Sekitar tahun 2009, saya masih ingat pernah menulis kalimat sederhana: Waktu tak pernah mau menunggu. Kalimat singkat itu saya tulis untuk merasakan bahwa perjalanan sang waktu yang membersamai semua manusia terus mengalir.
Saya sebenarnya pernah membaca ungkapan Herakleitos; panta rhei kai ouden menei. Hal ini sejalan dengan pikiran saya saat itu bahwa waktu terus berjalan.
Banyak orang memiliki pandangan yang sama bahwa perjalanan diri kita bersama waktu begitu tidak terasa. Empat puluh tahun lalu kita masih duduk di bangku sekolah dasar, menikmati masa kecil yang getir dan manis, canda tawa hingga linangan air mata.
Itu berarti 40 puasa dan lebaran telah kita lalui. Selama 40 tahun itu pula, kita merasakan perbedaan dari tahun ke tahun dalam ruang hidup kita.
Setelan kehidupan memang dirancang oleh Sang Pencipta dengan sifat kefanaan, ketidakajegan, dan perubahan yang terus mengalir. Hal ini sesuai dengan pikiran dan perasaan manusia yang terus silih berganti.
Saya dan teman-teman yang hidup di penghujung milenium pertama dan awal milenium kedua tentu memiliki kesan berbeda dengan generasi yang hanya mencicipi hidup di era milenium kedua.
Kendati hidup dalam ruang dan waktu yang sama, setiap generasi memiliki cara masing-masing dalam mempersepsi apa yang ada di luar dirinya.
Tahun 2009, dunia baru merangkak sembilan tahun memasuki milenium kedua. Pergeseran cara tradisional ke cara modern semakin nyata, desa-desa mulai berubah menjadi daerah urban.
Lima tahun sebelumnya orang-orang masih memuja ponsel Nokia, namun dua tahun menjelang 2009, perhatian manusia beralih kepada ponsel cerdas dengan keyboard fisik QWERTY bernama BlackBerry.
Pikiran dan tindakan rata-rata manusia saat itu mengarah pada bagaimana memiliki ponsel yang dilengkapi dengan obrolan berbasis PIN bernama BBM.
Namun, tanpa perlu menunggu lima tahunan, kepopuleran BlackBerry justru menjadi awal kemundurannya ketika ponsel berbasis Android mulai diluncurkan.
Di sisi lain, ponsel berbasis iOS terus melaju sendirian dan hingga kini masih memiliki penggemar yang berimbang dengan Android. Bahkan sekarang, seseorang bisa memiliki dua ponsel sekaligus.
Peristiwa dalam dunia gawai ini cukup mewakili perubahan cara pandang manusia dalam hidup. Peralihan dari Nokia ke BlackBerry, misalnya, adalah perubahan dari cara pandang yang terlalu ribet kepada kecepatan.
Berbicara tentang kecepatan tentu tidak terpisahkan dari waktu, karena dalam teori fisika kecepatan adalah jarak dibagi waktu. Ketika kecepatan bertambah besar, waktu sebagai pembagi semakin mengecil, artinya waktu dipersepsi semakin tidak terasa. Manusia pun merasakan waktu berlalu begitu cepat.
Tidak mengherankan bila akhir-akhir ini banyak orang berpikir bahwa waktu berlalu begitu cepat. Padahal, ini hanya masalah persepsi atau sensasi, karena waktu yang dilalui manusia tidak pernah berubah, ia berjalan konstan. Yang berubah adalah ruang tempat manusia hidup dan bagaimana ia mempersepsinya.
Faktanya demikian, jika ukuran yang dipakai adalah “masa kini”, jarang manusia meperhitungkan waktu. Mereka baru menghitung waktu ketika yang dijadikan ukuran adalah “masa depan” atau “masa lalu”, ketika ada jarak antara diri dengan apa yang akan dan sudah terjadi. Masa depan dibalut harapan, dan masa lalu diselimuti kenangan.
Pada masyarakat perdesaan, terutama generasi baby boomers, nongkrong di kedai kopi sampai larut malam mungkin dianggap tidak umum. Bagi generasi ini, nongkrong malam hari lumrahnya dilakukan di pos ronda.
Namun bagi generasi X dan Y pada tahun 2009, termasuk di Kota Sukabumi, tempat nongkrong telah beralih ke kafe, kedai kopi, dan pusat kuliner yang bisa buka sampai dini hari.
Warga kota hanya dengan membeli segelas kopi dapat duduk berlama-lama sambil memanfaatkan fasilitas wifi gratis. Manusia modern membutuhkan internet untuk memaksimalkan kinerja gawainya.
Waktu terus mengalir dengan pola yang tidak linear, sangat acak, dengan berbagai peristiwa yang menyertainya. Banyak kejadian yang tidak pernah terprediksi sebelumnya.
Pada tahun 2018, dunia tidak pernah membayangkan bahwa akan terjadi relaksasi besar di masa pandemi. Dunia mendadak lebih hening, dan waktu seakan berjalan lambat. Pasar daring menjadi jawaban terhadap penerapan social distancing.
Kasus pertama Covid-19 yang muncul pada akhir 2019 mungkin tidak diperhitungkan akan menjadi pandemi luar biasa yang mengubah tatanan kehidupan dari normal lama ke normal baru. Manusia baru menyadarinya setelah satu tahun penularan terus terjadi dan jutaan nyawa telah melayang.
Dari peristiwa tersebut, manusia menyadari kerapuhan dirinya saat berhadapan dengan alam yang “disetel” secara tiba-tiba. Penelitian dan teknologi tidak mampu menghentikan penularan begitu saja. Namun tanpa ikhtiar membatasi kerumunan, jumlah kematian mungkin akan jauh lebih tinggi.
Normal baru di masa pandemi adalah kebalikan dari gaya hidup manusia selama sepuluh tahun sejak 2009. Kedai kopi, pusat perbelanjaan, ruang publik, lembaga pendidikan, hingga lembaga keagamaan menjadi sepi, bukan ditinggalkan manusia, tetapi demi mempertahankan kehidupan itu sendiri.
Dalam seluruh rangkaian perubahan itu, waktu terus mengalir, membawa manusia menyadari bahwa ia hanya bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang tidak pernah berhenti.
Catatan: Semua gambar dalam artikel ini diunduh dari Unsplash.com
Saya sebenarnya pernah membaca ungkapan Herakleitos; panta rhei kai ouden menei. Hal ini sejalan dengan pikiran saya saat itu bahwa waktu terus berjalan.
Banyak orang memiliki pandangan yang sama bahwa perjalanan diri kita bersama waktu begitu tidak terasa. Empat puluh tahun lalu kita masih duduk di bangku sekolah dasar, menikmati masa kecil yang getir dan manis, canda tawa hingga linangan air mata.
Itu berarti 40 puasa dan lebaran telah kita lalui. Selama 40 tahun itu pula, kita merasakan perbedaan dari tahun ke tahun dalam ruang hidup kita.
Setelan kehidupan memang dirancang oleh Sang Pencipta dengan sifat kefanaan, ketidakajegan, dan perubahan yang terus mengalir. Hal ini sesuai dengan pikiran dan perasaan manusia yang terus silih berganti.
Saya dan teman-teman yang hidup di penghujung milenium pertama dan awal milenium kedua tentu memiliki kesan berbeda dengan generasi yang hanya mencicipi hidup di era milenium kedua.
Kendati hidup dalam ruang dan waktu yang sama, setiap generasi memiliki cara masing-masing dalam mempersepsi apa yang ada di luar dirinya.
Tahun 2009, dunia baru merangkak sembilan tahun memasuki milenium kedua. Pergeseran cara tradisional ke cara modern semakin nyata, desa-desa mulai berubah menjadi daerah urban.
Lima tahun sebelumnya orang-orang masih memuja ponsel Nokia, namun dua tahun menjelang 2009, perhatian manusia beralih kepada ponsel cerdas dengan keyboard fisik QWERTY bernama BlackBerry.
Pikiran dan tindakan rata-rata manusia saat itu mengarah pada bagaimana memiliki ponsel yang dilengkapi dengan obrolan berbasis PIN bernama BBM.
Namun, tanpa perlu menunggu lima tahunan, kepopuleran BlackBerry justru menjadi awal kemundurannya ketika ponsel berbasis Android mulai diluncurkan.
Di sisi lain, ponsel berbasis iOS terus melaju sendirian dan hingga kini masih memiliki penggemar yang berimbang dengan Android. Bahkan sekarang, seseorang bisa memiliki dua ponsel sekaligus.
Peristiwa dalam dunia gawai ini cukup mewakili perubahan cara pandang manusia dalam hidup. Peralihan dari Nokia ke BlackBerry, misalnya, adalah perubahan dari cara pandang yang terlalu ribet kepada kecepatan.
Berbicara tentang kecepatan tentu tidak terpisahkan dari waktu, karena dalam teori fisika kecepatan adalah jarak dibagi waktu. Ketika kecepatan bertambah besar, waktu sebagai pembagi semakin mengecil, artinya waktu dipersepsi semakin tidak terasa. Manusia pun merasakan waktu berlalu begitu cepat.
Tidak mengherankan bila akhir-akhir ini banyak orang berpikir bahwa waktu berlalu begitu cepat. Padahal, ini hanya masalah persepsi atau sensasi, karena waktu yang dilalui manusia tidak pernah berubah, ia berjalan konstan. Yang berubah adalah ruang tempat manusia hidup dan bagaimana ia mempersepsinya.
Faktanya demikian, jika ukuran yang dipakai adalah “masa kini”, jarang manusia meperhitungkan waktu. Mereka baru menghitung waktu ketika yang dijadikan ukuran adalah “masa depan” atau “masa lalu”, ketika ada jarak antara diri dengan apa yang akan dan sudah terjadi. Masa depan dibalut harapan, dan masa lalu diselimuti kenangan.
Pada masyarakat perdesaan, terutama generasi baby boomers, nongkrong di kedai kopi sampai larut malam mungkin dianggap tidak umum. Bagi generasi ini, nongkrong malam hari lumrahnya dilakukan di pos ronda.
Namun bagi generasi X dan Y pada tahun 2009, termasuk di Kota Sukabumi, tempat nongkrong telah beralih ke kafe, kedai kopi, dan pusat kuliner yang bisa buka sampai dini hari.
Warga kota hanya dengan membeli segelas kopi dapat duduk berlama-lama sambil memanfaatkan fasilitas wifi gratis. Manusia modern membutuhkan internet untuk memaksimalkan kinerja gawainya.
Waktu terus mengalir dengan pola yang tidak linear, sangat acak, dengan berbagai peristiwa yang menyertainya. Banyak kejadian yang tidak pernah terprediksi sebelumnya.
Pada tahun 2018, dunia tidak pernah membayangkan bahwa akan terjadi relaksasi besar di masa pandemi. Dunia mendadak lebih hening, dan waktu seakan berjalan lambat. Pasar daring menjadi jawaban terhadap penerapan social distancing.
Kasus pertama Covid-19 yang muncul pada akhir 2019 mungkin tidak diperhitungkan akan menjadi pandemi luar biasa yang mengubah tatanan kehidupan dari normal lama ke normal baru. Manusia baru menyadarinya setelah satu tahun penularan terus terjadi dan jutaan nyawa telah melayang.
Dari peristiwa tersebut, manusia menyadari kerapuhan dirinya saat berhadapan dengan alam yang “disetel” secara tiba-tiba. Penelitian dan teknologi tidak mampu menghentikan penularan begitu saja. Namun tanpa ikhtiar membatasi kerumunan, jumlah kematian mungkin akan jauh lebih tinggi.
Normal baru di masa pandemi adalah kebalikan dari gaya hidup manusia selama sepuluh tahun sejak 2009. Kedai kopi, pusat perbelanjaan, ruang publik, lembaga pendidikan, hingga lembaga keagamaan menjadi sepi, bukan ditinggalkan manusia, tetapi demi mempertahankan kehidupan itu sendiri.
Dalam seluruh rangkaian perubahan itu, waktu terus mengalir, membawa manusia menyadari bahwa ia hanya bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang tidak pernah berhenti.
Catatan: Semua gambar dalam artikel ini diunduh dari Unsplash.com





Posting Komentar untuk "Waktu, Perubahan, dan Jejak Peradaban Manusia"