Menjelang pelaksanaan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional tahun 1998, bangsa ini sedang berdiri di tepi jurang sejarah. Kerusuhan besar meledak di Jakarta, menandai runtuhnya rezim dan lahirnya luka sosial yang panjang.
Konflik horizontal tak lagi berbentuk perlawanan antarmanusia, melainkan pertarungan manusia dengan nuraninya sendiri. Toko-toko dijarah, dibakar, sementara tubuh-tubuh perempuan Tionghoa menjadi sasaran kebiadaban. Di tengah api dan airmata itu, dunia pendidikan seolah sedikit terusik.
Dalam suasana kacau itu, saya membuat sebuah coretan iseng yang mencerminkan pergolakan batin remaja di akhir milenium pertama. Sebuah doodle art yang menggambarkan situasi sekolah menjelang evaluasi belajar disertai kegelisahan eksistensial generasi remaja yang hidup di tengah perubahan besar, di antara idealisme dan kekacauan sosial.
Di bagian tengah gambar, saya menggambar sosok pelajar yang sedang duduk, bersimpuh di meja, dikelilingi tumpukan buku, rokok, dan secangkir kopi. Wajahnya letih, matanya sayu, namun tangannya masih memegang pena. Di sampingnya ada layar komputer yang menyala, seolah menjadi satu-satunya cahaya dalam kesunyian malam sambil belajar.
Di malam yang sama, sebelum membuat coretan tersebut saya menulis dulu kalimat: “Tumpukan buku di depan mataku, nyala komputer di hadapanku, lagu-lagu tentang cinta melulu. Bosan... bosan... bosan.”
Di dekat meja tertulis besar “SKS - Sistem Kebut Semalam”. Tulisan itu adalah sindiran terhadap sistem pendidikan yang lebih menekankan hasil daripada proses. Ia menggambarkan tekanan akademik yang mencekik, di mana murid belajar bukan karena ingin tahu, melainkan karena takut gagal. Di balik kelelahan itu, saya ingin menyampaikan bentuk “perlawanan diam”, meskipun tertekan, pelajar tetap menggambar, menulis, dan berpikir bebas.
Saya percaya pada prinsip non nobis solum nati sumus, kita tidak dilahirkan untuk diri sendiri. Maka di bagian atas gambar, saya tuliskan ungkapan Latin: “When in Rome, do as the Romans do.” Ungkapan dari Saint Ambrose ini saya letakkan bukan tanpa alasan. Ia menjadi simbol adaptasi, dalam kehidupan yang penuh tekanan, kadang manusia harus menyesuaikan diri, bukan menyerah, melainkan menavigasi hidup dengan cerdas dan sadar.
Walakin, kehidupan selalu kontradiktif. Maka di sisi lain gambar saya tuliskan dua ungkapan yang saling bertentangan tapi saling melengkapi: “It’s life” dan “Emang gue pikirin.” Kalimat pertama adalah penerimaan terhadap realitas, sementara kalimat kedua adalah bentuk humor sarkastik khas anak muda. Dua-duanya adalah cara saya dan banyak remaja waktu itu untuk bertahan dari tekanan sosial yang absurd.
Pada gambar itu juga saya sisipkan nama-nama band seperti The Beatles, Metallica, dan No Doubt, serta sepak bola. Bagi kami, anak-anak 90-an, musik dan sepak bola adalah ruang pelarian, tempat kami mengekspresikan diri tanpa batas.
Selain sebagai bentuk hiburan, budaya populer saat itu juga telah menjadi bahasa bersama yang membentuk karakter. Dalam pandangan behaviorisme Watson, lingkungan, termasuk musik dan budaya pop membentuk perilaku dan kepribadian remaja.
Akhir milenium juga ditandai dengan maraknya teori konspirasi. Buku-buku seperti Dajjal Muncul di Segitiga Bermuda beredar luas di kalangan pelajar, menimbulkan imajinasi dan ketakutan baru. Maka saya menggambar simbol mata satu, bintang, panah, bulan bintang, dan Bintang David.
Simbol-simbol itu adalah metafora tentang “kekuatan tak kasatmata” yang mengendalikan arah dunia, sekaligus simbol pencarian arah hidup anak muda yang masih gamang antara keyakinan dan keraguan.
Panah-panah yang saya lukiskan ke berbagai arah adalah simbol dari cita-cita dan kebingungan. Ia mencerminkan pencarian jati diri di tengah derasnya arus globalisasi. Remaja pada masa itu bukan hanya mencari makna hidup, tetapi juga mencari di mana seharusnya mereka berdiri, di antara timur dan barat, idealisme dan kenyataan, iman dan modernitas.
Di sisi kanan gambar, saya tambahkan sosok samurai dan tulisan “INDONESIA”. Simbol ini merupakan kritik terhadap budaya feodalisme yang masih mengakar di negeri ini. Samurai melambangkan kekuasaan militer shogunat, yang dalam sejarah Indonesia selalu muncul di setiap transisi kekuasaan. Kekuatan bersenjata bukanlah kejahatan itu sendiri, tetapi menjadi simbol sistem sosial yang lebih menuntut keseragaman daripada keberagaman.
Di masa itu, banyak guru dan orang tua sering mengatakan, “Banyak jalan menuju Roma.” Kalimat itu menjadi refleksi dari kebijaksanaan hidup. Saya sendiri teringat pada kumpulan cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma karya Idrus, yang dengan getir menggambarkan kekacauan sosial dan penderitaan rakyat kecil di masa revolusi.
Frasa “All Roads Lead to Rome” saya tulis di gambar sebagai simbol perjalanan spiritual dan intelektual bahwa semua jalan, entah berliku atau lurus, akhirnya menuju pemahaman diri. Bagi saya, “Roma” bukan tempat, melainkan kesadaran. Kesadaran bahwa kemujuran dan kegagalan hanyalah dua sisi dari proses pendewasaan.
Dari sudut pandang sufistik, semua pengalaman hidup bermuara pada pemahaman tentang diri sendiri, pada titik di mana manusia berdamai dengan takdir dan kenyataan hidupnya.
Bila diperhatikan, hampir tak ada ruang kosong dalam gambar tersebut. Setiap sudut terisi simbol, tulisan, atau figur. Ini bukan gaya artistik saja, melainkan refleksi dari isi kepala saya waktu itu yang selalu riuh ramai, penuh pertanyaan, dan belum menemukan ketenangan. Coretan itu adalah peta mental, peta pencarian, dan mungkin juga peta kegelisahan.
Setiap simbol memiliki referensinya. Ninja adalah representasi dari Musashi, buku yang saya baca waktu itu. Tokoh Indian saya ambil dari novel Winnetou, sedangkan ungkapan Latin berasal dari buku-buku filsafat. Setiap elemen dalam gambar menjadi potongan puzzle dari minat dan bacaan saya sebagai remaja yang sedang haus akan makna.
Kini, setelah waktu berjalan jauh, saya melihat coretan yang telah berumur 27 tahun itu serupa dengan refleksi visual dari zaman yang penuh pergulatan. Ia adalah simbol kehidupan, pendidikan, dan keberagaman sosial yang membentuk saya dan remaja di generasi saya.
Dalam kekacauan dan ketidakteraturan, selalu ada makna yang tersembunyi. Sebagaimana saya tulis waktu itu: “It’s life.” Ya, hidup memang berantakan, walakin tetap berharga untuk dijalani.
Konflik horizontal tak lagi berbentuk perlawanan antarmanusia, melainkan pertarungan manusia dengan nuraninya sendiri. Toko-toko dijarah, dibakar, sementara tubuh-tubuh perempuan Tionghoa menjadi sasaran kebiadaban. Di tengah api dan airmata itu, dunia pendidikan seolah sedikit terusik.
Dalam suasana kacau itu, saya membuat sebuah coretan iseng yang mencerminkan pergolakan batin remaja di akhir milenium pertama. Sebuah doodle art yang menggambarkan situasi sekolah menjelang evaluasi belajar disertai kegelisahan eksistensial generasi remaja yang hidup di tengah perubahan besar, di antara idealisme dan kekacauan sosial.
Di bagian tengah gambar, saya menggambar sosok pelajar yang sedang duduk, bersimpuh di meja, dikelilingi tumpukan buku, rokok, dan secangkir kopi. Wajahnya letih, matanya sayu, namun tangannya masih memegang pena. Di sampingnya ada layar komputer yang menyala, seolah menjadi satu-satunya cahaya dalam kesunyian malam sambil belajar.
Di malam yang sama, sebelum membuat coretan tersebut saya menulis dulu kalimat: “Tumpukan buku di depan mataku, nyala komputer di hadapanku, lagu-lagu tentang cinta melulu. Bosan... bosan... bosan.”
Di dekat meja tertulis besar “SKS - Sistem Kebut Semalam”. Tulisan itu adalah sindiran terhadap sistem pendidikan yang lebih menekankan hasil daripada proses. Ia menggambarkan tekanan akademik yang mencekik, di mana murid belajar bukan karena ingin tahu, melainkan karena takut gagal. Di balik kelelahan itu, saya ingin menyampaikan bentuk “perlawanan diam”, meskipun tertekan, pelajar tetap menggambar, menulis, dan berpikir bebas.
Saya percaya pada prinsip non nobis solum nati sumus, kita tidak dilahirkan untuk diri sendiri. Maka di bagian atas gambar, saya tuliskan ungkapan Latin: “When in Rome, do as the Romans do.” Ungkapan dari Saint Ambrose ini saya letakkan bukan tanpa alasan. Ia menjadi simbol adaptasi, dalam kehidupan yang penuh tekanan, kadang manusia harus menyesuaikan diri, bukan menyerah, melainkan menavigasi hidup dengan cerdas dan sadar.
Walakin, kehidupan selalu kontradiktif. Maka di sisi lain gambar saya tuliskan dua ungkapan yang saling bertentangan tapi saling melengkapi: “It’s life” dan “Emang gue pikirin.” Kalimat pertama adalah penerimaan terhadap realitas, sementara kalimat kedua adalah bentuk humor sarkastik khas anak muda. Dua-duanya adalah cara saya dan banyak remaja waktu itu untuk bertahan dari tekanan sosial yang absurd.
Pada gambar itu juga saya sisipkan nama-nama band seperti The Beatles, Metallica, dan No Doubt, serta sepak bola. Bagi kami, anak-anak 90-an, musik dan sepak bola adalah ruang pelarian, tempat kami mengekspresikan diri tanpa batas.
Selain sebagai bentuk hiburan, budaya populer saat itu juga telah menjadi bahasa bersama yang membentuk karakter. Dalam pandangan behaviorisme Watson, lingkungan, termasuk musik dan budaya pop membentuk perilaku dan kepribadian remaja.
Akhir milenium juga ditandai dengan maraknya teori konspirasi. Buku-buku seperti Dajjal Muncul di Segitiga Bermuda beredar luas di kalangan pelajar, menimbulkan imajinasi dan ketakutan baru. Maka saya menggambar simbol mata satu, bintang, panah, bulan bintang, dan Bintang David.
Simbol-simbol itu adalah metafora tentang “kekuatan tak kasatmata” yang mengendalikan arah dunia, sekaligus simbol pencarian arah hidup anak muda yang masih gamang antara keyakinan dan keraguan.
Panah-panah yang saya lukiskan ke berbagai arah adalah simbol dari cita-cita dan kebingungan. Ia mencerminkan pencarian jati diri di tengah derasnya arus globalisasi. Remaja pada masa itu bukan hanya mencari makna hidup, tetapi juga mencari di mana seharusnya mereka berdiri, di antara timur dan barat, idealisme dan kenyataan, iman dan modernitas.
Di sisi kanan gambar, saya tambahkan sosok samurai dan tulisan “INDONESIA”. Simbol ini merupakan kritik terhadap budaya feodalisme yang masih mengakar di negeri ini. Samurai melambangkan kekuasaan militer shogunat, yang dalam sejarah Indonesia selalu muncul di setiap transisi kekuasaan. Kekuatan bersenjata bukanlah kejahatan itu sendiri, tetapi menjadi simbol sistem sosial yang lebih menuntut keseragaman daripada keberagaman.
Di masa itu, banyak guru dan orang tua sering mengatakan, “Banyak jalan menuju Roma.” Kalimat itu menjadi refleksi dari kebijaksanaan hidup. Saya sendiri teringat pada kumpulan cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma karya Idrus, yang dengan getir menggambarkan kekacauan sosial dan penderitaan rakyat kecil di masa revolusi.
Frasa “All Roads Lead to Rome” saya tulis di gambar sebagai simbol perjalanan spiritual dan intelektual bahwa semua jalan, entah berliku atau lurus, akhirnya menuju pemahaman diri. Bagi saya, “Roma” bukan tempat, melainkan kesadaran. Kesadaran bahwa kemujuran dan kegagalan hanyalah dua sisi dari proses pendewasaan.
Dari sudut pandang sufistik, semua pengalaman hidup bermuara pada pemahaman tentang diri sendiri, pada titik di mana manusia berdamai dengan takdir dan kenyataan hidupnya.
Bila diperhatikan, hampir tak ada ruang kosong dalam gambar tersebut. Setiap sudut terisi simbol, tulisan, atau figur. Ini bukan gaya artistik saja, melainkan refleksi dari isi kepala saya waktu itu yang selalu riuh ramai, penuh pertanyaan, dan belum menemukan ketenangan. Coretan itu adalah peta mental, peta pencarian, dan mungkin juga peta kegelisahan.
Setiap simbol memiliki referensinya. Ninja adalah representasi dari Musashi, buku yang saya baca waktu itu. Tokoh Indian saya ambil dari novel Winnetou, sedangkan ungkapan Latin berasal dari buku-buku filsafat. Setiap elemen dalam gambar menjadi potongan puzzle dari minat dan bacaan saya sebagai remaja yang sedang haus akan makna.
Kini, setelah waktu berjalan jauh, saya melihat coretan yang telah berumur 27 tahun itu serupa dengan refleksi visual dari zaman yang penuh pergulatan. Ia adalah simbol kehidupan, pendidikan, dan keberagaman sosial yang membentuk saya dan remaja di generasi saya.
Dalam kekacauan dan ketidakteraturan, selalu ada makna yang tersembunyi. Sebagaimana saya tulis waktu itu: “It’s life.” Ya, hidup memang berantakan, walakin tetap berharga untuk dijalani.

Posting Komentar untuk "Coretan Iseng di Ujung Milenium, Refleksi dari Tahun 1998"