Saya pernah membaca novel Gunung Kelima karya Paulo Coelho, sebuah alegori penting dalam kehidupan manusia. Novel ini menyinggung proses epifani manusia saat mencapai ekstase ilahiah, yang hampir selalu identik dengan gunung dan puncak.
Musa dipanggil Tuhan di Gunung Sinai, Isa menyampaikan khutbah terakhir di sebuah bukit, dan Muhammad menerima wahyu di Jabal Nur. Bahkan, gerakan Zionis pun terilhami oleh ungkapan Perjanjian Lama: “Zion sebagai bukit kudus.”
Novel tersebut mengisahkan perjuangan Elia (Nabi Ilyas) dalam perseteruannya dengan Raja Ahab. Pada 2016, saya pernah membahas hal ini di Radar Sukabumi melalui tulisan berjudul "Memperdebatkan Tuhan dalam Ruang Immanen".
Novel tersebut mengisahkan perjuangan Elia (Nabi Ilyas) dalam perseteruannya dengan Raja Ahab. Pada 2016, saya pernah membahas hal ini di Radar Sukabumi melalui tulisan berjudul "Memperdebatkan Tuhan dalam Ruang Immanen".
Namun, dalam catatan kali ini, saya tidak sedang membahas perseteruan kenabian itu. Saya lebih ingin menyoroti mengapa peristiwa kenabian dan epifani kerap bersinggungan dengan gunung, bukit, puncak, atau tempat tertinggi.
Fakta sejarah dan arkeologi juga memperkuat hal ini. Pembangunan candi, menhir, hingga punden berundak pada dasarnya bertujuan menghadirkan ruang epifani, sebuah tempat di mana manusia merasa lebih dekat dengan Yang Maha Tinggi. Gunung dijadikan poros penghubung antara bumi dan langit.
Jika gunung merupakan simbol epifani, maka Nusantara sebenarnya memiliki modal spiritual yang sangat besar. Leluhur kita hidup di tanah yang dikelilingi pegunungan. Dengan begitu, potensi ekstase dan perjumpaan dengan dimensi transendental mestinya lebih banyak dialami di wilayah ini ketimbang di tempat lain yang minim gunung.
Ambil contoh Jawa Barat. Untuk satu wewengkon saja terdapat ratusan bukit dan barisan pegunungan, dengan 32 gunung yang tingginya di atas 2000 mdpl. Namun, anehnya, kisah epifani atau ekstase leluhur Sunda tidak sebanyak yang termaktub dalam tradisi Timur Tengah dengan konsep kenabiannya.
Di Tatar Sunda, hampir tidak ditemukan kisah kenabian. Meski ada yang menduga bahwa mungkin saja pernah hadir nabi atau rasul di Nusantara, rata-rata nama-nama nabi memang sudah diposisikan sebagai bagian dari peradaban Semit: Yahudi, Kristen, dan Islam. Hal ini menjadi perenungan tersendiri tentang bagaimana sejarah spiritual Nusantara dibentuk.
Epifani tidak hanya milik sejarah kuno. Minggu kemarin, saya merasakannya ketika berkunjung ke Puncak Peuyeum, sebuah puncak di ketinggian sekitar 1300 mdpl. Saat berdiri di sana, alam seolah mengirimkan sinyal tentang betapa sempurnanya lukisan ciptaan Yang Maha Kuasa.
Bagi seorang ateis, menyebut nama “Yang Maha Kuasa” mungkin terasa absurd. Namun, faktanya, ateisme pun berlandaskan keyakinan. Mereka percaya Tuhan tidak ada tanpa pernah membuktikan ketiadaan itu secara ilmiah. Pada akhirnya, pandangan kaum ateisme juga bertumpu pada kepercayaan.
Bagi saya, berdiri di Puncak Peuyeum justru menegaskan betapa kecil diri manusia di hadapan semesta. Sejak lama saya terus mengampanyekan satu hal, pandanglah alam yang luas agar kita selalu ingat betapa kerdilnya diri kita. Kesadaran akan kerdilan itu melahirkan kepasrahan yang membuka ruang untuk disentuh hukum semesta dan ketetapan Tuhan.
Daya hipnosis alam sangat kuat. Orang bisa betah berlama-lama dalam heningnya, hanyut dalam keindahan. Itulah ekstase yang mungkin pernah dialami para nabi ketika berjumpa dengan-Nya. Bagi saya pribadi, pengalaman di Puncak Peuyeum terasa lebih bermakna karena saya ditemani perempuan yang saya cintai. Seolah hidup pun menemukan puncaknya.
Secara geografis, Puncak Peuyeum terletak di Kecamatan Gegerbitung. Kini wilayah ini sedang diproyeksikan menjadi bagian dari pemekaran Kota Sukabumi. Ada makna menarik dari rencana ini, sebab bila kelak Gegerbitung masuk ke wilayah kota, maka Puncak Peuyeum menjadi simbol spiritual sekaligus potensi wisata Sukabumi.
Dengan begitu, infrastruktur menuju ke puncak akan semakin diperhatikan. Jalan yang semula berbatu dan rusak bisa bertransformasi menjadi jalan beraspal yang lebih ramah bagi pengunjung. Bukan untuk merusak alam, tetapi agar lebih banyak orang bisa menyaksikan hamparan kesemestaan Sukabumi dari atas ketinggian.
Pemandangan dari Puncak Peuyeum memberi pesan yang jelas, Sukabumi adalah rumah keindahan. Kota ini harus dijaga dari kerusakan akibat pikiran serakah. Jangan biarkan keindahan alam ditukar dengan uang, apalagi dijual murah oleh kebodohan kolektif.
Duduk dan berdiri di puncak membuat kita sadar bahwa alam merupakan cermin spiritual. Puncak Peuyeum adalah altar terbuka di mana manusia dapat merasakan kehadiran Yang Maha Kuasa sekaligus merenungi arti kecilnya diri dalam jagat raya. Apalagi, hari kemarin saya ditemani oleh orang terkasih yang telah menggenapkan rasa sayangnya. Maka lahirlah perpaduan antara kemahakasihan-Nya dengan sayangnya.
Fakta sejarah dan arkeologi juga memperkuat hal ini. Pembangunan candi, menhir, hingga punden berundak pada dasarnya bertujuan menghadirkan ruang epifani, sebuah tempat di mana manusia merasa lebih dekat dengan Yang Maha Tinggi. Gunung dijadikan poros penghubung antara bumi dan langit.
Jika gunung merupakan simbol epifani, maka Nusantara sebenarnya memiliki modal spiritual yang sangat besar. Leluhur kita hidup di tanah yang dikelilingi pegunungan. Dengan begitu, potensi ekstase dan perjumpaan dengan dimensi transendental mestinya lebih banyak dialami di wilayah ini ketimbang di tempat lain yang minim gunung.
Ambil contoh Jawa Barat. Untuk satu wewengkon saja terdapat ratusan bukit dan barisan pegunungan, dengan 32 gunung yang tingginya di atas 2000 mdpl. Namun, anehnya, kisah epifani atau ekstase leluhur Sunda tidak sebanyak yang termaktub dalam tradisi Timur Tengah dengan konsep kenabiannya.
Di Tatar Sunda, hampir tidak ditemukan kisah kenabian. Meski ada yang menduga bahwa mungkin saja pernah hadir nabi atau rasul di Nusantara, rata-rata nama-nama nabi memang sudah diposisikan sebagai bagian dari peradaban Semit: Yahudi, Kristen, dan Islam. Hal ini menjadi perenungan tersendiri tentang bagaimana sejarah spiritual Nusantara dibentuk.
Epifani tidak hanya milik sejarah kuno. Minggu kemarin, saya merasakannya ketika berkunjung ke Puncak Peuyeum, sebuah puncak di ketinggian sekitar 1300 mdpl. Saat berdiri di sana, alam seolah mengirimkan sinyal tentang betapa sempurnanya lukisan ciptaan Yang Maha Kuasa.
Bagi seorang ateis, menyebut nama “Yang Maha Kuasa” mungkin terasa absurd. Namun, faktanya, ateisme pun berlandaskan keyakinan. Mereka percaya Tuhan tidak ada tanpa pernah membuktikan ketiadaan itu secara ilmiah. Pada akhirnya, pandangan kaum ateisme juga bertumpu pada kepercayaan.
Bagi saya, berdiri di Puncak Peuyeum justru menegaskan betapa kecil diri manusia di hadapan semesta. Sejak lama saya terus mengampanyekan satu hal, pandanglah alam yang luas agar kita selalu ingat betapa kerdilnya diri kita. Kesadaran akan kerdilan itu melahirkan kepasrahan yang membuka ruang untuk disentuh hukum semesta dan ketetapan Tuhan.
Daya hipnosis alam sangat kuat. Orang bisa betah berlama-lama dalam heningnya, hanyut dalam keindahan. Itulah ekstase yang mungkin pernah dialami para nabi ketika berjumpa dengan-Nya. Bagi saya pribadi, pengalaman di Puncak Peuyeum terasa lebih bermakna karena saya ditemani perempuan yang saya cintai. Seolah hidup pun menemukan puncaknya.
Secara geografis, Puncak Peuyeum terletak di Kecamatan Gegerbitung. Kini wilayah ini sedang diproyeksikan menjadi bagian dari pemekaran Kota Sukabumi. Ada makna menarik dari rencana ini, sebab bila kelak Gegerbitung masuk ke wilayah kota, maka Puncak Peuyeum menjadi simbol spiritual sekaligus potensi wisata Sukabumi.
Dengan begitu, infrastruktur menuju ke puncak akan semakin diperhatikan. Jalan yang semula berbatu dan rusak bisa bertransformasi menjadi jalan beraspal yang lebih ramah bagi pengunjung. Bukan untuk merusak alam, tetapi agar lebih banyak orang bisa menyaksikan hamparan kesemestaan Sukabumi dari atas ketinggian.
Pemandangan dari Puncak Peuyeum memberi pesan yang jelas, Sukabumi adalah rumah keindahan. Kota ini harus dijaga dari kerusakan akibat pikiran serakah. Jangan biarkan keindahan alam ditukar dengan uang, apalagi dijual murah oleh kebodohan kolektif.
Duduk dan berdiri di puncak membuat kita sadar bahwa alam merupakan cermin spiritual. Puncak Peuyeum adalah altar terbuka di mana manusia dapat merasakan kehadiran Yang Maha Kuasa sekaligus merenungi arti kecilnya diri dalam jagat raya. Apalagi, hari kemarin saya ditemani oleh orang terkasih yang telah menggenapkan rasa sayangnya. Maka lahirlah perpaduan antara kemahakasihan-Nya dengan sayangnya.

Posting Komentar untuk "Puncak Peuyeum dan Tatanan Kesemestaan Sukabumi"