Si Oneng Ingin Menjadi Ceu Iroh

Kota Bekasi, sebagaimana kota besar lainnya, memiliki suhu udara yang cukup tinggi. Kebiasaan saya setiap kali berkunjung ke kota dengan suhu harian tinggi adalah mencari masjid dan duduk berlama-lama di dalamnya.

Suasana teduh dan tenang biasanya mampu meredakan panas. Namun, ketika kemarin saya berkunjung ke Bekasi, meskipun sudah berada di dalam masjid, hawa panas dari luar tetap terasa. Sedikit gerah memang, meskipun tidak sepanas di luar ruangan.

Kunjungan saya kali ini bertepatan dengan peringatan Hari Kesatuan Gerak PKK ke-53 di Kota Bekasi. Saya mendapat tugas untuk meliput kegiatan Ketua Tim Penggerak PKK Kota Sukabumi, Ibu Ranty Rachmatilah.

Salah satu acara utama dalam kegiatan tersebut adalah sharing session bersama Rieke Diah Pitaloka, yang tampil menyampaikan orasi di hadapan para kader PKK. Sebagai seorang mantan artis yang dikenal jenaka, Rieke membuka orasinya dengan guyonan khas: ia tak ingin lagi dipanggil “Oneng,” tetapi ingin diganti menjadi “Ceu Iroh.”

Menurutnya, tokoh Oneng sering dianggap lambang perempuan yang terpinggirkan, lugu, dan kurang berdaya, sementara Ceu Iroh merepresentasikan perempuan yang sederhana namun kuat dan penuh kepedulian.

Candaan itu tentu bukan hal serius melainkan satire sosial. Pesan yang ingin disampaikan Rieke sangat jelas yaitu; perempuan Jawa Barat harus berdaya dan mandiri, sebagaimana teladan Dewi Sartika.

Sosok pahlawan perempuan Sunda tersebut bukan hanya berperan dalam bidang pendidikan, tetapi juga dalam memperjuangkan kesejahteraan sosial dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dari semangat Dewi Sartika itulah, kata Rieke, harus lahir kembali perempuan-perempuan Sunda yang tangguh, bergerak, dan berkontribusi nyata dalam berbagai bidang kehidupan.

Peralihan panggilan dari “Oneng” menjadi “Ceu Iroh” dalam diri Rieke juga mencerminkan transformasi perjalanan hidupnya, dari seorang artis menjadi anggota parlemen. Fenomena ini memang sempat menjadi tren di awal masa reformasi, ketika sejumlah artis dan bintang film beralih dari dunia hiburan ke panggung politik.

Tidak ada yang keliru dengan langkah tersebut, sebab konstitusi menjamin hak setiap warga negara untuk memilih dan dipilih. Walakin, sosok Rieke bisa menjadi contoh bahwa perubahan profesi harus diiringi dengan transformasi kapasitas dan pemikiran, bukan sekadar perpindahan panggung.

Dalam orasinya, Rieke menekankan bahwa kebahagiaan seorang Ceu Iroh tidak ditentukan oleh banyaknya harta atau barang yang dimiliki, melainkan oleh kemampuan untuk berbuat baik dan memberi manfaat bagi orang lain. Dalam konteks ini, menurutnya, kader PKK adalah teladan nyata perempuan yang bekerja dengan hati, mengabdi tanpa pamrih untuk kesejahteraan keluarga dan masyarakat.

Pesan tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Ibu Ranty Rachmatilah, Ketua TP-PKK Kota Sukabumi. Ia menegaskan bahwa semangat berbuat baik dan memberi manfaat bagi orang lain harus terus hidup di tengah kehidupan masyarakat Kota Sukabumi.

Nilai-nilai kepedulian, solidaritas, dan pengabdian sosial harus menjadi fondasi utama dalam setiap gerakan kader PKK, sebagaimana makna yang tersirat dari perubahan sebutan Oneng menjadi Ceu Iroh; dari yang diam menjadi bergerak, dari yang lugu menjadi sadar, dari yang lemah menjadi berdaya.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Si Oneng Ingin Menjadi Ceu Iroh"