebiasaan masyarakat Sukabumi pada dekade 80–90an menyimpan kekhasan tersendiri. Meski banyak diwarnai corak keagamaan, namun tidak seluruhnya bisa dikategorikan sebagai ibadah pokok dalam syariat Islam. Justru, kebiasaan ini dapat menjadi rujukan dalam yurisprudensi hukum Islam dalam konteks fikih sosial, karena berkaitan erat dengan perilaku budaya dan pola interaksi warga.
Salah satu contohnya adalah penggunaan obor dalam aktivitas sehari-hari. Saya sendiri masih ingat betul, ketika pulang mengaji bersama kakek dan nenek, kami berjalan di tengah kegelapan perkampungan yang hanya diterangi obor sederhana berbahan bambu sepanjang 30 cm, berisi minyak tanah dan dilengkapi sumbu.
Bagi masyarakat kampung di masa itu, obor bukan hanya alat penerang, tetapi juga bagian dari pengalaman kolektif yang sangat membekas. Anak-anak kota, yang sejak awal sudah menikmati lampu pijar, barangkali hanya mengenal obor ketika berkemah menjelang Hari Pramuka.
Sementara anak-anak kampung yang baru mendapatkan sambungan listrik sekitar tahun 1986, jauh lebih akrab dan intens dengan pengalaman menyalakan obor. Bukan hanya untuk mengaji, obor juga digunakan ketika malam-malam harus buang air ke selokan atau sungai, karena belum semua rumah memiliki jamban dengan kloset yang layak.
Dalam bahasa Sunda, obor kerap disebut colen. Ia menjadi simbol penerang di tengah keterbatasan infrastruktur pedesaan. Di sisi lain, penggunaan obor memperlihatkan nilai solidaritas kolektif. Anak-anak pulang mengaji bersama, saling menunggu, saling membantu menyalakan obor satu sama lain, berbagi cahaya sepanjang jalan. Nilai gotong royong yang begitu kuat inilah yang menciptakan ikatan sosial dan memperkuat kohesi masyarakat.
Menariknya, pawai obor yang saat ini lazim dilaksanakan untuk menandai tahun baru hijriyah sebenarnya adalah inovasi baru yang berkembang belakangan, terutama sejak awal 2000-an. Di era 80–90an, pawai obor bukanlah agenda rutin. Kebiasaan baru ini lahir sebagai upaya menegaskan identitas umat Islam dan menjadi bentuk pembeda dari perayaan tahun baru masehi yang umumnya dihiasi petasan dan kembang api.
Nilai komunal dalam pawai obor sangat terasa. Jika pesta tahun baru masehi cenderung individualistik meskipun dilaksanakan di kerumunan, pawai obor menghadirkan suasana kebersamaan yang lebih kuat. Peserta biasanya berasal dari lingkungan yang sama, berbaris dalam irama seragam, menyuarakan syiar bersama. Hal ini menciptakan gemeinschaft, atau rasa kebersamaan, yang mengikat lebih dalam dibanding sekadar berkumpul di lapangan pada pergantian tahun masehi.
Pawai obor pun menjadi sarana menanamkan memori kolektif. Generasi milenial kini tanpa sadar mewarisi pengalaman visual dan budaya para orangtua dan kakek neneknya, ketika menyalakan obor di masa lalu. Dalam perspektif memori sosial, nilai-nilai itu tertanam di alam bawah sadar anak-anak masa kini, menciptakan kesinambungan budaya lintas generasi.
Sementara itu, tradisi ngarak bedug atau ngadulag sudah lebih dulu hadir dan dikenal luas masyarakat perdesaan Sukabumi, terutama saat malam takbiran. Bunyi bedug menjadi penanda kemenangan setelah berpuasa sebulan penuh, memanggil rasa syukur dan sukacita bersama. Namun, bedug tidak digunakan dalam perayaan tahun baru hijriyah seperti sekarang.
Di era 80–90an, pergantian tahun hijriyah sendiri tidak dirayakan semeriah hari ini. Biasanya hanya diisi dengan mengaji, membaca surat Yasin, berdoa bersama, serta mengingatkan diri akan berlalunya waktu. Perayaan besar-besaran nyaris tidak ditemukan, masyarakat lebih memilih menenangkan hati dan memahamkan diri bahwa umur terus berjalan tanpa terasa.
Kalau dilihat dari perspektif sosiologi agama, meriahnya perayaan hijriyah masa kini merupakan bentuk artikulasi simbolik untuk memperkuat identitas umat Islam di ruang publik. Ini menjadi salah satu wujud kebangkitan budaya bercorak keagamaan, terutama setelah sebelumnya ruang-ruang ekspresi semacam ini terbatasi.
Pergeseran tradisi pun menandakan adaptasi nilai-nilai keagamaan terhadap perubahan zaman. Dahulu fungsi obor semata-mata fungsional, kini menjadi simbol kebanggaan dan syiar bersama. Bahkan bisa dikatakan, pawai obor di masa sekarang adalah interpretasi ulang terhadap simbol lama, yang diberi makna baru lebih modern dan lebih masif.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa memori sosial masyarakat selalu dinamis. Kebiasaan lama dapat bermetamorfosis menjadi ritual baru yang memiliki konteks sosial dan politik berbeda, tergantung bagaimana masyarakat memaknainya. Nilai edukasi, spiritual, hingga semangat kebersamaan semua dibungkus dalam format pawai obor kontemporer.
Hal serupa juga dapat kita lihat pada sikap masyarakat yang tetap memelihara gotong royong meski arus modernisasi semakin kencang. Anak-anak, remaja, hingga orangtua masih merasa memiliki tanggung jawab bersama untuk menjaga nilai kohesivitas sosial melalui kegiatan keagamaan dan kebudayaan.
Jika kita renungkan, sukacita menyambut tahun baru hijriyah melalui pawai obor adalah cara masyarakat Sukabumi mempertahankan kearifan lokal. Nilai kebersamaan, solidaritas, dan rasa saling peduli tetap dipegang erat. Hal ini menjadi penyeimbang di tengah gaya hidup individualistik yang semakin merambah generasi muda.
Generasi yang dulu berjalan di jalan tanah berbatu dengan obor di tangan kini sudah menjadi orangtua atau kakek-nenek. Namun mereka tetap berupaya menularkan nilai kebersamaan itu kepada anak cucu mereka, supaya tidak terputus oleh arus zaman. Mereka percaya, nilai-nilai itu adalah warisan yang harus dijaga, karena menjadi identitas masyarakat Sunda yang santun dan penuh hormat.
Akhirnya, sepanjang jalan kenangan Sukabumi tahun 80–90an adalah pengingat bahwa memori kolektif punya daya hidup panjang. Pengalaman menggunakan obor membuka diri untuk tetap mengenang dan mengamalkan nilai gotong royong, kesederhanaan, serta keteguhan menjaga tradisi di tengah dunia yang terus berubah.
Keterangan Gambar: Pawai Obor masyarakat Balandongan pada tahun 2009
Kebiasaan masyarakat Sukabumi pada dekade 80–90an menyimpan kekhasan tersendiri. Meski banyak diwarnai corak keagamaan, namun tidak seluruhnya bisa dikategorikan sebagai ibadah pokok dalam syariat Islam. Justru, kebiasaan ini dapat menjadi rujukan dalam yurisprudensi hukum Islam dalam konteks fikih sosial, karena berkaitan erat dengan perilaku budaya dan pola interaksi warga.
Salah satu contohnya adalah penggunaan obor dalam aktivitas sehari-hari. Saya sendiri masih ingat betul, ketika pulang mengaji bersama kakek dan nenek, kami berjalan di tengah kegelapan perkampungan yang hanya diterangi obor sederhana berbahan bambu sepanjang 30 cm, berisi minyak tanah dan dilengkapi sumbu.
Bagi masyarakat kampung di masa itu, obor bukan hanya alat penerang, tetapi juga bagian dari pengalaman kolektif yang sangat membekas. Anak-anak kota, yang sejak awal sudah menikmati lampu pijar, barangkali hanya mengenal obor ketika berkemah menjelang Hari Pramuka.
Sementara anak-anak kampung yang baru mendapatkan sambungan listrik sekitar tahun 1986, jauh lebih akrab dan intens dengan pengalaman menyalakan obor. Bukan hanya untuk mengaji, obor juga digunakan ketika malam-malam harus buang air ke selokan atau sungai, karena belum semua rumah memiliki jamban dengan kloset yang layak.
Dalam bahasa Sunda, obor kerap disebut colen. Ia menjadi simbol penerang di tengah keterbatasan infrastruktur pedesaan. Di sisi lain, penggunaan obor memperlihatkan nilai solidaritas kolektif. Anak-anak pulang mengaji bersama, saling menunggu, saling membantu menyalakan obor satu sama lain, berbagi cahaya sepanjang jalan. Nilai gotong royong yang begitu kuat inilah yang menciptakan ikatan sosial dan memperkuat kohesi masyarakat.
Menariknya, pawai obor yang saat ini lazim dilaksanakan untuk menandai tahun baru hijriyah sebenarnya adalah inovasi baru yang berkembang belakangan, terutama sejak awal 2000-an. Di era 80–90an, pawai obor bukanlah agenda rutin. Kebiasaan baru ini lahir sebagai upaya menegaskan identitas umat Islam dan menjadi bentuk pembeda dari perayaan tahun baru masehi yang umumnya dihiasi petasan dan kembang api.
Nilai komunal dalam pawai obor sangat terasa. Jika pesta tahun baru masehi cenderung individualistik meskipun dilaksanakan di kerumunan, pawai obor menghadirkan suasana kebersamaan yang lebih kuat. Peserta biasanya berasal dari lingkungan yang sama, berbaris dalam irama seragam, menyuarakan syiar bersama. Hal ini menciptakan gemeinschaft, atau rasa kebersamaan, yang mengikat lebih dalam dibanding sekadar berkumpul di lapangan pada pergantian tahun masehi.
Pawai obor pun menjadi sarana menanamkan memori kolektif. Generasi milenial kini tanpa sadar mewarisi pengalaman visual dan budaya para orangtua dan kakek neneknya, ketika menyalakan obor di masa lalu. Dalam perspektif memori sosial, nilai-nilai itu tertanam di alam bawah sadar anak-anak masa kini, menciptakan kesinambungan budaya lintas generasi.
Sementara itu, tradisi ngarak bedug atau ngadulag sudah lebih dulu hadir dan dikenal luas masyarakat perdesaan Sukabumi, terutama saat malam takbiran. Bunyi bedug menjadi penanda kemenangan setelah berpuasa sebulan penuh, memanggil rasa syukur dan sukacita bersama. Namun, bedug tidak digunakan dalam perayaan tahun baru hijriyah seperti sekarang.
Di era 80–90an, pergantian tahun hijriyah sendiri tidak dirayakan semeriah hari ini. Biasanya hanya diisi dengan mengaji, membaca surat Yasin, berdoa bersama, serta mengingatkan diri akan berlalunya waktu. Perayaan besar-besaran nyaris tidak ditemukan, masyarakat lebih memilih menenangkan hati dan memahamkan diri bahwa umur terus berjalan tanpa terasa.
Kalau dilihat dari perspektif sosiologi agama, meriahnya perayaan hijriyah masa kini merupakan bentuk artikulasi simbolik untuk memperkuat identitas umat Islam di ruang publik. Ini menjadi salah satu wujud kebangkitan budaya bercorak keagamaan, terutama setelah sebelumnya ruang-ruang ekspresi semacam ini terbatasi.
Pergeseran tradisi pun menandakan adaptasi nilai-nilai keagamaan terhadap perubahan zaman. Dahulu fungsi obor semata-mata fungsional, kini menjadi simbol kebanggaan dan syiar bersama. Bahkan bisa dikatakan, pawai obor di masa sekarang adalah interpretasi ulang terhadap simbol lama, yang diberi makna baru lebih modern dan lebih masif.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa memori sosial masyarakat selalu dinamis. Kebiasaan lama dapat bermetamorfosis menjadi ritual baru yang memiliki konteks sosial dan politik berbeda, tergantung bagaimana masyarakat memaknainya. Nilai edukasi, spiritual, hingga semangat kebersamaan semua dibungkus dalam format pawai obor kontemporer.
Hal serupa juga dapat kita lihat pada sikap masyarakat yang tetap memelihara gotong royong meski arus modernisasi semakin kencang. Anak-anak, remaja, hingga orangtua masih merasa memiliki tanggung jawab bersama untuk menjaga nilai kohesivitas sosial melalui kegiatan keagamaan dan kebudayaan.
Jika kita renungkan, sukacita menyambut tahun baru hijriyah melalui pawai obor adalah cara masyarakat Sukabumi mempertahankan kearifan lokal. Nilai kebersamaan, solidaritas, dan rasa saling peduli tetap dipegang erat. Hal ini menjadi penyeimbang di tengah gaya hidup individualistik yang semakin merambah generasi muda.
Generasi yang dulu berjalan di jalan tanah berbatu dengan obor di tangan kini sudah menjadi orangtua atau kakek-nenek. Namun mereka tetap berupaya menularkan nilai kebersamaan itu kepada anak cucu mereka, supaya tidak terputus oleh arus zaman. Mereka percaya, nilai-nilai itu adalah warisan yang harus dijaga, karena menjadi identitas masyarakat Sunda yang santun dan penuh hormat.
Akhirnya, sepanjang jalan kenangan Sukabumi tahun 80–90an adalah pengingat bahwa memori kolektif punya daya hidup panjang. Pengalaman menggunakan obor membuka diri untuk tetap mengenang dan mengamalkan nilai gotong royong, kesederhanaan, serta keteguhan menjaga tradisi di tengah dunia yang terus berubah.
Keterangan Gambar: Pawai Obor masyarakat Balandongan pada tahun 2009
Posting Komentar untuk "Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80–90an (Bag 23)"