Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80–90an (Bagian 27)

Akhir-akhir ini, banyak konten di media sosial menayangkan aktivitas orang-orang Vrindavan, baik saat mereka berkegiatan maupun saat membuat dan menikmati kuliner. Banyak orang menontonnya sebagai hiburan, sambil menertawakan tingkah mereka yang dianggap seperti mundur beberapa dekade ke belakang.

Padahal, jika dipikirkan lebih jauh, sebagian perilaku itu tidak berbeda jauh dari kebiasaan sebagian masyarakat Indonesia kontemporer. Fenomena seperti ini pernah terjadi pada masa kolonial ketika orang-orang Eropa merasa berada di puncak pohon evolusi, lalu memandang pribumi sebagai sosok yang lucu dan tertinggal.

Di berbagai tempat di dunia, pembedaan antara “beradab” dan “nir-peradaban” sering dikaitkan dengan garis batas yang kaku antara kota dan desa. Orang desa, dalam banyak hal, sering dianggap tertinggal dibandingkan masyarakat kota yang hidup dengan cara-cara modern.

Analogi tersebut mirip dengan batasan simbolik antara Vrindavan yang lekat dengan cerita kuno dan kesederhanaan, dengan kelompok Aria yang menempati wilayah perkotaan India; berkulit lebih cerah, tinggal di gedung megah, dan hidup serba modern. Maka tidak heran jika sebagian orang memandang perilaku Vrindavan sebagai sesuatu yang mundur, sebagaimana orang kota memandang warga desa sebagai ndeso.

Namun pandangan tersebut sejatinya terlalu menyederhanakan realitas. Masalah sosial di era modern tidak selalu berakar dari karakter desa. Justru perilaku yang diasosiasikan dengan “Vrindavanisme”, kejorokan dan kekumuhan, lebih sering dijumpai di kawasan perkotaan.

Pada tahun 80–90an, masyarakat desa terbiasa mengelola sampah dengan cara menggali lubang besar di belakang rumah. Sampah dibuang ke sana, kemudian dibakar atau dibiarkan hingga suatu waktu ditimbun kembali. Mereka tidak membuang sampah dalam kantong plastik ke sungai, sebagaimana banyak terjadi di kota ketika lahan mulai padat dan kesadaran terhadapan kebersihan lingkungan semakin rendah.

Saya sering mengatakan kepada teman-teman bahwa ketika bangsa ini menertawakan tayangan Vrindavan, sesungguhnya banyak perilaku serupa yang masih menjadi bagian kehidupan kita, terutama soal kejorokan. Meskipun tinggal di kota, jika seseorang masih membuang sampah sembarangan, mengotori selokan, atau mengabaikan kebersihan lingkungan, maka secara sosial mereka tidak berbeda jauh dengan “bangsa Vrindavan versi Sukabumi”.

Batas antara pikiran maju dan pikiran terbelakang tidak ditentukan oleh tempat tinggal, tetapi oleh perilaku sehari-hari, apakah ia menghormati alam atau justru merusaknya? Apalagi saat ini, batas desa dan kota mulai kabur karena informasi dan teknologi mengalir merata, orang Cikole maupun orang Cikaso sama-sama menonton YouTube.

Seperti halnya India yang membagi masyarakatnya secara sosial antara Vrindavan dan Aria, sesungguhnya persoalan yang muncul bukan tentang ras atau etnis, tetapi tentang sanitasi dan lingkungan. Pada era 80–90an, sanitasi di desa juga menghadapi tantangan misalnya banyak warga mencuci, mandi, atau bahkan buang air besar di selokan. Sebagian sudah memiliki MCK umum atau kakus sederhana.

Seiring memburuknya sanitasi dan sungai menjadi tempat pembuangan limbah rumah tangga, pemerintah mulai menggalakkan pembangunan air bersih serta infrastruktur sanitasi di desa-desa yang perlahan tumbuh menjadi kawasan perkotaan.

Di penghujung tahun 90-an, ketika Kecamatab Baros resmi menjadi bagian dari Kota Sukabumi, pembangunan sanitasi mulai digenjot. Namun tantangannya tidak hanya infrastruktur, melainkan juga perubahan perilaku. Masyarakat desa yang sebelumnya sangat dekat dengan alam dan terbiasa memanfaatkan bahan-bahan alami yang tidak menimbulkan sampah, perlahan mengadopsi kebiasaan buruk masyarakat kota yaitu membuang sampah ke selokan.

Saat itu, persoalan sampah belum terlalu terlihat karena TPA Santiong masih sangat luas. Saya masih ingat bagaimana di masa itu cekungan TPA yang kedalamannya hampir 20 meter masih tampak kosong. Ceritanya berubah total ketika dua tahun lalu saya kembali ke sana dan menyaksikan bekas cekungan itu telah menjadi gunungan sampah.

Karena itu, batas antara masyarakat maju dan terbelakang tidak ditentukan oleh apakah seseorang tinggal di desa atau di kota, atau apakah ia lebih dekat dengan budaya Vrindavan atau Aria. Batas itu justru ditentukan oleh kesadaran kolektif dan perilaku terhadap lingkungan, sejauh mana seseorang menghormati ruang hidupnya.

Di titik itulah peradaban diuji, bukan oleh simbol-simbol kota besar, tetapi oleh perilaku sehari-hari yang sederhana namun berdampak besar.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80–90an (Bagian 27)"