Memahami Paradigma Pembangunan Kota Sukabumi: Prolog (3)

Manusia hidup dalam dialektika eksistensial yang unik, di satu saat ia merunduk menyadari dirinya hanyalah partikel tak berarti di tengah hamparan semesta raya, tetapi sekejap kemudian bisa berbalik mengklaim diri sebagai mahkota penciptaan yang berhak menundukkan alam beserta isinya. Ambivalensi ini tercermin dalam cara manusia memproklamasikan diri sebagai "wakil Tuhan di Bumi", sebuah klaim teologis sekaligus antroposen yang memberinya legitimasi untuk mendominasi ekosistem, meski secara biologis ia hanyalah satu dari 8,7 juta spesies yang menghuni planet ini.

Landasan teologi yang dibangun manusia pun cenderung antropomorfik; Tuhan digambarkan dengan atribut-atribut manusiawi (kasih sayang, kemarahan, keadilan) karena keterbatasan kognitif manusia dalam memahami realitas transenden yang melampaui ruang-waktu. Proyeksi kesadaran manusia terhadap yang ilahi ini sebenarnya wajar seperti metafor Plato tentang kuda-kuda yang pasti membayangkan Tuhan sebagai kuda sempurna karena manusia memang hanya bisa berpikir dalam kerangka pengalaman dan kapasitas inderawinya yang terbatas.

Namun bahayanya mulai muncul ketika konsep "tundukkan alam" yang berasal dari penafsiran sempit atas teks-teks suci bertemu dengan keserakahan kapitalistik modern, menciptakan bencana ekologis yang mengancam keberlangsungan hidup itu sendiri. Manusia sebagai Homo Sapiens (makhluk bijak) dan sekaligus Homo Deus (makhluk rohani) terjebak dalam paradoks: ia mampu merenungkan ketakterbatasan alam semesta, tetapi juga terobsesi pada narasi eksklusivisme spesies yang memberinya hak eksploitasi tanpa batas.

Dalam konteks antropomorfisme religius, Tuhan sering kali dijadikan justifikasi untuk tindakan-tindakan antroposentris, mulai dari penggundulan hutan hingga perang suci, di mana klaim "Atas Nama Tuhan" menjadi tameng untuk mengabaikan prinsip keseimbangan kosmis. Padahal, jika kita jujur, konsep ketuhanan yang sejati harusnya melampaui kepentingan spesies tertentu; sungguh aneh jika Tuhan yang menciptakan miliaran galaksi hanya memfavoritkan satu spesies di satu planet kecil untuk bertindak sewenang-wenang.

Narasi "manusia sebagai wakil Tuhan" sesungguhnya lebih mencerminkan kebutuhan psikologis manusia akan signifikansi daripada kebenaran metafisis, sebuah mekanisme pertahanan ego kolektif terhadap kenyataan bahwa di mata kosmos, manusia mungkin hanyalah kecelakaan evolusi sementara. Namun demikian, posisi istimewa manusia sebagai makhluk berkesadaran tinggi seharusnya justru membebankannya tanggung jawab etis yang lebih besar, bukan hak eksploitasi, melainkan kewajiban untuk menjadi penjaga yang bijaksana bagi jaringan kehidupan yang saling terhubung.

Kita perlu merekonstruksi teologi antroposentris menjadi teologi ekosentris, di mana kesucian tidak hanya melekat pada manusia, tetapi pada seluruh jalinan kehidupan dan kosmos itu sendiri. Dalam perspektif ini, tugas manusia bukanlah menaklukkan alam seperti tuan atas budak, tetapi berperan sebagai sadar kosmis yang membantu mengarahkan evolusi menengah harmoni yang lebih besar, seperti sel-sel saraf dalam "otak Gaia" yang bertanggung jawab memelihara kesadaran planet.

Klaim-klaim keagamaan tentang superioritas manusia perlu diuji ulang dengan kerendahan hati sains modern, temuan bahwa 97% DNA kita sama dengan orang utan, bahwa kita berbagi atom-atom dengan bintang-bintang yang telah mati, dan bahwa kesadaran kita mungkin hanyalah produk sampingan dari partikel-partikel elementer yang mengikuti hukum fisika. Bukan berarti ini merendahkan manusia, justru sebaliknya, dengan melepaskan ilusi ketuhanan semu, kita bisa menemukan peran yang lebih autentik bukan sebagai tiran kosmik, melainkan sebagai peserta yang sadar dalam simfoni besar alam semesta, yang berkewajiban menjaga melodi keseimbangan agar kehidupan bisa terus bergema di tengah kesementaraan waktu yang fana.

Kesementaraan bukan sekadar konsep filosofis abstrak, melainkan mekanisme fundamental yang memungkinkan manusia dan seluruh makhluk hidup mengalami ritme alamiah kehidupan, mulai dari denyut pertama janin dalam rahim, kelahiran yang mempertaruhkan nyawa, pertumbuhan yang penuh keajaiban biologis, hingga kerapuhan usia tua yang berujung pada pembubaran diri ke dalam tanah. Rentang hidup manusia yang rata-rata hanya 80 tahun, sekejap dibandingkan usia alam semesta yang 13,8 miliar tahun menjadi paradoks tersendiri, betapa tidak berartinya satu individu dalam skala waktu kosmik, namun betapa bernilainya setiap detik ketika dihayati sebagai bagian dari warisan evolusi 3,5 miliar tahun kehidupan di Bumi.

Ketika kita membandingkan umur manusia dengan sejarah spesies kita sendiri, sejak Homo Sapiens pertama muncul 300.000 tahun lalu hingga menjadi penguasa planet, terungkap ironi bahwa justru di puncak dominasi teknologinya, manusia modern semakin dihantui kecemasan eksistensial akan ketidakabadian. Kesadaran akan kesementaraan inilah yang membedakan manusia dari spesies lain, kijang tidak meratapi singa yang akan memangsanya, pohon oak tidak menangisi daun-daunnya yang berguguran, tetapi manusia menangisi kematiannya sendiri bahkan sebelum ajal tiba.

Proses penuaan yang tak terelakkan, dari sel-sel yang berhenti beregenerasi, otot-otot yang mengerut, hingga memori yang menguap, sebenarnya adalah bentuk kasih sayang evolusi, tanpa batas usia yang jelas, mungkin manusia tidak akan pernah terdorong untuk menciptakan seni, membangun peradaban, atau mencintai dengan sepenuh hati. Dalam budaya Timur, kesementaraan dirayakan dalam konsep seperti mono no aware (Jepang) yang menemukan keindahan justru dalam kerapuhan dan ketidakkekalan, sementara Barat modern sering menganggapnya sebagai musuh yang harus dikalahkan melalui teknologi anti-penuaan dan imortalitas digital.

Padahal, seperti air yang menjadi stagnan jika tidak mengalir, kehidupan justru kehilangan maknanya ketika tidak memiliki batas waktu, bayangkan jika Shakespeare tahu dramanya akan dibaca selamanya, apakah ia masih akan menulis dengan gairah yang sama? Ancaman nyata bagi manusia modern bukanlah kesementaraan itu sendiri, melainkan ilusi bahwa kita bisa mengakalinya melalui akumulasi kekayaan, prestise, atau rekayasa bioteknologi, sementara melupakan bahwa ketidakkekalanlah yang memberi nilai pada setiap pilihan hidup.

Di tingkat spesies, kesadaran akan kesementaraan seharusnya menjadi peringatan, peradaban kita yang megah dengan kota-kota menjulang dan algoritma canggih, pada akhirnya akan menjadi lapisan sedimen geologis, sama seperti dinosaurus yang kini hanya tinggal fosil. Justru dalam penerimaan akan ketidakkekalan inilah tersembunyi kebijaksanaan tertinggi, kemampuan untuk hidup sepenuhnya dalam momen sekarang, merawat planet yang rapuh ini bukan untuk diri kita yang fana, tetapi untuk kehidupan berikutnya yang akan meneruskan estafet siklus kehidupan.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Memahami Paradigma Pembangunan Kota Sukabumi: Prolog (3)"