Dari Gus Dur hingga Hari Ini, Belajar Tentang Makna Kesejahteraan Sosial

Hari ini, Senin, 6 Oktober 2025, saya meliput agenda penting Wali Kota Sukabumi yang melakukan kunjungan kerja ke Kementerian Sosial Republik Indonesia. Saya bersama teman-teman; Kang Agus, Kang Bolang, dan Kang Firman tiba di gedung kementerian tepat saat waktu salat dzuhur tiba. Kantor ini tampak luas, megah, dan sibuk oleh lalu-lalang para pegawai serta tamu dari berbagai daerah.

Saat melangkah masuk, saya tiba-tiba tersenyum dan teringat pada dua setengah dekade lalu, ketika almarhum Gus Dur sempat membubarkan Departemen Sosial sebelum akhirnya dihidupkan kembali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sebuah langkah politik dan sosial yang pada masanya menimbulkan banyak perdebatan, tetapi juga membuka refleksi mendalam tentang arah kebijakan kesejahteraan sosial bangsa ini.

Saya juga teringat, satu hari sebelumnya teman-teman dari Dinas Sosial, terutama para pegawai teknis khusus, baru saja dilantik menjadi PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja). Mereka kini resmi menjadi tenaga teknis khusus di bidang sosial. Saya merasa mereka termasuk orang-orang beruntung, telah berjuang cukup lama, bekerja dalam senyap, dan akhirnya mendapatkan pengakuan dari negara di bidang yang mereka cintai.

Sementara itu, masih banyak rekan lain yang menunggu giliran untuk diangkat sebagai PPPK paruh waktu dan memperoleh nomor induk pegawai. Mereka yang masih menanti ini bukanlah orang-orang yang kurang layak, melainkan para pegawai yang tetap bersemangat dalam keterbatasan. Bagi mereka, bekerja adalah panggilan nurani.

Saya tidak berniat mengulas panjang alasan mengapa Gus Dur membubarkan Departemen Sosial, atau alasan SBY menghidupkannya kembali. Bagi saya, yang lebih penting adalah memahami akar persoalan sosial yang dihadapi bangsa kita hari ini.

Kehidupan sosial manusia memang selalu berkelindan satu sama lain. Setiap individu adalah bagian dari jaringan yang saling bergantung. Seperti benang yang menenun kain besar bernama masyarakat, kehidupan manusia terjalin karena saling membutuhkan, berinteraksi, dan berkomunikasi.

Manusia bahkan dapat menjalin keterikatan dengan benda mati. Seorang pemain biola, misalnya, akan berkata bahwa alat musiknya telah menjadi bagian dari dirinya. Biola baginya serupa dengan perpanjangan jiwa. Begitu pula dengan pelukis yang begitu lekat dengan kuasnya atau penulis dengan pena dan kertasnya.

Dari sana, kita belajar bahwa keterikatan itu bisa menjadi indah, tetapi juga berbahaya ketika yang diikat adalah materi dan kekuasaan. Dari sinilah materialisme tumbuh, ketika manusia menuhankan benda dan menyingkirkan nilai kemanusiaan.

Dalam perjalanan menuju kantor Kementerian Sosial, saya sempat mengunggah sebuah video ke media sosial dan memberi latar lagu If You Tolerate This… milik Manic Street Preachers, dirilis tahun 1998.

Lagu yang kuat secara pesan ini dulu sangat populer di kalangan generasi X dan Y, generasi yang tumbuh di tengah gejolak sosial dan politik. Saya menulis caption sederhana: “Jika kamu membiarkan kejahatan dan penindasan terjadi hari ini, maka generasi berikutnya akan menjadi korban selanjutnya.” Sebuah refleksi yang sangat bermakna dalam konteks sosial hari ini.

Lagu itu, bagi saya, tidak hanya nostalgia, tetapi juga peringatan moral. Ia mengingatkan kita bahwa diam terhadap ketidakadilan berarti turut menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri. Kejahatan dan penindasan tidak hanya berbentuk kekerasan fisik, tetapi juga kebijakan yang menindas, sistem yang timpang, dan birokrasi yang tidak berpihak pada rakyat kecil.

Dalam konteks sosial Indonesia, kejahatan semacam itu sering kali tidak terlihat, karena dibungkus dengan bahasa yang manis dan slogan yang tampak mulia. Namun di balik itu, sering tersembunyi praktik-praktik penyimpangan dan ketidakadilan yang sistematis. Karena itu, peran Kementerian Sosial semestinya menjadi benteng moral negara dalam melindungi mereka yang paling lemah, bukan justru menjadi sarang korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Kita tentu masih ingat bagaimana pada masa lalu, Kementerian Sosial sempat tercoreng oleh praktik-praktik kotor sebagian pejabatnya. Bantuan sosial yang seharusnya sampai ke rakyat miskin, justru berhenti di tangan-tangan serakah yang menjadikannya ladang keuntungan pribadi. Ironi semacam ini membuat rakyat kecil bukan hanya miskin secara ekonomi, tetapi juga kehilangan kepercayaan terhadap negara yang seharusnya hadir untuk menolong mereka.

Barangkali, inilah salah satu alasan mendasar mengapa Gus Dur dulu memilih untuk membubarkan departemen ini. Ia melihat bahwa lembaga yang seharusnya menjadi simbol kepedulian sosial telah berubah menjadi ruang subur bagi para “tikus pengerat” yang menjadikan penderitaan rakyat sebagai sumber keuntungan. Keputusan itu, meski kontroversial, sesungguhnya adalah bentuk perlawanan moral terhadap sistem yang telah menyimpang terlalu jauh.

Kini, setelah lebih dari dua dekade, kementerian ini kembali berdiri dan berfungsi. Namun, pertanyaannya adalah apakah esensinya juga telah berubah? Apakah ia kini benar-benar menjadi lembaga yang berpihak pada kaum papa, atau hanya menjadi mesin administratif penyaluran bantuan sosial yang kering makna dan kehilangan nurani?

Kunjungan Wali Kota Sukabumi ke Kementerian Sosial hari ini sebenarnya dapat dibaca sebagai bentuk komunikasi antara pusat dan daerah untuk membangun kembali makna sejati kesejahteraan sosial. Bahwa program-program sosial tidak boleh hanya bersifat karitatif, memberi bantuan sesaat, tetapi juga harus memberdayakan. Membantu masyarakat agar bangkit, bukan sekadar menggantungkan hidup pada bantuan.

Dalam percakapan ringan di sela kegiatan, saya menangkap semangat yang sama dari para pegawai di kementerian ini. Mereka ingin agar kebijakan sosial di masa mendatang lebih transparan, akuntabel, dan menyentuh sasaran yang tepat. Ini berarti diperlukan sistem yang bersih, aparat yang jujur, dan niat tulus dari semua pihak untuk menghapus stigma bahwa kementerian sosial hanya mengurus “orang miskis atau prasejahtera”.

Kementerian ini seharusnya menjadi kementerian tentang kemanusiaan, bukan sekadar tentang kemiskinan. Karena persoalan sosial tidak hanya tentang tidak punya uang, tetapi juga tentang kehilangan harapan, kehilangan akses, dan kehilangan martabat.

Saya pribadi meyakini bahwa membangun kesejahteraan sosial adalah membangun martabat manusia. Dan martabat itu tidak akan pernah bisa ditegakkan di atas fondasi korupsi, ketidakadilan, dan penindasan yang dibiarkan terus tumbuh. Kementerian sosial, semestinya, adalah rumah besar bagi semua orang yang percaya pada kasih, keadilan, dan kemanusiaan.

Dengan itu, kunjungan hari ini sesungguhnya menjadi pengingat besar. Bahwa tugas pemerintah, baik pusat maupun daerah, bukan hanya membangun infrastruktur, tetapi juga membangun nurani sosial. Sebab tanpa nurani, negara hanya akan menjadi mesin kekuasaan yang dingin dan tanpa arah.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Dari Gus Dur hingga Hari Ini, Belajar Tentang Makna Kesejahteraan Sosial"