Hidup manusia, seperti disebutkan oleh Herakleitos, terus berubah dari waktu ke waktu. Perubahan itu tidak hanya terjadi pada bentuk tubuh atau fisik, tetapi juga pada pikiran dan kehendak.
Saat kecil, ketika saya dan teman-teman hidup di perkampungan yang masih diselimuti berbagai vegetasi, jalan berbatu, dan pekarangan tanah, kami memimpikan masa depan kampung halaman yang menyerupai kota-kota besar.
Kami membayangkan jalan beraspal, pekarangan ditembok beton, dan lingkungan yang dipenuhi tiang-tiang lampu warna-warni. Kota besar tampak seperti surga yang sangat menarik untuk dinikmati.
Walakin, pikiran manusia memang selalu berubah. Kini, saat kampung halaman kami telah benar-benar bertransformasi menjadi bentuk kota yang dulu saya bayangkan; jalan beraspal, lampu-lampu menerangi lingkungan, rumah beton bertingkat, dan jalan lingkungan ditembok, kami justru ingin kembali ke masa lalu yang hijau dan hening.
Sekarang, kampung itu telah menjadi daerah urban yang selalu hidup, disesaki gemuruh suara kendaraan. Dahulu saya membayangkan betapa enaknya tinggal di wilayah yang ramai seperti Jakarta, karena suasananya tidak pernah sepi. Malam hari pun kami tidak akan takut pada sandekala atau ririwa seperti yang sering dikisahkan ibu dan nenek.
Tahun 1992, menjelang kelulusan sekolah dasar, saya dan teman-teman telah terbiasa berjalan kaki dari rumah ke sekolah dan pulang melalui pematang sawah.
Saat itu musim panas sudah berlangsung selama satu bulan. Hamparan padi menguning dan sebentar lagi akan dipanen. Entah setan apa yang merasuki salah seorang teman, tiba-tiba ia memiliki pikiran usil; membakar padi milik salah seorang petani.
Tanpa pertimbangan apa pun, entah itu bentuk kenakalan anak-anak atau karena dirinya benar-benar telah dirasuki setan atau jurig jarian, pohon padi yang menguning dan kering itu dibakar. Kami semua sontak kaget dan gugup karena api semakin membesar, terlebih angin musim kemarau biasanya bertiup cukup kencang di areal persawahan.
Tanpa menunggu perintah siapa pun, kami termasuk pelaku pembakaran itu berhamburan melarikan diri. Malangnya, pemilik sawah melihat kejadian tersebut. Ia segera memadamkan api, lalu mengejar kami sambil mengacungkan parang dan mengumpat kata-kata kasar karena marah luar biasa.
Beruntung, tidak ada seorang pun dari kami yang tertangkap. Saat itu saya berpikir bahwa kami sudah aman dan tidak akan ada masalah lagi.
Namun, rupanya kejadian tersebut berujung pada laporan pemilik sawah kepada Pak RW dan Pak Kades.
Ia melaporkan nama-nama anak yang melakukan pembakaran karena memang mengenal kami. Kami adalah anak-anak yang sering bertemu dengannya di masjid setiap magrib, isya, dan subuh.
Para orangtua pun dipanggil satu per satu ke rumah kepala desa. Muncullah kesepakatan antara orangtua dan pemilik sawah; setiap anak yang terlibat, baik pelaku maupun yang dianggap terlibat secara keseluruhan, harus memberikan uang ganti rugi sebesar Rp500 per anak. Para orangtua menyetujuinya tanpa keberatan.
Esok harinya, mungkin karena peristiwa itu cukup traumatis, kami memilih jalan berbeda saat pulang sekolah. Kami tidak melewati pematang sawah dan memilih jalur alternatif melalui gang samping kantor balai desa, menuju Masjid Ad-Da’wah, lalu pulang melalui jalan utama yang masih berupa batu.
Walau begitu, rasa penasaran saya terhadap seberapa luas bagian sawah yang terbakar masih membekas.
Setelah berganti pakaian, karena saya sudah lulus sekolah agama dan tidak ada kegiatan lain, saya sengaja mendatangi lokasi sawah yang terbakar. Ternyata tidak seperti yang diceritakan pemilik sawah kepada Pak Kades bahwa sawahnya terbakar “setengah petak.”
Yang terbakar sebenarnya hanya sekitar tiga dapuran saja, sekitar 12 batang pohon padi. Jika dihitung, padi sebanyak itu paling banyak hanya menghasilkan satu-dua liter beras.
Sementara itu, pemilik sawah menerima ganti rugi sekitar Rp6.000,- yang pada masa itu cukup untuk membeli sekitar 15 liter beras. Kesepakatan berupa “hukum adat tidak tertulis” itu jelas sangat menguntungkan pihak pemilik sawah dari sisi mana pun.
Namun kami, para anak-anak, tidak pernah mempermasalahkannya. Tidak pernah terlintas di pikiran kami bahwa nilai ganti rugi itu jauh lebih besar daripada pohon padi yang terbakar.
Kisah itu pun terkubur selama lebih dari tiga dekade. Di kampung halaman kami, peristiwa tersebut tidak pernah lagi diceritakan, kecuali melalui tulisan ini.
Saat kecil, ketika saya dan teman-teman hidup di perkampungan yang masih diselimuti berbagai vegetasi, jalan berbatu, dan pekarangan tanah, kami memimpikan masa depan kampung halaman yang menyerupai kota-kota besar.
Kami membayangkan jalan beraspal, pekarangan ditembok beton, dan lingkungan yang dipenuhi tiang-tiang lampu warna-warni. Kota besar tampak seperti surga yang sangat menarik untuk dinikmati.
Walakin, pikiran manusia memang selalu berubah. Kini, saat kampung halaman kami telah benar-benar bertransformasi menjadi bentuk kota yang dulu saya bayangkan; jalan beraspal, lampu-lampu menerangi lingkungan, rumah beton bertingkat, dan jalan lingkungan ditembok, kami justru ingin kembali ke masa lalu yang hijau dan hening.
Sekarang, kampung itu telah menjadi daerah urban yang selalu hidup, disesaki gemuruh suara kendaraan. Dahulu saya membayangkan betapa enaknya tinggal di wilayah yang ramai seperti Jakarta, karena suasananya tidak pernah sepi. Malam hari pun kami tidak akan takut pada sandekala atau ririwa seperti yang sering dikisahkan ibu dan nenek.
Tahun 1992, menjelang kelulusan sekolah dasar, saya dan teman-teman telah terbiasa berjalan kaki dari rumah ke sekolah dan pulang melalui pematang sawah.
Saat itu musim panas sudah berlangsung selama satu bulan. Hamparan padi menguning dan sebentar lagi akan dipanen. Entah setan apa yang merasuki salah seorang teman, tiba-tiba ia memiliki pikiran usil; membakar padi milik salah seorang petani.
Tanpa pertimbangan apa pun, entah itu bentuk kenakalan anak-anak atau karena dirinya benar-benar telah dirasuki setan atau jurig jarian, pohon padi yang menguning dan kering itu dibakar. Kami semua sontak kaget dan gugup karena api semakin membesar, terlebih angin musim kemarau biasanya bertiup cukup kencang di areal persawahan.
Tanpa menunggu perintah siapa pun, kami termasuk pelaku pembakaran itu berhamburan melarikan diri. Malangnya, pemilik sawah melihat kejadian tersebut. Ia segera memadamkan api, lalu mengejar kami sambil mengacungkan parang dan mengumpat kata-kata kasar karena marah luar biasa.
Beruntung, tidak ada seorang pun dari kami yang tertangkap. Saat itu saya berpikir bahwa kami sudah aman dan tidak akan ada masalah lagi.
Namun, rupanya kejadian tersebut berujung pada laporan pemilik sawah kepada Pak RW dan Pak Kades.
Ia melaporkan nama-nama anak yang melakukan pembakaran karena memang mengenal kami. Kami adalah anak-anak yang sering bertemu dengannya di masjid setiap magrib, isya, dan subuh.
Para orangtua pun dipanggil satu per satu ke rumah kepala desa. Muncullah kesepakatan antara orangtua dan pemilik sawah; setiap anak yang terlibat, baik pelaku maupun yang dianggap terlibat secara keseluruhan, harus memberikan uang ganti rugi sebesar Rp500 per anak. Para orangtua menyetujuinya tanpa keberatan.
Esok harinya, mungkin karena peristiwa itu cukup traumatis, kami memilih jalan berbeda saat pulang sekolah. Kami tidak melewati pematang sawah dan memilih jalur alternatif melalui gang samping kantor balai desa, menuju Masjid Ad-Da’wah, lalu pulang melalui jalan utama yang masih berupa batu.
Walau begitu, rasa penasaran saya terhadap seberapa luas bagian sawah yang terbakar masih membekas.
Setelah berganti pakaian, karena saya sudah lulus sekolah agama dan tidak ada kegiatan lain, saya sengaja mendatangi lokasi sawah yang terbakar. Ternyata tidak seperti yang diceritakan pemilik sawah kepada Pak Kades bahwa sawahnya terbakar “setengah petak.”
Yang terbakar sebenarnya hanya sekitar tiga dapuran saja, sekitar 12 batang pohon padi. Jika dihitung, padi sebanyak itu paling banyak hanya menghasilkan satu-dua liter beras.
Sementara itu, pemilik sawah menerima ganti rugi sekitar Rp6.000,- yang pada masa itu cukup untuk membeli sekitar 15 liter beras. Kesepakatan berupa “hukum adat tidak tertulis” itu jelas sangat menguntungkan pihak pemilik sawah dari sisi mana pun.
Namun kami, para anak-anak, tidak pernah mempermasalahkannya. Tidak pernah terlintas di pikiran kami bahwa nilai ganti rugi itu jauh lebih besar daripada pohon padi yang terbakar.
Kisah itu pun terkubur selama lebih dari tiga dekade. Di kampung halaman kami, peristiwa tersebut tidak pernah lagi diceritakan, kecuali melalui tulisan ini.

Posting Komentar untuk "Senja Itu: Sejumput Kisah Masa Lalu, Aku dan Kampung Halamanku (Bag 26)"