Awal tahun 1992 menghadirkan kembali hiruk pikuk pesta demokrasi yang mulai terasa melalui siaran radio. Mars Pemilu yang berbunyi “Pemilihan Umum Telah Memanggil Kita!” kembali diputar dan mengisi ruang dengar masyarakat.
Lagu itu sudah saya hafal sejak duduk di bangku kelas dua sekolah dasar pada 1987, ketika pertama kali menyadari bahwa negara ini memiliki pesta demokrasi lima tahunan bernama Pemilu.
Lima tahun kemudian, ketika saya sudah duduk di kelas enam sekolah dasar, lagu yang sama kembali mengudara setelah program berita RRI. Pola pikir saya tentu tidak lagi sesederhana lima tahun sebelumnya. Melalui buku Rangkuman Pengetahuan Umum (RPU), saya mulai memahami simbol-simbol yang ditempel di dinding rumah warga, khususnya gambar pohon beringin yang dipasang secara masif oleh aparat desa hingga para ketua RT.
Di beberapa rumah juga terlihat gambar kepala banteng dan bintang, meskipun tidak sebanyak gambar beringin dengan nomor 2, bertuliskan Golongan Karya. Saat itu saya bertanya, mengapa hanya tiga simbol dari perisai Pancasila yang muncul, tidak termasuk rantai dan padi-kapas?
Rasa penasaran itu mungkin terlalu dewasa bagi anak kelas enam sekolah dasar, tetapi naluri untuk memahami fenomena politik justru semakin kuat. Saya sering bertanya dalam hati apakah pengalaman masa kecil tersebut yang kemudian mengantar saya terjun sebagai petugas KPPS dan PPS pada Pemilu 1997 dan 1999, lalu bekerja selama sepuluh tahun di Komisi Pemilihan Umum Kota Sukabumi pada 2008–2018.
Pemikiran semacam itu tentu subjektif, karena saya belum menemukan kajian yang memastikan bahwa ketertarikan anak terhadap hal tertentu akan menentukan profesinya kelak.
Pemilihan Umum di era Orde Baru merupakan kisah yang menarik jika dikaji melalui perspektif sosial, bukan semata politik kekuasaan. Banyak orang memandang Pemilu Orde Baru sebagai Pemilu yang sifatnya formalitas, karena siapa pemenangnya sudah dapat ditebak.
Penilaian tersebut tidak sepenuhnya tepat, sebab perspektif politis kontemporer sering kali hanya menonjolkan sisi gelap masa lalu tanpa melihat bahwa Pemilu pascareformasi pun menyimpan cacat etis, terutama dengan semakin dominannya politik uang, oligarki, serta hadirnya orang-orang yang tidak memiliki kompetensi memadai.
Pemilu 1992 bagi saya pribadi adalah memori yang menunjukkan bagaimana pemerintah berupaya menjaga stabilitas politik. Kemenangan partai pemerintah tidak hanya disebabkan oleh pendekatan represif, tetapi juga karena strategi komunikasi mereka yang halus melalui kampanye pembangunan lima tahunan.
Kondisi di atas berbeda dengan masa kini yang mengusung jargon keterbukaan, tetapi justru menghadirkan pemborosan dalam bentuk anggaran besar untuk kampanye dan pencitraan.
Pada era Orde Baru, program keluarga berencana disosialisasikan cukup dengan gambar keluarga kecil yang ditampilkan pada uang receh, terutama di koin Rp10 atau Sepul. Media itu menyentuh seluruh lapisan masyarakat tanpa perlu baliho atau jargon yang berbusa.
Selain istilah Pemilu, masyarakat kala itu mengenal GHBP atau Gerakan Hidup Berdasarkan Pancasila. Nilai-nilai Pancasila, terutama sila ketiga, terwujud dalam gotong royong, solidaritas, dan empati di lingkungan masyarakat.
Di sekolah diperkenalkan pula konsep-konsep seperti P4, GBHN, Ekprasetya Pancakarsa, dan wawasan nusantara. Kini banyak orang menyebutnya doktrin, padahal dalam praktiknya konsep tersebut menjadi sarana pembentukan karakter agar rakyat memiliki jati diri kebangsaan yang kuat.
Pemilu memang digelar lima tahun sekali, tetapi suasana kehadirannya selalu menciptakan kerinduan tersendiri di tengah masyarakat, apa pun pilihan politik mereka.
Kisah ini adalah bagian kecil dari ingatan saya tentang masa kecil, kampung halaman, dan bagaimana demokrasi hadir sebagai pengalaman sosial sebelum menjadi wacana politik.
Lagu itu sudah saya hafal sejak duduk di bangku kelas dua sekolah dasar pada 1987, ketika pertama kali menyadari bahwa negara ini memiliki pesta demokrasi lima tahunan bernama Pemilu.
Lima tahun kemudian, ketika saya sudah duduk di kelas enam sekolah dasar, lagu yang sama kembali mengudara setelah program berita RRI. Pola pikir saya tentu tidak lagi sesederhana lima tahun sebelumnya. Melalui buku Rangkuman Pengetahuan Umum (RPU), saya mulai memahami simbol-simbol yang ditempel di dinding rumah warga, khususnya gambar pohon beringin yang dipasang secara masif oleh aparat desa hingga para ketua RT.
Di beberapa rumah juga terlihat gambar kepala banteng dan bintang, meskipun tidak sebanyak gambar beringin dengan nomor 2, bertuliskan Golongan Karya. Saat itu saya bertanya, mengapa hanya tiga simbol dari perisai Pancasila yang muncul, tidak termasuk rantai dan padi-kapas?
Rasa penasaran itu mungkin terlalu dewasa bagi anak kelas enam sekolah dasar, tetapi naluri untuk memahami fenomena politik justru semakin kuat. Saya sering bertanya dalam hati apakah pengalaman masa kecil tersebut yang kemudian mengantar saya terjun sebagai petugas KPPS dan PPS pada Pemilu 1997 dan 1999, lalu bekerja selama sepuluh tahun di Komisi Pemilihan Umum Kota Sukabumi pada 2008–2018.
Pemikiran semacam itu tentu subjektif, karena saya belum menemukan kajian yang memastikan bahwa ketertarikan anak terhadap hal tertentu akan menentukan profesinya kelak.
Pemilihan Umum di era Orde Baru merupakan kisah yang menarik jika dikaji melalui perspektif sosial, bukan semata politik kekuasaan. Banyak orang memandang Pemilu Orde Baru sebagai Pemilu yang sifatnya formalitas, karena siapa pemenangnya sudah dapat ditebak.
Penilaian tersebut tidak sepenuhnya tepat, sebab perspektif politis kontemporer sering kali hanya menonjolkan sisi gelap masa lalu tanpa melihat bahwa Pemilu pascareformasi pun menyimpan cacat etis, terutama dengan semakin dominannya politik uang, oligarki, serta hadirnya orang-orang yang tidak memiliki kompetensi memadai.
Pemilu 1992 bagi saya pribadi adalah memori yang menunjukkan bagaimana pemerintah berupaya menjaga stabilitas politik. Kemenangan partai pemerintah tidak hanya disebabkan oleh pendekatan represif, tetapi juga karena strategi komunikasi mereka yang halus melalui kampanye pembangunan lima tahunan.
Kondisi di atas berbeda dengan masa kini yang mengusung jargon keterbukaan, tetapi justru menghadirkan pemborosan dalam bentuk anggaran besar untuk kampanye dan pencitraan.
Pada era Orde Baru, program keluarga berencana disosialisasikan cukup dengan gambar keluarga kecil yang ditampilkan pada uang receh, terutama di koin Rp10 atau Sepul. Media itu menyentuh seluruh lapisan masyarakat tanpa perlu baliho atau jargon yang berbusa.
Selain istilah Pemilu, masyarakat kala itu mengenal GHBP atau Gerakan Hidup Berdasarkan Pancasila. Nilai-nilai Pancasila, terutama sila ketiga, terwujud dalam gotong royong, solidaritas, dan empati di lingkungan masyarakat.
Di sekolah diperkenalkan pula konsep-konsep seperti P4, GBHN, Ekprasetya Pancakarsa, dan wawasan nusantara. Kini banyak orang menyebutnya doktrin, padahal dalam praktiknya konsep tersebut menjadi sarana pembentukan karakter agar rakyat memiliki jati diri kebangsaan yang kuat.
Pemilu memang digelar lima tahun sekali, tetapi suasana kehadirannya selalu menciptakan kerinduan tersendiri di tengah masyarakat, apa pun pilihan politik mereka.
Kisah ini adalah bagian kecil dari ingatan saya tentang masa kecil, kampung halaman, dan bagaimana demokrasi hadir sebagai pengalaman sosial sebelum menjadi wacana politik.

Posting Komentar untuk "Senja Itu: Sejumput Kisah Masa Lalu, Aku dan Kampung Halamanku (Bag 27)"