Prestasi Kota Sukabumi sebagai "Kota Ramah Anak" dan penetapan setiap sekolah sebagai "Sekolah Ramah Anak" justru semakin menyoroti paradoks yang terjadi ketika masih ditemukan kasus kekerasan yang melibatkan anak-anak sebagai pelaku maupun korban.
Fenomena sosial ini mengindikasikan adanya kesenjangan antara konsep ramah anak yang ideal dengan praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari di keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Keluarga modern yang seringkali terjebak dalam pola asuh permisif maupun otoriter turut berkontribusi pada pembentukan karakter anak yang kurang mampu mengelola emosi dan menyelesaikan konflik secara sehat.
Di sisi lain, masyarakat yang semakin individualis telah mengurangi pengawasan kolektif terhadap perilaku anak-anak di ruang publik, sementara lembaga pendidikan kadang terlalu fokus pada aspek akademik dan mengabaikan pendidikan karakter yang seimbang.
Regulasi tentang perlindungan anak yang seharusnya menjadi payung hukum bagi kesejahteraan anak justru sering disalahartikan sebagai pembatasan terhadap tindakan disiplin yang mendidik.
Banyak guru dan orangtua merasa ragu untuk memberikan teguran atau konsekuensi yang proporsional karena khawatir dianggap melanggar hak anak.
Akibatnya, anak-anak tumbuh tanpa pemahaman yang jelas tentang batasan perilaku yang dapat diterima, sementara sanksi sosial terhadap pelanggaran norma semakin melemah.
Sistem yang terlalu protektif tanpa diimbangi dengan pendekatan restorative justice justru berpotensi menciptakan generasi yang kurang tanggung jawab.
Pemerintah Kota Sukabumi perlu mengevaluasi implementasi kebijakan ramah anak dengan memperkuat tiga pilar utama yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Program pelatihan untuk generasi milenial ini setidaknya menjadi upaya positif Pemerintah Kota Sukabumi dalam memberikan alternatif bagi pemuda. Daripada menghabiskan waktu dengan kegiatan tidak produktif, seperti menjadi bagian dari geng motor, mereka mendapat pemahaman baru tentang kewirausahaan.
Fenomena sosial ini mengindikasikan adanya kesenjangan antara konsep ramah anak yang ideal dengan praktik nyata dalam kehidupan sehari-hari di keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Keluarga modern yang seringkali terjebak dalam pola asuh permisif maupun otoriter turut berkontribusi pada pembentukan karakter anak yang kurang mampu mengelola emosi dan menyelesaikan konflik secara sehat.
Di sisi lain, masyarakat yang semakin individualis telah mengurangi pengawasan kolektif terhadap perilaku anak-anak di ruang publik, sementara lembaga pendidikan kadang terlalu fokus pada aspek akademik dan mengabaikan pendidikan karakter yang seimbang.
Regulasi tentang perlindungan anak yang seharusnya menjadi payung hukum bagi kesejahteraan anak justru sering disalahartikan sebagai pembatasan terhadap tindakan disiplin yang mendidik.
Banyak guru dan orangtua merasa ragu untuk memberikan teguran atau konsekuensi yang proporsional karena khawatir dianggap melanggar hak anak.
Akibatnya, anak-anak tumbuh tanpa pemahaman yang jelas tentang batasan perilaku yang dapat diterima, sementara sanksi sosial terhadap pelanggaran norma semakin melemah.
Sistem yang terlalu protektif tanpa diimbangi dengan pendekatan restorative justice justru berpotensi menciptakan generasi yang kurang tanggung jawab.
Pemerintah Kota Sukabumi perlu mengevaluasi implementasi kebijakan ramah anak dengan memperkuat tiga pilar utama yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Program parenting education harus diintensifkan untuk membantu orang tua menerapkan pola asuh yang seimbang antara kasih sayang dan disiplin.
Sekolah perlu mengembangkan mekanisme penanganan konflik yang edukatif, bukan hanya menghukum atau membiarkan.
Sekolah perlu mengembangkan mekanisme penanganan konflik yang edukatif, bukan hanya menghukum atau membiarkan.
Sementara itu, masyarakat harus diajak berperan aktif menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak melalui pengawasan kolektif dan intervensi dini terhadap perilaku menyimpang.
Tanpa penyesuaian regulasi dan pendekatan yang lebih tegas namun tetap edukatif, predikat ramah anak hanya akan menjadi simbol kosong yang tidak mencerminkan realitas sesungguhnya.
Pertanyaan mendasar tentang keseimbangan antara pendisiplinan anak dan perlindungan hak asasi manusia memang harus menjadi bahan refleksi serius dalam setiap musyawarah pembangunan, mulai dari tingkat kelurahan hingga forum kota.
Pertanyaan mendasar tentang keseimbangan antara pendisiplinan anak dan perlindungan hak asasi manusia memang harus menjadi bahan refleksi serius dalam setiap musyawarah pembangunan, mulai dari tingkat kelurahan hingga forum kota.
Di satu sisi, tindakan tegas yang bertujuan mendidik sering kali dianggap melanggar hak anak, sementara di sisi lain, tindakan kriminal oleh anak-anak justru telah melanggar hak dasar orang lain, sebuah paradoks yang memerlukan solusi bijak.
Pemerintah Kota Sukabumi sebenarnya telah berupaya menangani kriminalitas remaja secara persuasif, seperti melalui program Rumah Kreatif Milenial (RKM) yang digagas Polres Sukabumi Kota pada 2020–2021.
Pemerintah Kota Sukabumi sebenarnya telah berupaya menangani kriminalitas remaja secara persuasif, seperti melalui program Rumah Kreatif Milenial (RKM) yang digagas Polres Sukabumi Kota pada 2020–2021.
Program ini berfokus pada pemberian pelatihan vokasi dan pengembangan soft skill kepada anak-anak dan remaja, selaras dengan kebijakan daerah yang mendukung pemberdayaan generasi muda.
Namun, pertanyaannya adalah apakah pendekatan seperti ini cukup untuk mencegah kenakalan remaja, atau justru diperlukan langkah lebih tegas dalam batas yang tetap edukatif?
Regulasi perlindungan anak sering disalahartikan sebagai larangan mutlak terhadap tindakan disiplin, sehingga guru dan orangtua ragu memberikan konsekuensi yang mendidik.
Regulasi perlindungan anak sering disalahartikan sebagai larangan mutlak terhadap tindakan disiplin, sehingga guru dan orangtua ragu memberikan konsekuensi yang mendidik.
Akibatnya, banyak anak tumbuh tanpa pemahaman jelas tentang tanggung jawab sosial, sementara pelanggaran yang mereka lakukan justru merugikan hak orang lain.
Jika setiap teguran dianggap pelanggaran HAM, lalu bagaimana dengan hak korban kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak tersebut? Oleh karena itu, dalam setiap musrenbang, perlu dibahas penyesuaian kebijakan yang tidak hanya melindungi anak dari kekerasan, tetapi juga mengajarkan mereka konsekuensi atas pelanggaran yang dilakukan.
Program seperti RKM patut diapresiasi, tetapi harus diperkuat dengan pendekatan struktural, termasuk evaluasi peran keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial dalam pembentukan karakter anak.
Program seperti RKM patut diapresiasi, tetapi harus diperkuat dengan pendekatan struktural, termasuk evaluasi peran keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial dalam pembentukan karakter anak.
Selain pelatihan keterampilan, perlu juga intervensi psikologis bagi remaja bermasalah, serta pendampingan intensif dari tokoh masyarakat. Pemerintah daerah harus memastikan bahwa kebijakan ramah anak tidak justru melahirkan generasi yang tidak siap menghadapi tanggung jawab sosial.
Dengan demikian, penanganan kenakalan remaja bisa berjalan seimbang, melindungi hak anak tanpa mengabaikan keadilan bagi korban dan ketertiban umum.
Kegiatan-kegiatan pelatihan memang tidak dimaksudkan agar kelompok milenial mendapatkan pekerjaan di perusahaan, melainkan untuk membekali mereka dengan keterampilan mandiri.
Kegiatan-kegiatan pelatihan memang tidak dimaksudkan agar kelompok milenial mendapatkan pekerjaan di perusahaan, melainkan untuk membekali mereka dengan keterampilan mandiri.
Pembekalan kecakapan ini ditujukan agar mereka memiliki kemampuan wirausaha sehingga dapat menciptakan lapangan kerja sendiri.
Selain itu, pelatihan ini juga bertujuan mengurangi ketergantungan generasi muda pada lowongan pekerjaan formal yang semakin terbatas.
Kreativitas menjadi mantra menarik yang sering digaungkan akhir-akhir ini karena dianggap sebagai kunci kesuksesan di era digital.
Dengan berbekal kreativitas, milenial dapat mengembangkan ide-ide inovatif yang memiliki nilai jual tinggi. Pelatihan semacam ini juga mendorong mereka memanfaatkan teknologi dan media sosial sebagai sarana pemasaran yang efektif.
Dengan berbekal kreativitas, milenial dapat mengembangkan ide-ide inovatif yang memiliki nilai jual tinggi. Pelatihan semacam ini juga mendorong mereka memanfaatkan teknologi dan media sosial sebagai sarana pemasaran yang efektif.
Daripada hanya berkumpul di jalanan tanpa tujuan, kelompok milenial lebih produktif jika dilatih menguasai keterampilan tertentu. Mereka bisa memanfaatkan waktu luang untuk mengasah kemampuan, seperti desain grafis, pemrograman, atau bisnis online.
Dengan demikian, generasi muda tidak hanya menjadi pencari kerja, tetapi juga pencipta peluang ekonomi. Pada akhirnya, program pelatihan ini diharapkan mendorong pertumbuhan wirausaha muda dan mengurangi angka pengangguran.
Apakah program-program pelatihan oleh Pemerintah Kota Sukabumi telah berhasil? Keberhasilan pembangunan harus dapat diukur secara objektif.
Apakah program-program pelatihan oleh Pemerintah Kota Sukabumi telah berhasil? Keberhasilan pembangunan harus dapat diukur secara objektif.
Pertanyaan kritisnya adalah berapa persen peserta pelatihan yang benar-benar memulai usaha setelah mengikuti program ini?
Apakah remaja milenial yang dilatih kini menjadi wirausahawan mandiri, atau justru kembali mencari kerja ketika ada lowongan?
Data lapangan akan menunjukkan apakah pelatihan ini efektif atau hanya sekadar aktivitas seremonial.
Selain itu, perlu dilihat sejauh mana usaha yang dirintis peserta mampu bertahan dan berkembang dalam kurun waktu tertentu.
Selain itu, perlu dilihat sejauh mana usaha yang dirintis peserta mampu bertahan dan berkembang dalam kurun waktu tertentu.
Jika mayoritas usaha mereka gagal dalam beberapa bulan, berarti ada masalah dalam pendampingan pascapelatihan.
Di era teknologi informasi seperti sekarang, Pemerintah Kota Sukabumi seharusnya mampu menyajikan data transparan, seperti tingkat penyerapan peserta, omzet usaha alumni pelatihan, dan dampaknya terhadap pengurangan pengangguran.
Tanpa data yang akurat dan terverifikasi, klaim keberhasilan program hanya menjadi narasi kosong. Masyarakat butuh bukti, bukan sekadar laporan kegiatan.
Tanpa data yang akurat dan terverifikasi, klaim keberhasilan program hanya menjadi narasi kosong. Masyarakat butuh bukti, bukan sekadar laporan kegiatan.
Oleh karena itu, evaluasi menyeluruh harus dilakukan untuk memastikan bahwa dana dan upaya yang dikeluarkan benar-benar memberikan manfaat nyata.
Jika ternyata hasilnya belum optimal, perlu ada perbaikan sistem, mulai dari kurikulum pelatihan hingga pendampingan berkelanjutan. Sehingga, fakta dan angka berbicara lebih jelas daripada klaim tanpa dasar.
Di samping itu, jika keberhasilan pelatihan hanya diukur dari penyerapan materi, maka hampir semua program bisa diklaim berhasil. Padahal, yang lebih penting adalah bagaimana pengetahuan tersebut diterapkan dalam praktik nyata.
Di samping itu, jika keberhasilan pelatihan hanya diukur dari penyerapan materi, maka hampir semua program bisa diklaim berhasil. Padahal, yang lebih penting adalah bagaimana pengetahuan tersebut diterapkan dalam praktik nyata.
Para peserta pelatihan, baik remaja maupun kelompok usia lainnya, tidak hanya membutuhkan teori, tetapi juga tindak lanjut berupa pendampingan dan akses pendanaan. Tanpa dukungan konkret, banyak dari mereka kesulitan memulai usaha meski telah dibekali keterampilan.
Program pelatihan untuk generasi milenial ini setidaknya menjadi upaya positif Pemerintah Kota Sukabumi dalam memberikan alternatif bagi pemuda. Daripada menghabiskan waktu dengan kegiatan tidak produktif, seperti menjadi bagian dari geng motor, mereka mendapat pemahaman baru tentang kewirausahaan.
Namun, kesuksesan sejati harus dilihat dari perubahan perilaku dan kondisi ekonomi peserta setelah pelatihan. Apakah mereka benar-benar beralih dari pengangguran atau kegiatan negatif menjadi wirausaha mandiri?
Jika pemerintah serius ingin mengurangi pengangguran dan kenakalan remaja, pelatihan harus disertai dengan skema pendanaan mikro, akses pemasaran, dan monitoring jangka panjang.
Jika pemerintah serius ingin mengurangi pengangguran dan kenakalan remaja, pelatihan harus disertai dengan skema pendanaan mikro, akses pemasaran, dan monitoring jangka panjang.
Tanpa itu, pelatihan hanya akan menjadi aktivitas sekali waktu tanpa dampak berkelanjutan. Yang diperlukan bukan sekadar memberi pengetahuan, tetapi memastikan mereka bisa bertahan dan berkembang di dunia usaha.
Posting Komentar untuk "Memahami Paradigma Pembangunan Kota Sukabumi: Lima Tahun Terakhir (10)"