Sepuluh tahun terakhir saya banyak menulis artikel bertema lingkungan. Topik yang berulang kali saya angkat adalah tentang keserakahan manusia dan dampaknya terhadap ruang hidupnya sendiri. Pola ini hampir selalu berakhir tragis dengan skema manusia merusak, lalu alam menyeimbangkan kembali dirinya tanpa harus meminta izin dari siapapun. Kendati manusia sering mengklaim diri sebagai “penjaga alam”, kenyataannya mereka justru pelaku utama kerusakan itu.
Semakin ke sini, saya kian sadar bahwa upaya mengingatkan manusia dengan berbagai dalih tidak banyak membawa perubahan berarti. Tabiat manusia yang sedang menggali kuburnya sendiri lewat penghancuran alam, seringkali tak tergoyahkan. Semua itu dibungkus dengan alasan pembangunan dan demi kebaikan, padahal nyatanya justru menciptakan kehancuran.
Sejatinya, hal ini telah diingatkan jauh hari dalam wahyu, sifat serakah manusia kerap mengatasnamakan kebaikan. Ironisnya, kebaikan semu itu justru menjadi pintu masuk bagi kerusakan besar-besaran terhadap lingkungan. Inilah paradoks yang terus kita hadapi di setiap zaman.
Meski demikian, memberi peringatan tetaplah penting. Itu merupakan wujud kepedulian kita terhadap kelestarian Bumi. Namun, kita juga perlu ingat, Bumi hanyalah satu titik debu kosmik dalam keluasan semesta. Tersapu badai matahari atau bencana kosmik, dalam sekejap saja Bumi bisa musnah.
Artinya, keberadaan manusia sesungguhnya tidak signifikan dalam skala semesta. Tapi manusia dengan angkuh melihat dirinya sebagai makhluk paling penting ciptaan Tuhan. Bahkan ada ayat yang menegaskan manusia diciptakan dalam kondisi terbaik, baik fisik maupun jiwa. Penafsiran semacam ini sering berkembang menjadi klaim sepihak, padahal semesta ini masih penuh misteri.
Kita bahkan belum sepenuhnya memahami keberadaan makhluk lain di planet ini, apalagi di ruang angkasa yang belum tereksplorasi. Sementara itu, manusia masih terus berseteru satu sama lain hanya karena berebut sepetak tanah, seringkali tanah yang gersang sekalipun. Betapa lucunya, makhluk kecil penghuni satu planet berani bertindak seolah menguasai jagat raya.
Bentuk kesombongan lain dari manusia adalah keyakinannya bahwa dengan akal pikiran, mereka bisa menciptakan ruang hidup baru di luar bumi. Sekilas terdengar sebagai inovasi, tetapi pada dasarnya itu hanyalah ekspresi keserakahan akut. Rumus sederhana kehidupan sebenarnya tidak serumit itu.
Untuk bertahan hidup, manusia cukup menanam padi, jagung, atau sayuran ke tanah. Bukan membenamkan mesin-mesin raksasa, apalagi teknologi nuklir. Untuk apa bersusah payah menciptakan kehidupan di planet lain yang masih tandus yang jelas-jelas tak memiliki unsur kehidupan, jika Bumi sendiri telah menyediakan segalanya?
Bumi memberi lebih dari cukup. Yang dibutuhkan hanyalah kesadaran untuk merawatnya. Jika manusia menjaga bumi dengan penuh tanggung jawab, Bumi akan menyediakan kenyamanan hidup yang berkelanjutan. Tapi jika terus diperlakukan dengan serakah, Bumi akan memberi balasan sesuai tabiat penghuninya.
Beberapa waktu lalu, muncul wacana bahwa tahun 2030 akan menjadi awal periode pemanasan global yang signifikan. Prediksinya, suhu rata-rata bumi bisa meningkat 1,5 derajat Celsius setiap lima tahun jika tren pemanasan global tidak diubah. Peringatan ini bukan hanya teori, melainkan hasil kajian para ilmuwan.
Celakanya, arah menuju krisis itu justru diciptakan sendiri oleh manusia. Elit global menggerakkan agenda yang membuat umat manusia akan sampai pada kondisi resesi ekonomi, kelangkaan energi, dan menipisnya sumber pangan. Di saat yang sama, konsumsi energi fosil terus meningkat, cerobong pabrik kian menjamur, dan jumlah kendaraan bermotor tak terkendali.
Kondisi ini bisa kita saksikan di banyak kota. Sukabumi, misalnya, yang dahulu dikenal sebagai “kulkas gede” kini mengalami kenaikan suhu rata-rata harian dari 19 derajat menjadi 24 derajat dalam tiga dekade terakhir. Perubahan ini jelas menjadi alarm keras bagi kesadaran kita.
Sejujurnya, Bumi memang sedang bergerak menuju kehancurannya. Semesta pun pada akhirnya akan mengalami entropi besar. Namun, bukan berarti manusia berhak berlepas tangan. Upaya melestarikan lingkungan tetap penting, sekurang-kurangnya sebagai bukti bahwa manusia benar-benar layak disebut pewaris dan penjaga bumi.
Kalau tidak, klaim itu hanyalah bualan belaka. Kita hanya akan tercatat dalam sejarah sebagai spesies serakah yang merusak rumahnya sendiri. Dan ketika alam menyeimbangkan dirinya, manusia hanyalah korban dari kebodohannya sendiri.
Semakin ke sini, saya kian sadar bahwa upaya mengingatkan manusia dengan berbagai dalih tidak banyak membawa perubahan berarti. Tabiat manusia yang sedang menggali kuburnya sendiri lewat penghancuran alam, seringkali tak tergoyahkan. Semua itu dibungkus dengan alasan pembangunan dan demi kebaikan, padahal nyatanya justru menciptakan kehancuran.
Sejatinya, hal ini telah diingatkan jauh hari dalam wahyu, sifat serakah manusia kerap mengatasnamakan kebaikan. Ironisnya, kebaikan semu itu justru menjadi pintu masuk bagi kerusakan besar-besaran terhadap lingkungan. Inilah paradoks yang terus kita hadapi di setiap zaman.
Meski demikian, memberi peringatan tetaplah penting. Itu merupakan wujud kepedulian kita terhadap kelestarian Bumi. Namun, kita juga perlu ingat, Bumi hanyalah satu titik debu kosmik dalam keluasan semesta. Tersapu badai matahari atau bencana kosmik, dalam sekejap saja Bumi bisa musnah.
Artinya, keberadaan manusia sesungguhnya tidak signifikan dalam skala semesta. Tapi manusia dengan angkuh melihat dirinya sebagai makhluk paling penting ciptaan Tuhan. Bahkan ada ayat yang menegaskan manusia diciptakan dalam kondisi terbaik, baik fisik maupun jiwa. Penafsiran semacam ini sering berkembang menjadi klaim sepihak, padahal semesta ini masih penuh misteri.
Kita bahkan belum sepenuhnya memahami keberadaan makhluk lain di planet ini, apalagi di ruang angkasa yang belum tereksplorasi. Sementara itu, manusia masih terus berseteru satu sama lain hanya karena berebut sepetak tanah, seringkali tanah yang gersang sekalipun. Betapa lucunya, makhluk kecil penghuni satu planet berani bertindak seolah menguasai jagat raya.
Bentuk kesombongan lain dari manusia adalah keyakinannya bahwa dengan akal pikiran, mereka bisa menciptakan ruang hidup baru di luar bumi. Sekilas terdengar sebagai inovasi, tetapi pada dasarnya itu hanyalah ekspresi keserakahan akut. Rumus sederhana kehidupan sebenarnya tidak serumit itu.
Untuk bertahan hidup, manusia cukup menanam padi, jagung, atau sayuran ke tanah. Bukan membenamkan mesin-mesin raksasa, apalagi teknologi nuklir. Untuk apa bersusah payah menciptakan kehidupan di planet lain yang masih tandus yang jelas-jelas tak memiliki unsur kehidupan, jika Bumi sendiri telah menyediakan segalanya?
Bumi memberi lebih dari cukup. Yang dibutuhkan hanyalah kesadaran untuk merawatnya. Jika manusia menjaga bumi dengan penuh tanggung jawab, Bumi akan menyediakan kenyamanan hidup yang berkelanjutan. Tapi jika terus diperlakukan dengan serakah, Bumi akan memberi balasan sesuai tabiat penghuninya.
Beberapa waktu lalu, muncul wacana bahwa tahun 2030 akan menjadi awal periode pemanasan global yang signifikan. Prediksinya, suhu rata-rata bumi bisa meningkat 1,5 derajat Celsius setiap lima tahun jika tren pemanasan global tidak diubah. Peringatan ini bukan hanya teori, melainkan hasil kajian para ilmuwan.
Celakanya, arah menuju krisis itu justru diciptakan sendiri oleh manusia. Elit global menggerakkan agenda yang membuat umat manusia akan sampai pada kondisi resesi ekonomi, kelangkaan energi, dan menipisnya sumber pangan. Di saat yang sama, konsumsi energi fosil terus meningkat, cerobong pabrik kian menjamur, dan jumlah kendaraan bermotor tak terkendali.
Kondisi ini bisa kita saksikan di banyak kota. Sukabumi, misalnya, yang dahulu dikenal sebagai “kulkas gede” kini mengalami kenaikan suhu rata-rata harian dari 19 derajat menjadi 24 derajat dalam tiga dekade terakhir. Perubahan ini jelas menjadi alarm keras bagi kesadaran kita.
Sejujurnya, Bumi memang sedang bergerak menuju kehancurannya. Semesta pun pada akhirnya akan mengalami entropi besar. Namun, bukan berarti manusia berhak berlepas tangan. Upaya melestarikan lingkungan tetap penting, sekurang-kurangnya sebagai bukti bahwa manusia benar-benar layak disebut pewaris dan penjaga bumi.
Kalau tidak, klaim itu hanyalah bualan belaka. Kita hanya akan tercatat dalam sejarah sebagai spesies serakah yang merusak rumahnya sendiri. Dan ketika alam menyeimbangkan dirinya, manusia hanyalah korban dari kebodohannya sendiri.

Posting Komentar untuk "Manusia, Keserakahan, dan Alam yang Menyeimbangkan Dirinya"