Wajah Pendidikan Kita

Lembaga pendidikan teramat agung dan suci jika harus dibumbui dengan keruwetan seputar seleksi dan testing masuk ke lembaga pendidikan. Karena apa? Lembaga pendidikan merupakan lembaga netral. Dia hanya memiliki tugas untuk mencetak agar almamaternya dibiasakan untuk hidup secara jernih dan obyektif.

Obyektivitas di zaman sekarang sering terabaikan oleh lembaga-lembaga pendidikan yang ada di negeri ini. Jika dipersempit saya mungkin akan memberikan sampel sederhana tentang belum maksimalnya penerimaan siswa baru di Kota Sukabumi.

Orang-orang selalu menanyakan tentang data-data dan fakta apa yang saya bicarakan pada akhirnya jangan menjadi boomerang efek bagi diri saya sendiri. Obrolan apalagi menyoal tentang sebuah drama tentang penerimaan siswa baru di sebuah lembaga pendidikan ketika tanpa disodori oleh data-data akurat akan menyebabkan sayalah yang dipermasalahkan. Sayalah yang menjadi biang keladi dari pemikiran ini dan kesannya memfitnah serta menghasut terhadap tatanan yang telah ada.

Namun, perlu disikapi juga dengan nalar yang benar. Bahwa hidup di era seperti ini antara data, fakta, fitnah, serta hasutan sekaligus merupakan teman akrab dan sejawat. Seolah mereka telah bersahabat akrab sejak era reformasi digulirkan di negeri ini. Bahwa kondisi saat ini khususnya terhadap fenomena tentang penerimaan dan testing memasuki sebuah lembaga pendidikan oleh siswa-siswi merupakan hal yang masih perlu dipertanyakan tentang kesahihan dari tes tersebut.

Siapa pun, lembaga pendidikan mana pun, terutama para panitia penyelenggara akan secara blak-blakan menolak tulisan yang saya ajukan di media bertaraf nasional ini? Namun, perlulah kita fahami tulisan merupakan sebuah hal yang perlu dikaji ulang, dikaji lebih jauh, terlepas dia merupakan sebuah fitnah atau pun sebuah realitas. Karena, tulisan berbau fitnah tidak selalu salah. Begitu juga tulisan berbasis realita tidak selamanya menjadi sahih dan sebuah kemutlakan yang bisa diterima tanpa pertanyaan.

Saya memandang terdapat beberapa kejanggalan dalam proses penerimaan siswa baru di sekolah-sekolah di negeri ini akhir-akhir ini. Dan, saya sebagai seorang warga negara yang berusaha menjadi baik sering berpikir keras, mendengar obrolan dari beberapa kawan, kok masih ada mafia-mafia kelulusan tes dari proses penerimaan siswa baru di beberapa sekolah ini.

Maaf ini bukan fakta tapi merupakan fenomena keseharian kita. Setiap tahun memang terdengar kabar seperti ini.

Jika menilai secara obyektif saya pribadi bisa menyodorkan sebuah pertanyaan sederhana. Mengapa beberapa siswa yang memiliki prestasi gemilang ketika SMP tidak lulus dalam proses seleksi dan tes memasuki sebuah SMA. Sementara beberapa siswa dengan masa lalu kurang menggembirakan dengan mudah bisa masuk dan nilainya pun begitu mencengangkan?

Lantas jika anda meminta salinan nilai hasil testing tersebut mengapa pihak sekolah terkadang menutupi tanpa sebuah transparansi dan kejelasan? Wajar jika pertanyaan saya ajukan kepada pihak sekolah dan sebuah permintaan agar sekolah membuka salinan nilai tes tersebut. Jika pertanyaan sederhana tersebut masih belum bisa terjawab maha runtuhlah obyektivitas di lembaga-lembaga pendidikan tersebut.

Negeri ini sejak era reformasi seolah telah menjadi sebuah permainan dan mudah dimain-mainkan. Permainan macam apa pun seolah dibebaskan di negeri ini. Dari kecil mereka yang telah dibiasakan menggunakan cara-cara tidak jujur seperti penyuapan.

Dalam memasuki arena apa pun kelak akan memandulkan generasi di masa depan. Sah-sah saja orang memberikan uang pelicin dalam segala tindak-tanduknya ketika kondisi di negeri ini memang seperti demikian. Hukum atau uangkah yang berkuasa? Saat ini idealisme dan jiwa-jiwa kepahlawanan merupakan hal tabu dan aneh. Orang akan lebih menghormati mereka para pelaku ketidakjujuran daripada harus menghormati orang-orang lurus dan berusaha memberikan kebaikan di negeri ini.

Apa yang harus dibayar oleh generasi seperti ini? Jika lembaga pendidikan sudah bisa dipermainkan oleh orang-orang yang kurang memiliki nurani dan dalam pandangan Isaiah Berlin --manusia pecinta kebaikan, maka satu lagi alasan bagi saya untuk bersikap pesimis. Bahwa negeri ini akan semakin mundur ke belakang. Akan semakin jatuh ke titik nadir.

Pendidikan yang menjadi pilar majunya sebuah negara hanya akan menjadi pelengkap dari sebuah permainan aneh dan tidak manusiawi dari sekian ratus permainan aneh di negeri ini. Dan, ini patut direnungkan. Pun disikapi dengan bijaksana. Terutama oleh orang-orang yang konsern terhadap kebenaran!

Artikel "Wajah Pendidikan Kita" dimuat di Detik.com pada 26 Juli 2010

Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Wajah Pendidikan Kita"