Saya termasuk manusia yang memiliki pandangan bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat nisbi, karena hal mutlak hanya ada dalam genggaman kekuasaan-Nya. Akan lain halnya ketika Allah SWT menyatakan bahwa dunia ini terdiri dari kenisbian dan kemutlakan, mungkin saya harus beralih pandangan.
Walakin sejatinya, dalam setiap dalil wahyu, saya hanya menemukan bahwa dunia adalah ladang permainan; artinya, di situ ada asumsi dan interpretasi terhadap dunia, yang memungkinkan adanya perubahan secara terus-menerus.
Ketika alam berubah, maka itu memang sudah menjadi hukum yang menyertainya. Planet Bumi yang kita tempati ini adalah bagian terkecil dari dunia atau alam semesta. Selama 13 miliar tahun sejak terbentuknya menjadi planet seperti sekarang, ia mengalami perubahan nyata dari waktu ke waktu.
Kita dapat saja berasumsi bahwa manusia adalah satu-satunya penghuni planet yang menempati sudut paling tenang di Galaksi Bima Sakti. Namun asumsi itu dapat kabur, apalagi ketika kita memahami usia planet ini yang sudah sedemikian tua bermiliar-miliar tahun.
Dalam linimasa dan rentang waktu miliaran tahun itu tentu ada fase-fase kehidupan yang dilalui, mulai dari masa formatif hingga masa formulatif seperti saat ini. Sejarah manusia hanya mentok pada takaran bahwa manusia berperadaban pertama muncul dalam bentuk homo sapiens saat revolusi kognitif terjadi sekitar 70.000 tahun lalu.
Jadi, usia kehidupan manusia seperti kita saat ini dibandingkan usia Planet Bumi hanya 0,00054 persen saja. Dengan mundur ke belakang, tentu ada rentang panjang yang menyimpan misteri dan belum terpecahkan sampai sekarang. Para saintis menyebutnya missing link.
Apalagi jika kita merujuk pada pandangan religius mengenai keberadaan manusia pertama atau Adam yang diperkirakan muncul 6.000 tahun lalu, maka semakin kecil lagi persentase kehidupan manusia jika dibandingkan dengan misteri yang menyertainya.
Pertanyaan tambahannya: Apa mungkin kehidupan manusia saat ini justru hanya merupakan salah satu skenario di semesta ini?
Kemungkinan selalu ada. Dapat saja lima miliar tahun lalu di planet mungil ini telah hidup sekelompok manusia seperti kita sekarang dengan peradaban yang lebih maju. Namun karena kebodohan mereka, pada akhirnya muncul penyakit atau bencana kemanusiaan yang meluluhlantakkan peradaban tersebut.
Walau begitu, ada ciri khas di dunia ini, yaitu kemampuan untuk bertahan hidup. Selalu ada pengecualian, meskipun kehidupan masa lalu punah, akan selalu tersisa organisme atau bahkan bentuk makhluk seperti manusia yang mampu selamat dan bertahan.
Sains dan agama dalam memahami hal tersebut memiliki dua penafsiran berbeda. Sains melihatnya melalui proses evolusi, seolah terjadi perubahan signifikan bentuk tubuh atau fisiologi manusia dari hewan seluler menjadi makhluk kompleks seperti sekarang.
Walakin, sampai saat ini kebenaran mengenai manusia yang dihasilkan melalui proses evolusi panjang belum benar-benar terbukti; teori-teorinya masih meraba-raba dalam bentuk mencoba dan terus mencoba.
Saya meyakini bahwa perubahan atau evolusi memang menjadi ciri khas dalam kehidupan. Makhluk hidup sekecil apa pun harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya untuk bertahan. Tanpa kemampuan adaptasi ini, manusia saja sudah diperkirakan mengalami kepunahan ratusan tahun lalu.
Saya akan lebih memilih ungkapan ini; dari setiap kepunahan di masa lalu, manusia sebenarnya hanya memulai kembali membangun peradaban. Namun, ilmu pengetahuan memang belum dapat menjawab dengan tuntas pertanyaan siapa sebenarnya manusia pertama di Bumi ini. Hanya saja, jawaban yang diberikan sains memerlukan pikiran tajam dan ikhtiar yang sungguh-sungguh.
Agama hadir, salah satunya, untuk membahas asal-usul manusia melalui proses pencitapaan dan kejatuhan Adam-Hawa dari Surga. Kita tidak tahu seperti apa peristiwa sebenarnya. Yang kita terima adalah penafsiran dari wahyu bahwa leluhur manusia berasal dari surga.
Tentu saja hal tersebut memerlukan upaya lebih jauh untuk memahami makna sebenarnya dari peristiwa tersebut, apalagi tidak semua kitab suci di dunia membahasnya kecuali tiga agama Semit yang serumpun.
Selain itu, ada pula upaya yang dapat dilakukan manusia untuk menjawab asal-usul keberadaannya, yakni dengan mengenali dan menelaah apa yang ada di sekitarnya. Saya ambil contoh air dan udara. Di dalam kedua unsur ini sudah tentu tersimpan data dan informasi masa lalu.
Air dan udara telah ada sejak manusia belum ada, karena keduanya merupakan penunjang kehidupan. Sangat tidak mungkin keberadaan keduanya lebih lambat daripada makhluk hidup. Di dalam keduanya tersimpan berkas masa lalu. Ketika masuk ke dalam tubuh kita, semestinya informasi itu dapat diurai, dikirimkan ke otak, lalu ditafsirkan dalam bentuk asumsi dan interpretasi.
Dapat saja agama dan sains yang kita kenal sekarang adalah dua penafsiran terhadap data masa lalu yang diuraikan di dalam tubuh ini. Lebih dari itu, berkas-berkas masa lalu yang tersimpan di alam ini, baik di dalam air, udara, tanah, tumbuhan, maupun awan, masih banyak yang belum terurai satu per satu. Mungkin penguraian tentangnya benar-benar memerlukan manusia super yang dapat mengakses jutaan informasi hanya dengan meminum segelas air.
Walakin sejatinya, dalam setiap dalil wahyu, saya hanya menemukan bahwa dunia adalah ladang permainan; artinya, di situ ada asumsi dan interpretasi terhadap dunia, yang memungkinkan adanya perubahan secara terus-menerus.
Ketika alam berubah, maka itu memang sudah menjadi hukum yang menyertainya. Planet Bumi yang kita tempati ini adalah bagian terkecil dari dunia atau alam semesta. Selama 13 miliar tahun sejak terbentuknya menjadi planet seperti sekarang, ia mengalami perubahan nyata dari waktu ke waktu.
Kita dapat saja berasumsi bahwa manusia adalah satu-satunya penghuni planet yang menempati sudut paling tenang di Galaksi Bima Sakti. Namun asumsi itu dapat kabur, apalagi ketika kita memahami usia planet ini yang sudah sedemikian tua bermiliar-miliar tahun.
Dalam linimasa dan rentang waktu miliaran tahun itu tentu ada fase-fase kehidupan yang dilalui, mulai dari masa formatif hingga masa formulatif seperti saat ini. Sejarah manusia hanya mentok pada takaran bahwa manusia berperadaban pertama muncul dalam bentuk homo sapiens saat revolusi kognitif terjadi sekitar 70.000 tahun lalu.
Jadi, usia kehidupan manusia seperti kita saat ini dibandingkan usia Planet Bumi hanya 0,00054 persen saja. Dengan mundur ke belakang, tentu ada rentang panjang yang menyimpan misteri dan belum terpecahkan sampai sekarang. Para saintis menyebutnya missing link.
Apalagi jika kita merujuk pada pandangan religius mengenai keberadaan manusia pertama atau Adam yang diperkirakan muncul 6.000 tahun lalu, maka semakin kecil lagi persentase kehidupan manusia jika dibandingkan dengan misteri yang menyertainya.
Pertanyaan tambahannya: Apa mungkin kehidupan manusia saat ini justru hanya merupakan salah satu skenario di semesta ini?
Kemungkinan selalu ada. Dapat saja lima miliar tahun lalu di planet mungil ini telah hidup sekelompok manusia seperti kita sekarang dengan peradaban yang lebih maju. Namun karena kebodohan mereka, pada akhirnya muncul penyakit atau bencana kemanusiaan yang meluluhlantakkan peradaban tersebut.
Walau begitu, ada ciri khas di dunia ini, yaitu kemampuan untuk bertahan hidup. Selalu ada pengecualian, meskipun kehidupan masa lalu punah, akan selalu tersisa organisme atau bahkan bentuk makhluk seperti manusia yang mampu selamat dan bertahan.
Sains dan agama dalam memahami hal tersebut memiliki dua penafsiran berbeda. Sains melihatnya melalui proses evolusi, seolah terjadi perubahan signifikan bentuk tubuh atau fisiologi manusia dari hewan seluler menjadi makhluk kompleks seperti sekarang.
Walakin, sampai saat ini kebenaran mengenai manusia yang dihasilkan melalui proses evolusi panjang belum benar-benar terbukti; teori-teorinya masih meraba-raba dalam bentuk mencoba dan terus mencoba.
Saya meyakini bahwa perubahan atau evolusi memang menjadi ciri khas dalam kehidupan. Makhluk hidup sekecil apa pun harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya untuk bertahan. Tanpa kemampuan adaptasi ini, manusia saja sudah diperkirakan mengalami kepunahan ratusan tahun lalu.
Saya akan lebih memilih ungkapan ini; dari setiap kepunahan di masa lalu, manusia sebenarnya hanya memulai kembali membangun peradaban. Namun, ilmu pengetahuan memang belum dapat menjawab dengan tuntas pertanyaan siapa sebenarnya manusia pertama di Bumi ini. Hanya saja, jawaban yang diberikan sains memerlukan pikiran tajam dan ikhtiar yang sungguh-sungguh.
Agama hadir, salah satunya, untuk membahas asal-usul manusia melalui proses pencitapaan dan kejatuhan Adam-Hawa dari Surga. Kita tidak tahu seperti apa peristiwa sebenarnya. Yang kita terima adalah penafsiran dari wahyu bahwa leluhur manusia berasal dari surga.
Tentu saja hal tersebut memerlukan upaya lebih jauh untuk memahami makna sebenarnya dari peristiwa tersebut, apalagi tidak semua kitab suci di dunia membahasnya kecuali tiga agama Semit yang serumpun.
Selain itu, ada pula upaya yang dapat dilakukan manusia untuk menjawab asal-usul keberadaannya, yakni dengan mengenali dan menelaah apa yang ada di sekitarnya. Saya ambil contoh air dan udara. Di dalam kedua unsur ini sudah tentu tersimpan data dan informasi masa lalu.
Air dan udara telah ada sejak manusia belum ada, karena keduanya merupakan penunjang kehidupan. Sangat tidak mungkin keberadaan keduanya lebih lambat daripada makhluk hidup. Di dalam keduanya tersimpan berkas masa lalu. Ketika masuk ke dalam tubuh kita, semestinya informasi itu dapat diurai, dikirimkan ke otak, lalu ditafsirkan dalam bentuk asumsi dan interpretasi.
Dapat saja agama dan sains yang kita kenal sekarang adalah dua penafsiran terhadap data masa lalu yang diuraikan di dalam tubuh ini. Lebih dari itu, berkas-berkas masa lalu yang tersimpan di alam ini, baik di dalam air, udara, tanah, tumbuhan, maupun awan, masih banyak yang belum terurai satu per satu. Mungkin penguraian tentangnya benar-benar memerlukan manusia super yang dapat mengakses jutaan informasi hanya dengan meminum segelas air.

Posting Komentar untuk "Manusia, Kenisbian, dan Jejak Masa Silam Alam Semesta"