Endless Love: Drakor Pertama dan Terakhir yang Saya Tonton



Mungkin banyak yang mengira orang seperti saya, yang lebih sering akrab dengan bacaan dan tulisan budaya serta filsafat, kering dari nilai-nilai romantis. Tidak sepenuhnya demikian. Jauh sebelum membaca buku-buku filsafat, saat duduk di bangku SMP saya telah akrab bergaul dengan novel dan roman klasik, terutama yang ditulis oleh sastrawan Indonesia. Rata-rata roman seperti Siti Nurbaya dan Dian yang Tak Kunjung Padam ditulis dengan gaya romansa yang pada akhirnya bermuara kegetiran linang air mata.

Roman-roman klasik Indonesia tak jauh berbeda, mengikuti induk semang sastra klasik seperti Romeo and Juliet yang berakhir tragis dan sedih. Mengapa kisah-kisah itu dibuat demikian? Kenapa cerita harus selalu ditutup dengan tragedi yang menyayat hati pembacanya? Fakta sejarah mencatat, kisah tragedi memang laris manis sejak era Yunani Kuno. Dari masa Sophocles hingga Euripides, teater-teater kala itu hampir selalu berakhir dengan kepedihan dan isak tangis penonton.

Kemunculan teater dan roman dalam bungkus tragedi ini tampaknya sejalan dengan alur kehidupan manusia. Hampir tak ada hidup yang benar-benar berakhir dalam kebahagiaan sempurna, ia hampir selalu ditutup oleh kepedihan dan perpisahan, paling tidak dengan orang-orang terkasih yang lebih dulu meninggal dunia. Itu dari sisi ragawi.

Walakin pada kenyataannya, kehidupan sendiri berawal dan berakhir secara netral. Kepedihan dan kebahagiaan datang silih berganti secara wajar. Tragedi hadir sesaat, lalu senyum kembali merekah seperti penonton teater Yunani Kuno yang meratapi kisah di panggung, namun beberapa langkah setelah meninggalkan arena pertunjukan, kembali terbahak menyambut kelucuan hidup yang singgah di hadapan mata.

Pengalaman itu pun saya alami. Saat membaca Dian yang Tak Kunjung Padam, tanpa sadar muncul rasa pedih yang mengiris hati. Roman karya Sutan Takdir Alisyahbana itu saya pandang sebagai semacam “pabrik air mata” bagi diri saya. Alasannya cukup masuk akal, saya merasakan apa yang dialami Molek dan Yasin, sebagaimana saya merasakan kisah Layla dan Majnun, juga Romeo dan Juliet.

Kisah tragis terus dikemas manusia. Setelah mencapai kejayaan di panggung teater dan opera, tragedi itu memasuki ruang-ruang televisi dan jagat maya. Ia tak pernah benar-benar kehilangan daya sentuhnya. Tanpa mengalami disensitisasi atau kehilangan kepekaan, manusia tetap larut dalam emosi kesedihan saat menyaksikan film-film tragis, entah yang bersifat fiktif maupun yang diangkat dari kisah nyata.


Saya, tanpa sengaja, menonton drama Korea pada tahun 2002 di salah satu stasiun televisi. Sebuah serial berjudul Endless Love muncul di layar saat saya menyalakan televisi selepas magrib. Yang membuat saya terkesima bukan semata filmnya, melainkan halo effect atau kesan pertama dari soundtrack-nya, musik gitar klasik Spanyol berjudul Romance.

Kesan awal itu langsung membentuk stereotip dalam benak saya, jika sebuah film berani menggunakan musik klasik sebagai pengiring, hampir dapat dipastikan ia adalah film bagus dan romantis. Romance sendiri diperkirakan muncul pada akhir abad ke-19, tanpa diketahui siapa penciptanya. Barangkali itulah yang membuat musik ini terasa abadi, lirih, dan menyayat.

Saya tidak menonton Endless Love atau Autumn in My Heart hingga tamat. Durasi dan jumlah episodenya terasa terlalu panjang. Lagi pula, akhir ceritanya dapat saya tebak yaitu sebuah kepedihan. Namun beberapa tahun lalu, ketika media benar-benar telah menjadi rumah dan ruang bersama, saya akhirnya menonton bagian terakhir film tersebut. Anehnya, tontonan itu seketika mengembalikan saya pada dunia dua hingga tiga dekade silam.

Perjalanan panjang kehidupan diri saya sendiri mendadak terhampar kembali. Jalan hidup dan pematang kisah menjelma titian yang dilalui derap kaki secara perlahan. Aromanya beragam; bahagia, sedih, kadang biasa tanpa rasa, lalu memudar dan meredup seperti kabut pagi di musim kemarau yang tersapu sinar mentari. Pada akhirnya, hidup memang harus terus dijalani, dengan segala aroma dan nuansa yang menyertainya.

Endless Love adalah cinta yang tak berakhir, seperti pucuk-pucuk daun di dahan, tumbuh menjadi dedaunan, menghijau, menguning, gugur, lalu tumbuh kembali. Bahkan ketika pohon itu meranggas, mati, dan terguling ke tanah, pada musim penghujan kelak akan muncul kuncup-kuncup jamur dan rerumputan di batang yang terus melapuk. Begitulah cinta yang dilukiskan oleh Dia Yang Maha Kasih dan Maha Sayang dengan tinta yang tak pernah habis di atas kanvas semesta raya.

Posting Komentar untuk "Endless Love: Drakor Pertama dan Terakhir yang Saya Tonton"