Sawahlega. Saya tidak tahu apakah penulisan nama tempat ini seharusnya disatukan atau dipisah menjadi dua kata majemuk. Namun, karena kata tersebut merujuk pada nama tempat, saya lebih memilih untuk menuliskannya sebagai satu kesatuan, sebagaimana lazimnya nama kampung atau daerah yang ditulis utuh.
Di masa lalu, ketika saya masih duduk di bangku SMANSA, Sawahlega adalah sebutan yang sangat tepat menggambarkan kenyataan, hamparan sawah luas di antara Cipoho dan Babakan Caringin, tempat yang kini sudah ramai oleh bangunan dan telah memiliki jalan besar.
Dulu, belum ada jalan seperti sekarang. Hanya ada pematang besar yang menghubungkan Cikondang dengan perkampungan di belakang kompleks SMANSA.
Jalur ini menjadi lintasan harian saya menuju sekolah. Selain jaraknya tidak terlalu jauh, melintasi Sawahlega juga menghindarkan saya dari kemacetan pagi di kawasan Sigodeg yang selalu ramai. Suasana waktu itu masih tenang, hanya terdengar suara burung pipit dan sesekali embusan angin yang menampar dedaunan padi.
Nama Sawahlega diberikan bukan tanpa alasan. Dalam bahasa Sunda, “sawah lega” berarti hamparan sawah yang luas dan terbuka. Maka penulisan yang tepat pada masa itu sebenarnya dua kata: sawah lega.
Namun seiring waktu, ketika nama ini menjadi identitas tempat, masyarakat menuliskannya menjadi satu kata: Sawahlega. Sebuah bentuk kompositum yang lahir dari kenyataan, bukan sekadar konstruksi linguistik.
Saya sering teringat bahwa di balik keindahan bahasa, terkadang yang lebih penting adalah kelogisannya. Tak perlu selalu berpatokan pada tata bahasa yang kaku atau aturan PUEBI yang seolah membatasi kreativitas penutur. Bahasa tumbuh dari kebutuhan untuk dipahami, bukan semata untuk diuji secara akademik. Maka, berbahasalah dengan logis, itu sudah cukup.
Dari halaman belakang SMANSA, Sawahlega terlihat sangat jelas. Di bibir lembah yang oleh anak-anak SMANSA dijuluki “Lembah Putus Cinta,” hamparan sawah itu dulu membentang tanpa penghalang. Meski namanya berembel-embel kata cinta, tempat itu bukanlah lokasi memadu kasih, melainkan tempat “mengakhiri” kisah kasih.
Nama itu muncul karena pengaruh film The Return of the Condor Heroes yang tayang di salah satu televisi swasta pada akhir tahun 1990-an. Bagi para alumni SMANSA angkatan 1995 ke bawah, mungkin istilah ini bahkan belum dikenal.
Dari arah sekolah, Sawahlega tampak hidup. Pagi hari selalu dihiasi sinar matahari yang menembus dedaunan padi. Tempat itu menjadi jalan alternatif yang sering saya gunakan, bukan hanya untuk mempercepat langkah menuju sekolah, tetapi juga sesekali untuk menghindari kejaran guru ketika terlambat. Sebuah kenangan kecil, nakal, tapi penuh nostalgia.
Saat duduk di kelas dua SMA, saya mulai sering melintasi jalur ini. Usia remaja memang masa transisi, antara kekanak-kanakan dan kedewasaan. Banyak perilaku yang dianggap nakal saat itu, padahal kini saya melihatnya sebagai bagian dari proses belajar tentang hidup.
Dulu, ukuran “baik dan buruk” sering ditentukan oleh norma sekolah yang tegas, tapi kini saya menyadari setiap tindakan masa lalu adalah fragmen dari perjalanan manusia menuju kematangan.
Saya kerap merenung dan mempertanyakan mengapa kita sering menghakimi perilaku anak muda hari ini, padahal sebagian dari kita pernah melakukan hal yang sama? Mereka hanya mengulang pola masa lalu dalam konteks zaman yang berbeda.
Maka, jika ada pendekatan terbaik, itu bukanlah hukuman, melainkan refleksi, dengan mengisahkan masa lalu dan menyebutkan akibat dari pilihan yang pernah kita ambil.
Setiap kali saya melihat anak-anak dan remaja yang dianggap nakal, saya teringat pada diri sendiri. Pernah berada di posisi mereka. Pernah merasa ingin bebas, menentang aturan dan kemapanan, atau sekadar ingin diakui. Bedanya, waktu itu tidak ada media sosial untuk menyiarkan kenakalan. Semuanya tersimpan di dalam ingatan, dan kini menjadi cerita penghibur di sela nostalgia.
Namun tentu, saya tidak bermaksud membenarkan perilaku yang menyimpang. Saya hanya ingin menegaskan bahwa setiap generasi punya caranya sendiri untuk tumbuh. Tugas kita bukan mematikan semangat muda mereka, melainkan mengarahkan agar energi itu tidak terbuang percuma.
Waktu berjalan cepat. Sekitar tahun 2010, Sawahlega mulai berubah drastis. Areal persawahan perlahan beralih fungsi menjadi kawasan permukiman. Deretan rumah mulai muncul dan berjajar menggantikan petak-petak sawah. Di satu sisi, ini adalah konsekuensi logis dari perkembangan wilayah perkotaan; namun di sisi lain, ia menjadi simbol hilangnya ruang hijau yang dulu menjadi paru-paru kecil bagi lingkungan sekitar.
Sawahlega mungkin kini hanyalah nama wilayah di peta Kota Sukabumi. Tetapi bagi saya, Sawahlega adalah simbol perjalanan, dari masa remaja menuju kedewasaan, dari alam yang luas menuju ruang-ruang sempit kota, dari kehidupan sederhana menuju kompleksitas modernitas.
Di masa lalu, ketika saya masih duduk di bangku SMANSA, Sawahlega adalah sebutan yang sangat tepat menggambarkan kenyataan, hamparan sawah luas di antara Cipoho dan Babakan Caringin, tempat yang kini sudah ramai oleh bangunan dan telah memiliki jalan besar.
Dulu, belum ada jalan seperti sekarang. Hanya ada pematang besar yang menghubungkan Cikondang dengan perkampungan di belakang kompleks SMANSA.
Jalur ini menjadi lintasan harian saya menuju sekolah. Selain jaraknya tidak terlalu jauh, melintasi Sawahlega juga menghindarkan saya dari kemacetan pagi di kawasan Sigodeg yang selalu ramai. Suasana waktu itu masih tenang, hanya terdengar suara burung pipit dan sesekali embusan angin yang menampar dedaunan padi.
Nama Sawahlega diberikan bukan tanpa alasan. Dalam bahasa Sunda, “sawah lega” berarti hamparan sawah yang luas dan terbuka. Maka penulisan yang tepat pada masa itu sebenarnya dua kata: sawah lega.
Namun seiring waktu, ketika nama ini menjadi identitas tempat, masyarakat menuliskannya menjadi satu kata: Sawahlega. Sebuah bentuk kompositum yang lahir dari kenyataan, bukan sekadar konstruksi linguistik.
Saya sering teringat bahwa di balik keindahan bahasa, terkadang yang lebih penting adalah kelogisannya. Tak perlu selalu berpatokan pada tata bahasa yang kaku atau aturan PUEBI yang seolah membatasi kreativitas penutur. Bahasa tumbuh dari kebutuhan untuk dipahami, bukan semata untuk diuji secara akademik. Maka, berbahasalah dengan logis, itu sudah cukup.
Dari halaman belakang SMANSA, Sawahlega terlihat sangat jelas. Di bibir lembah yang oleh anak-anak SMANSA dijuluki “Lembah Putus Cinta,” hamparan sawah itu dulu membentang tanpa penghalang. Meski namanya berembel-embel kata cinta, tempat itu bukanlah lokasi memadu kasih, melainkan tempat “mengakhiri” kisah kasih.
Nama itu muncul karena pengaruh film The Return of the Condor Heroes yang tayang di salah satu televisi swasta pada akhir tahun 1990-an. Bagi para alumni SMANSA angkatan 1995 ke bawah, mungkin istilah ini bahkan belum dikenal.
Dari arah sekolah, Sawahlega tampak hidup. Pagi hari selalu dihiasi sinar matahari yang menembus dedaunan padi. Tempat itu menjadi jalan alternatif yang sering saya gunakan, bukan hanya untuk mempercepat langkah menuju sekolah, tetapi juga sesekali untuk menghindari kejaran guru ketika terlambat. Sebuah kenangan kecil, nakal, tapi penuh nostalgia.
Saat duduk di kelas dua SMA, saya mulai sering melintasi jalur ini. Usia remaja memang masa transisi, antara kekanak-kanakan dan kedewasaan. Banyak perilaku yang dianggap nakal saat itu, padahal kini saya melihatnya sebagai bagian dari proses belajar tentang hidup.
Dulu, ukuran “baik dan buruk” sering ditentukan oleh norma sekolah yang tegas, tapi kini saya menyadari setiap tindakan masa lalu adalah fragmen dari perjalanan manusia menuju kematangan.
Saya kerap merenung dan mempertanyakan mengapa kita sering menghakimi perilaku anak muda hari ini, padahal sebagian dari kita pernah melakukan hal yang sama? Mereka hanya mengulang pola masa lalu dalam konteks zaman yang berbeda.
Maka, jika ada pendekatan terbaik, itu bukanlah hukuman, melainkan refleksi, dengan mengisahkan masa lalu dan menyebutkan akibat dari pilihan yang pernah kita ambil.
Setiap kali saya melihat anak-anak dan remaja yang dianggap nakal, saya teringat pada diri sendiri. Pernah berada di posisi mereka. Pernah merasa ingin bebas, menentang aturan dan kemapanan, atau sekadar ingin diakui. Bedanya, waktu itu tidak ada media sosial untuk menyiarkan kenakalan. Semuanya tersimpan di dalam ingatan, dan kini menjadi cerita penghibur di sela nostalgia.
Namun tentu, saya tidak bermaksud membenarkan perilaku yang menyimpang. Saya hanya ingin menegaskan bahwa setiap generasi punya caranya sendiri untuk tumbuh. Tugas kita bukan mematikan semangat muda mereka, melainkan mengarahkan agar energi itu tidak terbuang percuma.
Waktu berjalan cepat. Sekitar tahun 2010, Sawahlega mulai berubah drastis. Areal persawahan perlahan beralih fungsi menjadi kawasan permukiman. Deretan rumah mulai muncul dan berjajar menggantikan petak-petak sawah. Di satu sisi, ini adalah konsekuensi logis dari perkembangan wilayah perkotaan; namun di sisi lain, ia menjadi simbol hilangnya ruang hijau yang dulu menjadi paru-paru kecil bagi lingkungan sekitar.
Sawahlega mungkin kini hanyalah nama wilayah di peta Kota Sukabumi. Tetapi bagi saya, Sawahlega adalah simbol perjalanan, dari masa remaja menuju kedewasaan, dari alam yang luas menuju ruang-ruang sempit kota, dari kehidupan sederhana menuju kompleksitas modernitas.

Posting Komentar untuk "Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bagian 25)"