Pemekaran Baros dan Jalan Menuju Kotamadya


Warga Balandongan Tahun 1995, Saat Masih Menjadi Warga Kabupaten Sukabumi/Dok. Pribadi  

Pemekaran wilayah perkotaan, baik dari sisi sistem sosial maupun pemerintahan, merupakan fenomena yang lazim dalam dinamika pembangunan. Proses ini umumnya dipengaruhi oleh kedekatan kultur, nilai, serta intensitas interaksi antara wilayah kota lama dengan wilayah yang akan dimekarkan. Ketika batas administratif tidak lagi sejalan dengan realitas sosial, maka pemekaran sering dipandang sebagai kebutuhan yang rasional.

Sekitar tiga dekade lalu, pemekaran wilayah terjadi dengan pertimbangan utama aksesibilitas geografis dan administratif. Penduduk perdesaan di suatu kecamatan kerap memiliki kedekatan yang lebih kuat dengan pusat perkotaan dibandingkan dengan ibu kota kabupaten induknya. Kondisi inilah yang terjadi di wilayah Baros pada rentang waktu 1994–1997, ketika sebagian masyarakatnya secara sosial dan praktis telah berorientasi ke Kotamadya Sukabumi.

Namun demikian, pemekaran wilayah tidak semata-mata ditentukan oleh jarak dan akses. Terdapat faktor lain yang menyertainya, antara lain kesadaran kolektif masyarakat, kebutuhan pelayanan publik, serta kehendak politik pemerintah daerah. Keinginan suatu kecamatan untuk bergabung ke dalam wilayah administratif kota juga menjadi elemen penting yang tidak dapat diabaikan.

Pada tahun 1996, ketika masih duduk di bangku SMA kelas satu, isu pemekaran wilayah Kotamadya Sukabumi dengan memasukkan Kecamatan Baros mulai saya dengar dan saya pandang cukup serius. Saat itu muncul pertanyaan sederhana di benak saya, mengapa Pemerintah Kotamadya Sukabumi hanya mengambil Kecamatan Baros, sementara kecamatan lain seperti Kecamatan Sukabumi di kawasan Selabintana dan sekitarnya tidak ikut dimekarkan?


Lingkar Selatan Tahun 2007 /Dok. Pribadi

Jawaban atas pertanyaan tersebut, jika ditarik ke belakang, memang terletak pada kedekatan sosial dan kultur masyarakat. Pada masa kepemimpinan Udin Koswara, masyarakat Kecamatan Baros yang masih menjadi bagian dari Kabupaten Sukabumi memiliki akses yang lebih baik ke pusat Kotamadya Sukabumi. Mereka lebih akrab dengan nama Wali Kotamadya Sukabumi dibandingkan Bupati Sukabumi. Hal ini tidak terlepas dari arus informasi yang mereka terima, terutama melalui radio-radio yang berbasis di wilayah kotamadya.

Selain itu, orientasi pendidikan masyarakat Baros juga cenderung mengarah ke wilayah perkotaan. Banyak orang tua menyekolahkan anak-anak mereka ke SMP, MTs, hingga SMA di Kotamadya Sukabumi. Hampir seluruh sekolah tingkat pertama dan atas di wilayah kota dapat diakses oleh siswa dari Baros, kecuali SMP Negeri Baros saat itu yang kini dikenal sebagai SMPN 13. Tanpa disadari, proses sosial ini membentuk kedekatan psikologis generasi muda Baros dengan kehidupan kota, termasuk pengenalan terhadap struktur pemerintahan kota melalui ruang-ruang pendidikan.

Pada periode yang sama, Pemerintah Kotamadya Sukabumi juga menunjukkan keseriusan dalam mengawal isu pemekaran melalui langkah konkret di lapangan. Antara tahun 1995 hingga 1998, pelebaran Jalan Santiong hingga Cikeong dilakukan secara intensif untuk membuka akses antara Jalan Pelabuhan II dan Jalan Baros. Mengingat saat itu belum ada rencana pembangunan Jalan Lingkar Selatan, pelebaran jalan menjadi satu-satunya solusi strategis untuk memperkuat konektivitas wilayah.


Jalan Merdeka, Cikundul Tahun 2010 /Dok. Pribadi

Menariknya, proses pelebaran jalan tersebut tidak menimbulkan resistensi berarti dari masyarakat. Warga yang memiliki lahan di sepanjang Santiong hingga Cikeong merelakan tanahnya untuk kepentingan publik. Lebar jalan yang semula sekitar tiga meter diperluas menjadi hampir sembilan meter, sekarang bernama Jalan Merdeka dan Jalan Proklamasi. Infrastruktur ini menjadi simbol kesungguhan pemerintah kotamadya dalam menyiapkan wilayah pemekaran. Setelah itu, Pemerintah Kotamadya Sukabumi juga membuka Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cikundul, menggantikan fungsi Kerkhof sebagai lokasi pembuangan sampah.

Bagi masyarakat perdesaan, langkah ini dipandang sebagai kemajuan yang nyata. Sampah, yang sebelumnya dikelola secara tradisional dengan cara ditimbun dan dibakar di belakang rumah, kini ditangani secara terpusat dan lebih tertata. Pada tahun 1997, saya sempat mengunjungi TPA Cikundul, yang saat itu masih sangat layak, belum dipenuhi gunungan sampah, dan dikelilingi pepohonan besar yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan.

Pengalaman lain yang masih saya ingat dengan jelas terjadi ketika duduk di bangku SMP kelas tiga. Sekolah saya berada tepat di perbatasan wilayah kabupaten dan kota, yakni antara Desa Sindangsari dan Cikujang. Saat itu, patok besar penanda batas wilayah yang berdiri di depan SMP Negeri 3 mulai dibongkar oleh pemerintah. Batas fisik antara desa dan kota dilebur, bukan diperkuat.


Jalan Merdeka, Santiong Mengalami Kerusakan Tahun 2015/Dok. Pribadi

Tindakan tersebut mencerminkan komunikasi yang baik antarpemerintah daerah, sekaligus semangat penyatuan wilayah. Dalam skala simbolik, peristiwa ini mengingatkan pada peruntuhan Tembok Berlin tahun 1989, yang menandai berakhirnya sekat ideologis dan dimulainya babak baru sejarah, sebagaimana dikemukakan Francis Fukuyama dalam gagasan The End of History.

Ketika Baros resmi menjadi bagian dari Kotamadya Sukabumi pada tahun 1997, respons masyarakat perdesaan cenderung positif. Proses tersebut diterima secara sukarela, dengan perasaan gembira dan penuh harapan. Bagi banyak warga, menjadi bagian dari kota berarti mendekatkan diri pada pelayanan publik, efisiensi administrasi, dan masa depan yang lebih baik. Ungkapan sederhana seperti “sekarang mah, ngurus KTP teu kudu jauh-jauh deui” mencerminkan imaji kota sebagai ruang harapan.

Inilah sekelumit kisah tentang mengapa Kecamatan Baros, yang semula terdiri atas 13 desa, kemudian dipecah menjadi tiga kecamatan: Baros, Cibeureum, dan Lembursitu. Proses ini ditentukan oleh kehendak politik pemerintah, didukung oleh kesiapan infrastruktur, serta kerelaan masyarakat untuk menjadi bagian dari satu wilayah administratif yang baru. Sebuah peristiwa yang memperlihatkan bahwa pemekaran wilayah tidak hanya soal garis batas, tetapi juga tentang kesadaran sosial dan cita-cita bersama.

Posting Komentar untuk "Pemekaran Baros dan Jalan Menuju Kotamadya"