Membaca sastra - seperti cerpen - memang tidak membutuhkan waktu-waktu tertentu atau khusus. Sebab cerpen adalah cerita meskipun fiksi, dia merupakan proyeksi kehidupan atau realitas keseharian kita. Tidak akan lahir sebuah fiksi tanpa realitas. Tidak akan mengenal kata damai jika kehidupan manusia dipenuhi oleh ketentraman. Kata damai itu lahir ketika muncul pertengkaran dan permusuhan.
Joni Ariadinata dalam Cerpen Lampor telah memindahkan alam realitas ke dalam fiksi. Lampor bisa dimaknai kehidupan yang dipenuhi oleh potensi hantu, atau bisa jadi bahwa kehidupan beberapa golongan tertentu ibarat hantu, menakutkan namun memang sering diwacanakan, seolah ada. Sejatinya, kehidupan dalam Lampor bukan hantu, dia memang mewujud di dunia nyata, ada di sekitar kita. Malahan bisa jadi, justru kita sedang berada di dalamnya.
Bayangkan salah satu paragraf dalam Cerpen Pilihan Kompas ini : " Plastik-plastik terapung, lumpur pekat kecoklatan, perkakas penyok, bangkai anjing dengan perut gembung, lalat hijau, sampah busuk. Amat biasa bahkan bagus untuk dinikmati. Manakala air Kali Comberan meluap membentuk harmoni alam yang kelewat simetris dengan ilustrasi deretan gubuk primitif mirip kandang babi."
Melalui satu paragraf inipun telah hinggap dalam kepala kita, dalam pikiran, perasaan, penginderawian, satu drama kehidupan bukan hanya kumuh namun akan memengaruhi kehidupan sosial manusia-manusia yang ada di lingkungan tersebut. Kemiskinan dan kekumuhan lingkungan membawa pengaruh besar terhadap mental dan cara manusia bersosialisasi, pandangan kaum environmental seperti itu. Ibarat siklus, dia akan berputar-putar saling memengaruhi, akumulasinya adalah ketidakberesan yang tidak beres-beres.
Masuk akal, lingkungan kotor disebabkan oleh manusianya juga. Namun bagi orang-orang atau tokoh-tokoh dalam Lampor, kehadiran kekotoran tersebut sebenarnya merupakan akibat saja, ulah dari orang-orang yang berada di sebelah hulu sungai, mereka harus menerima akibat dari perbuatan orang lain. Kesannya memang tidak adil hidup ini. Tapi apa peduli? Kepercayaan pun tidak lebih mahal dari sebuah sapu tangan di zaman sekarang, begitu sindir Chekhov.
Lampor adalah realitas kehidupan kita saat ini. Tidakkah kita menyaksikan potret-potret diri yang terlukis dalam dunia nyata dan maya kita dijejali oleh segudang sarkasme. Omelan, hasudan, dengki, sampai ketidakpercayaan meskipun kepada orang-orang terdekat. Siapa bisa menikam siapa, tinggal menunggu momentum. " Tito mencangking karung dan pengait "dinas luar", ketika Rohanah bangun untuk antre mengambil air bersih. Setengah jam kemudian Abah Marsum menggeliat saat mendengar suara kaleng berderak serta bantingan pintu, kasar dan keras. Batuk-batuk sebentar, kemudian meludahkan dahak kental. Sepagi ini Sumiah mengumpat, berjalan gusar dengan dada naik-turun, "Bajingan tengik! Anak keparat. Pagi-pagi sudah mencuri..." "
Memang, dalam salah satu paragraf di atas ada semangat untuk mempertahankan hidup, lebih jelas usaha untuk tetap bertahan. Tapi, bukankah semangat ini tidak hanya dimiliki oleh orang-orang kecil? Setiap orang sudah pasti memilikinya, bahkan tentang sikap sarkastik dalam kehidupan ini tidak selalu dijumpai di pinggiran comberan, di mobil-mobil, saat kemacetan berlangsung berapa luapan sarkastik keluar dari benak dan hati kita? Manusia mencerca lingkungan dan kenyataan yang dibuat oleh dirinya sendiri. Sama dengan manusia mencerca perbedaan ketika perbedaan tersebut dibuat oleh manusia sendiri.
Nalar atau penginderaan manusia normal akan merasakan apa ketika membaca paragraf ini? "ketika anak-anak dekil mandi, perempuan mencuci piring dan daki, pantat-pantat separuh telanjang mengeluarkan kotoran. Secara serempak dan tetap: pagi pukul delapan, sore pukul lima. Kotoran dengan bakteri kental lewat campuran air mengalir, adalah hal teramat sederhana buat jadi pikiran. Teramat sepele buat jadi pertimbangan."
Bukankah pemerintah selalu memrogramkan kesehatan masyarakat dengan anggaran-anggaran melangit? Dikemanakan uang-uang itu mengalir? Kenapa tidak mewujud menjadi kali bersih, MCK yang layak, sanitasi lingkungan, dan tempat-tempat sampah?
Joni Ariadinata berusaha mempertanyakan itu melalui cerpennya. Sayang sekali, pesan moral ini tidak direspon oleh para pemangku kepentingan saat itu. Bagaimana mungkin, toh menjelang berakhirnya kekuasaan Orba masing-masing faksi sedang mempersiapkan diri demi mengamankan posisinya melulu. Masyarakat di seberang sungai comberan pun di saat itu sedang dilanda krisis multidimensi, jalan terbaik adalah tak acuh.
Kang Warsa

Posting Komentar untuk "Realisme Dalam Lampor"