Ada semacam keanehan ketika Plato menyebutkan—secara detail—peradaban dari Timur. Ia menulis kisah tentang sebuah peradaban yang telah berkembang di belahan bumi bagian Timur. The East of Eden, sorga di Timur. Ekstase dan pencapaian batiniyah seorang Plato ini tentu berseberangan dengan logika yang dianut oleh para sophis Yunani Kuno saat itu.
Buah pikiran Plato dengan tingkat transendensi yang sangat tinggi menjadi sebab alam pikiran Yunani terbagi menjadi tiga: pertama, mereka yang memuja kebijaksanaan materi atau fisik; kedua, mereka yang memadukan fisik dan nous; dan ketiga, mereka para pemuja mitologi. Kelompok ketiga ini cenderung dianut oleh para penguasa dan agamawan yang dekat dengan kekuasaan.
Pertentangan muncul, jauh sebelum Plato menyodorkan konsep negara ideal. Gurunya, Sokrates, hidup sezaman dengan kaum sophis yang menentang kekuasaan kaum tirani. Kelompok tirani tersebut membonceng otoritas agama, mengendalikan masyarakat dengan dogma yang dikemas oleh agamawan berjubah.
Sokrates memandang praktik pembodohan masyarakat melalui pranata agama ini bertolak belakang dengan hukum alam sebagai hukum Tuhan yang sejati. Penentangannya berujung pada pemaksaan dari penguasa untuk meminum racun; ia dihukum mati oleh penguasa dan agamawan palsu yang tetap mempertahankan konsep politeisme demi kepentingan politik.
Kaum sophis, Sokrates, dan para pencari kebijaksanaan akhirnya hidup dalam tekanan. Gerak-gerik mereka diawasi ketat. Mereka menjadi minoritas dalam tatanan yang telah diracuni oleh kekuasaan dan hegemoni agama. Tekanan itu mendorong mereka untuk mengembara, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, hingga menyepi di goa-goa sebagai bentuk penolakan atas kesemrawutan hidup.
Mereka tetap memegang teguh ajaran tentang hukum semesta yang digerakkan oleh Causa Prima, Sang Khaliq. Meski demikian, ajaran kaum sophis tetap diadopsi secara semu oleh para penguasa dan agamawan yang mengejar kepentingan duniawi.
Tiga abad kemudian, seorang pemuda Aramia bernama Yesus (Isa) melakukan hal serupa dengan kaum sophis dan para filsuf. Ia menyebarkan ajaran kebaikan bukan melalui lembaga agama, tetapi dari rumah ke rumah. Puncaknya adalah saat Khotbah di Bukit, ketika Yesus memisahkan urusan ketuhanan dari kekuasaan.
Para agamawan Yahudi waktu itu menganggapnya ancaman karena ajarannya tidak bertumpu pada ritus. Mereka menghasut penguasa dengan menuduh Yesus meracuni masyarakat dan menyerang dewa-dewa Romawi. Seperti yang dialami Sokrates, kaum agamawan kembali memanfaatkan kekuasaan untuk melenyapkan sang pembawa ajaran kebaikan.
Setelah Yesus, ajaran moralnya justru dimanfaatkan oleh para agamawan tertentu. Saul, seorang Yahudi yang pernah menganiaya para murid Yesus, mengadopsi ajaran tersebut, kemudian mengembangkannya dengan sokongan kekuasaan Romawi. Dari sinilah berkembang ajaran transendental yang dipadukan dengan ritual dan politik Romawi, lalu terlembagakan menjadi agama besar hingga kini.
Beranjak ke wilayah lain, Tanah Haran sebelum dikenal sebagai Mekah hanyalah padang tandus tanpa penghuni. Migrasi besar bangsa Nabatea dari Jordan dan Kanaan pada abad ke-2 SM membawa perubahan besar. Mereka pindah akibat tekanan kultural pasca-eksodus kaum Yahudi dari Mesir ke Kanaan.
Sebelum kedatangan kaum Yahudi, peradaban Nabatea sudah maju; mahir dalam seni memahat, sastra, dan prosa. Tulisan Fenisia yang mereka gunakan kelak ditransformasikan menjadi aksara yang kini dikenal sebagai Aksara Arab.
Bangsa Nabatea pula yang memperkenalkan bentuk kubus sebagai simbol dewa kesuburan, Manath dan Hubal. Mereka selalu membawa kubus kecil sebagai jimat, dan ketika menetap di Haran, mereka menjadikan kubus besar sebagai pusat ritual. Dari rumah-rumah mereka menghadap bangunan tersebut saat beribadah.
Seiring waktu, kehidupan di Haran berkembang pesat. Bangsa Nabatea yang ahli berdiplomasi membuat konsensus dengan berbagai kabilah pendatang. Mereka tetap menjadi penjaga rumah tuhan, sementara kekuasaan diserahkan kepada kaum nomaden, yang kemudian dikenal sebagai Arab Badui.
Mereka disebut Arab karena hidup di atas tapal kuda, gemar berperang, dan berpindah-pindah. Kabilah-kabilah lain dipersilakan menyimpan berhala mereka di dalam bangunan kubus itu; rumah para dewa, bukan rumah Tuhan Yang Esa.
Lalu, mengapa pembangunan kubus itu disematkan kepada Ibrahim dan Ismail? Secara historis, perjalanan spiritual Ibrahim tidak pernah sampai ke Haran. Jalurnya adalah dari Babel ke Kanaan.
Di Kanaan inilah Ibrahim berinteraksi intens dengan bangsa Nabatea, hingga dipandang sebagai penasihat spiritual mereka. Sebagai bentuk penghormatan, pembangunan bangunan kubus itu kemudian dikaitkan dengan nama Ibrahim, Sang Kekasih Tuhan.
Di antara bangsa Nabatea, ada sekelompok kecil yang tetap mempertahankan ajaran Ibrahim. Di Mekah, mereka dikenal sebagai kaum hanif atau hunafa. Dari kelompok inilah kelak muncul seorang mesiah baru dari Mekah, Muhammad SAW yang hadir sebagai suara bening yang melampaui ritus, melampaui doktrin, dan terus mencari hubungan langsung dengan Sang Kebenaran.
Posting Komentar untuk "Peran Kaum Sophis, Filsuf, Hunafa, dan Sufi"