Memahami Paradigma Pembangunan Kota Sukabumi: Prolog (2)

Dalam sejarah kehidupan, ilusi tentang signifikansi manusia telah melahirkan pencapaian-pencapaian spektakuler: dari piramida hingga eksplorasi Mars, dari simfoni Beethoven hingga teori relativitas Einstein. Ironisnya, semakin manusia mencoba memahami alam semesta, semakin ia menyadari bahwa dirinya hanyalah partikel kecil dalam drama kosmik, tetapi kesadaran ini justru memicu kreativitas dan ketahanan yang unik pada spesies manusia.

Manusia modern hidup dalam ketegangan antara dua kutub: di satu sisi ia tahu bahwa Bumi hanyalah titik biru pucat dalam hamparan galaksi, tetapi di sisi lain ia bertindak seolah-olah setiap keputusannya adalah yang terpenting dalam sejarah alam semesta. Jagat alit manusia, dunia sehari-hari yang terdiri dari rutinitas, hubungan interpersonal, dan ambisi pribadi, tiba-tiba mendapatkan dimensi kosmik ketika ia menyadari bahwa setiap tindakannya, sekecil apapun, adalah bagian dari jaringan sebab-akibat yang mungkin berpengaruh pada skala planet atau bahkan lebih besar.

Inilah yang membuat manusia terus bertahan meski menghadapi kenyataan akan kesementaraan hidupnya: kemampuan untuk terus-menerus menemukan makna baru dalam ketiadaan makna absolut, untuk menciptakan tujuan dalam alam yang secara inheren tidak bertujuan, dan untuk merayakan keberadaannya meski tahu bahwa suatu hari matahari akan padam dan semua pencapaiannya mungkin akan terlupakan.

Pada tingkat tertentu, alam semesta membutuhkan manusia, bukan sebagai pusat ciptaan, tetapi sebagai cermin yang memantulkan kesadaran akan keberadaan dirinya sendiri, karena tanpa pengamat yang sadar, apakah keindahan bintang-bintang atau kedalaman hukum fisika benar-benar "ada" dalam arti yang sepenuhnya? Dengan kata lain, manusia mungkin tidak penting bagi alam semesta, tetapi alam semesta menjadi "penting" hanya karena ada manusia yang mampu merenungkannya, mengukurnya, dan terpesona olehnya.

Inilah kontribusi unik manusia, ia adalah cara alam semesta memahami dirinya sendiri, sekaligus bukti bahwa dari partikel-partikel dasar yang tidak sadar bisa muncul kesadaran yang mampu bertanya, "Mengapa kita ada di sini?" pertanyaan yang mungkin tidak akan pernah terjawab, tetapi justru dalam proses pencarian jawabannya, manusia menemukan alasan untuk terus hidup, mencintai, dan mencipta.

Konsep kesementaraan yang menyelimuti seluruh penghuni jagat raya, dari manusia hingga bintang-bintang telah menjadi prinsip fundamental yang membentuk cara kita memahami eksistensi, di mana segala sesuatu tunduk pada hukum perubahan dan ketidakkekalan. Albert Einstein merevolusi pemahaman kita tentang kesementaraan ini melalui teori relativitasnya, yang mengungkapkan bagaimana waktu dan ruang bukanlah entitas mutlak melainkan relatif terhadap pengamat, sebuah penemuan yang secara radikal mengubah persepsi manusia tentang hakikat realitas.

Namun jauh sebelum Einstein, pada abad ke-9, filsuf Muslim Al-Kindi telah menggagas pemikiran serupa ketika ia merenungkan posisi manusia di tengah luasnya alam semesta, menyimpulkan paradoks bahwa manusia sekaligus "tidak berarti apa-apa" dalam skala kosmik namun juga "berarti segalanya" dalam kapasitasnya sebagai makhluk sadar yang mampu memaknai keberadaannya. Kesementaraan dalam pandangan ini bersifat elastis seperti benda lentur, kadang mengembang membuat manusia merasa penting dalam momen-momen pencapaian, kadang mengempis menyadarkannya pada ketidakberartian fundamental di hadapan waktu kosmik yang membentang miliaran tahun.

Dalam konteks fisika modern, relativitas waktu Einstein dan konsep kuantum menunjukkan bahwa pada tingkat fundamental, realitas itu sendiri bersifat fluktuatif dan tidak pasti, mencerminkan sifat kesementaraan yang melekat dalam struktur alam semesta. Pada skala manusiawi, kesadaran akan kesementaraan ini memunculkan respons beragam, ada yang terdorong untuk mengejar keabadian melalui karya (seperti seniman atau ilmuwan), ada yang mencari pelarian dalam hedonisme, dan ada yang menerimanya dengan sikap bijak sebagai bagian tak terelakkan dari kondisi manusia.

Dalam tradisi filsafat Timur, pemahaman tentang kesementaraan melahirkan konsep seperti "anicca" dalam Buddhisme yang mengajarkan pelepasan keterikatan, sementara dalam tradisi Barat modern ia memicu eksistensialisme yang menekankan kebebasan manusia menciptakan makna dalam dunia yang pada dasarnya absurd. Dinamika "kembang-kempis" kesementaraan ini tercermin dalam siklus peradaban manusia, kerajaan-kerajaan besar bangkit dan runtuh, ideologi-ideologi muncul dan pudar, penemuan-penemuan revolusioner suatu hari menjadi ketinggalan zaman, semuanya mengikuti ritme waktu yang tak terhindarkan.

Pada tingkat personal, kesementaraan memanifestasikan diri dalam pengalaman sehari-hari: kegembiraan yang berlalu, kesedihan yang mereda, tubuh yang menua, dan ingatan yang memudar, semuanya mengingatkan kita pada sifat sementara dari segala pengalaman manusiawi. Justru dalam pengakuan mendalam akan kesementaraan inilah manusia menemukan kekuatan untuk hidup secara autentik menghargai momen saat ini tanpa terobsesi pada keabadian, berinovasi tanpa ilusi tentang kemajuan linear, dan mencintai dengan kesadaran penuh bahwa segala sesuatu yang berawal pasti akan berakhir.

Dalam konteks ekologis kontemporer, pemahaman tentang kesementaraan seharusnya mengarahkan manusia pada sikap rendah hati jika seluruh peradaban kita yang megah pun pada akhirnya akan berlalu seperti dinosaurus suatu hari punah, maka keserakahan eksploitatif terhadap planet menjadi tindakan yang tidak hanya merusak tetapi juga secara filosofis tidak masuk akal.

Mesti disadari, kesementaraan bukanlah kutukan yang harus ditakuti atau ditolak, melainkan guru kebijaksanaan yang mengajarkan kita untuk menemukan keabadian bukan dalam durasi, tetapi dalam kedalaman; bukan dalam kelanggengan materi, tetapi dalam kualitas pengalaman dan kontribusi kita pada jalinan kehidupan yang lebih besar. Seperti kata Carl Sagan, "Kita adalah cara alam semesta mengenali dirinya sendiri", sebuah pernyataan yang menyiratkan bahwa dalam kesementaraan kita yang fana, justru terkandung keabadian metaforis: melalui kesadaran manusia, kosmos yang dingin dan luas itu akhirnya bisa merasakan kehangatan makna, bahkan jika hanya untuk sekejap dalam skala waktu kosmik.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Memahami Paradigma Pembangunan Kota Sukabumi: Prolog (2)"