Seperti kata filsuf Alan Watts, kita bukanlah makhluk yang mengalami kesementaraan, melainkan kesementaraan itu sendiri yang sedang mengalami diri sebagai manusia, sebuah tarian energi kosmis yang sementara mengambil bentuk daging dan darah, hanya untuk suatu hari nanti kembali ke bintang-bintang yang menjadi asal kita semua.
Kesementaraan di dalam ruang dan waktu tidak hanya memengaruhi kenisbian manusia, juga berdampak terhadap apa yang dikerjakan, diciptakarsakan, dan dihasilkan oleh manusia. Manusia sebagai homo faber, makhluk pekerja pada saatnya harus menghentikan pekerjaan dan benar-benar berhenti dari pekerjaannya.
Usia produktif sebagai bonus demografi memang merupakan usia dominan yang dimiliki oleh manusia, selama empat puluh tahun dari usia 20 sampai 60, manusia menikmati masa keemasannya. Kendati demikian, dalam praktiknya hanya sekian persen saja usia produktif dimanfaatkan oleh manusia. Sisanya, karena watak alamiah dan memang telah disebutkan di dalam kitab suci, usia manusia lebih banyak dihabiskan untuk bersenda gurau dan sikap tidak produktif.
Kita sering terjebak dalam stigma negatif dengan menyebut "pangedulan" atau "manusia malas" pada mereka yang lebih banyak menghabiskan usia produktifnya untuk kegiatan nonproduktif, padahal justru dalam diam dan istirahat itulah tersimpan kekuatan regeneratif yang menyelamatkan manusia dari kehancuran diri. Penelitian neurosains modern membuktikan bahwa otak manusia mencapai puncak kreativitasnya justru saat berada dalam kondisi santai, ketika jaringan mode default (default mode network) aktif memproses informasi secara bawah sadar.
Dalam perspektif evolusi, nenek moyang kita mengembangkan mekanisme penghematan energi melalui istirahat sebagai strategi bertahan hidup di lingkungan yang keras dan penuh ketidakpastian. Budaya kerja modern yang memuja produktivitas tanpa henti telah melupakan kebijaksanaan kuno ini, terbukti dari epidemi burnout dan gangguan mental yang meningkat 300% sejak era revolusi industri menurut data WHO. Filsuf Jerman Josef Pieper dalam karyanya "Leisure: The Basis of Culture" menegaskan bahwa peradaban sejati justru lahir dari ruang-waktu yang dibebaskan dari kerja, saat manusia merenung, mencipta seni, atau sekadar menikmati keberadaannya.
Alam sendiri memberikan contoh sempurna, pohon mapel menghabiskan 60% waktunya dalam fase dorman (tidur) untuk bertahan di musim dingin, sementara gajah, hewan darat terkuat, tidur hanya 2 jam sehari tetapi menghabiskan 18 jam untuk aktivitas rendah energi. Terminal peristirahatan dalam hidup manusia, mulai dari tidur malam, liburan, hingga masa pensiun, bukanlah tanda kemalasan, melainkan siklus alamiah yang memungkinkan transformasi kesadaran dan penyembuhan sel-sel tubuh.
Masyarakat Sunda dengan konsep "reureuh" atau budaya Spanyol dengan "siesta”nya telah lama memahami bahwa produktivitas sejati bersifat siklis, bukan linear. Dalam dunia yang semakin terobsesi pada efisiensi, mungkin kita perlu belajar dari kungkang, hewan yang bergerak pelan tetapi telah bertahan 64 juta tahun, bahwa terkadang bertahan hidup bukan tentang seberapa banyak yang bisa kita kerjakan, tetapi seberapa baik kita bisa memulihkan diri.
Pada akhirnya, terminal peristirahatan itu adalah pintu gerbang menuju kebijaksanaan, di sana kita belajar bahwa menjadi "manusia" bukanlah tentang terus memproduksi, melainkan tentang keberanian untuk sesekali berhenti dan menyadari bahwa nilai hidup tidak diukur oleh output, tetapi oleh kedalaman keberadaan kita yang sementara ini.
Jika direnungkan secara mendalam, ada paradoks menarik dalam gagasan bahwa Bumi yang didominasi manusia "malas" mungkin akan tetap lestari seperti ribuan tahun silam, tanpa eksploitasi besar-besaran, deforestasi masif, atau kerusakan ekosistem yang kini mengancam masa depan planet.
Orang yang dianggap "malas" cenderung tidak memiliki dorongan untuk mengeksploitasi sumber daya secara berlebihan; mereka tidak akan membabat hutan untuk perkebunan monokultur, menambang hingga inti Bumi, atau menciptakan industri yang mengemisikan polusi dalam skala masif.
Dalam perspektif ekologi radikal, "kemalasan" semacam ini justru bisa menjadi bentuk resistensi pasif terhadap logika kapitalisme yang memuja pertumbuhan tanpa batas, seperti gerakan "slow living" atau konsep "degrowth" yang kini digaungkan para aktivis lingkungan.
Namun, di sisi lain, alam semesta sendiri bekerja berdasarkan prinsip dinamika konstan, planet-planet terus berotasi, lempeng tektonik bergerak, dan energi tak pernah benar-benar diam, sehingga manusia sebagai bagian dari sistem ini pun secara alami terpanggil untuk aktif berkontribusi pada jaringan kehidupan. Bayangkan jika Bumi berhenti bergerak hanya lima menit: gravitasi akan kacau, atmosfer lenyap, dan kehidupan musnah seketika, sebuah metafora tentang bagaimana keseimbangan antara aktivitas dan istirahat harus dijaga.
Persoalannya bukan pada "malas" versus "rajin", melainkan pada jenis aktivitas apa yang kita lakukan, aktivitas destruktif yang mengejar keuntungan jangka pendek, atau aktivitas regeneratif yang memulihkan Bumi. Sejarah menunjukkan bahwa banyak kerusakan lingkungan justru dilakukan oleh manusia "terlalu rajin" terlalu bersemangat membangun bendungan raksasa yang mengubah aliran sungai, terlalu giat menciptakan plastik yang tak terurai, atau terlalu getol mengeksploitasi sumber daya hingga titik kelelahan.
Mungkin solusinya terletak pada redefinisi "kemalasan" sebagai kecerdasan untuk menahan diri, seperti petani tradisional yang memahami waktu bera untuk memulihkan tanah, atau masyarakat adat yang meninggalkan hutan tak tersentuh karena dianggap keramat.
Dalam konteks krisis iklim saat ini, "kemalasan" yang bijak, dalam arti menolak logika eksploitasi, bisa menjadi senjata pamungkas untuk menyelamatkan biosfer, sementara "kerja keras" yang buta justru mengantar kita pada kehancuran. Pada akhirnya, Bumi membutuhkan manusia yang cukup "malas" untuk tidak merusak, tetapi cukup "aktif" untuk memulihkan seperti irama alam itu sendiri yang bergerak dalam siklus dinamis antara pertumbuhan dan pemulihan.
Kesementaraan di dalam ruang dan waktu tidak hanya memengaruhi kenisbian manusia, juga berdampak terhadap apa yang dikerjakan, diciptakarsakan, dan dihasilkan oleh manusia. Manusia sebagai homo faber, makhluk pekerja pada saatnya harus menghentikan pekerjaan dan benar-benar berhenti dari pekerjaannya.
Usia produktif sebagai bonus demografi memang merupakan usia dominan yang dimiliki oleh manusia, selama empat puluh tahun dari usia 20 sampai 60, manusia menikmati masa keemasannya. Kendati demikian, dalam praktiknya hanya sekian persen saja usia produktif dimanfaatkan oleh manusia. Sisanya, karena watak alamiah dan memang telah disebutkan di dalam kitab suci, usia manusia lebih banyak dihabiskan untuk bersenda gurau dan sikap tidak produktif.
Kita sering terjebak dalam stigma negatif dengan menyebut "pangedulan" atau "manusia malas" pada mereka yang lebih banyak menghabiskan usia produktifnya untuk kegiatan nonproduktif, padahal justru dalam diam dan istirahat itulah tersimpan kekuatan regeneratif yang menyelamatkan manusia dari kehancuran diri. Penelitian neurosains modern membuktikan bahwa otak manusia mencapai puncak kreativitasnya justru saat berada dalam kondisi santai, ketika jaringan mode default (default mode network) aktif memproses informasi secara bawah sadar.
Dalam perspektif evolusi, nenek moyang kita mengembangkan mekanisme penghematan energi melalui istirahat sebagai strategi bertahan hidup di lingkungan yang keras dan penuh ketidakpastian. Budaya kerja modern yang memuja produktivitas tanpa henti telah melupakan kebijaksanaan kuno ini, terbukti dari epidemi burnout dan gangguan mental yang meningkat 300% sejak era revolusi industri menurut data WHO. Filsuf Jerman Josef Pieper dalam karyanya "Leisure: The Basis of Culture" menegaskan bahwa peradaban sejati justru lahir dari ruang-waktu yang dibebaskan dari kerja, saat manusia merenung, mencipta seni, atau sekadar menikmati keberadaannya.
Alam sendiri memberikan contoh sempurna, pohon mapel menghabiskan 60% waktunya dalam fase dorman (tidur) untuk bertahan di musim dingin, sementara gajah, hewan darat terkuat, tidur hanya 2 jam sehari tetapi menghabiskan 18 jam untuk aktivitas rendah energi. Terminal peristirahatan dalam hidup manusia, mulai dari tidur malam, liburan, hingga masa pensiun, bukanlah tanda kemalasan, melainkan siklus alamiah yang memungkinkan transformasi kesadaran dan penyembuhan sel-sel tubuh.
Masyarakat Sunda dengan konsep "reureuh" atau budaya Spanyol dengan "siesta”nya telah lama memahami bahwa produktivitas sejati bersifat siklis, bukan linear. Dalam dunia yang semakin terobsesi pada efisiensi, mungkin kita perlu belajar dari kungkang, hewan yang bergerak pelan tetapi telah bertahan 64 juta tahun, bahwa terkadang bertahan hidup bukan tentang seberapa banyak yang bisa kita kerjakan, tetapi seberapa baik kita bisa memulihkan diri.
Pada akhirnya, terminal peristirahatan itu adalah pintu gerbang menuju kebijaksanaan, di sana kita belajar bahwa menjadi "manusia" bukanlah tentang terus memproduksi, melainkan tentang keberanian untuk sesekali berhenti dan menyadari bahwa nilai hidup tidak diukur oleh output, tetapi oleh kedalaman keberadaan kita yang sementara ini.
Jika direnungkan secara mendalam, ada paradoks menarik dalam gagasan bahwa Bumi yang didominasi manusia "malas" mungkin akan tetap lestari seperti ribuan tahun silam, tanpa eksploitasi besar-besaran, deforestasi masif, atau kerusakan ekosistem yang kini mengancam masa depan planet.
Orang yang dianggap "malas" cenderung tidak memiliki dorongan untuk mengeksploitasi sumber daya secara berlebihan; mereka tidak akan membabat hutan untuk perkebunan monokultur, menambang hingga inti Bumi, atau menciptakan industri yang mengemisikan polusi dalam skala masif.
Dalam perspektif ekologi radikal, "kemalasan" semacam ini justru bisa menjadi bentuk resistensi pasif terhadap logika kapitalisme yang memuja pertumbuhan tanpa batas, seperti gerakan "slow living" atau konsep "degrowth" yang kini digaungkan para aktivis lingkungan.
Namun, di sisi lain, alam semesta sendiri bekerja berdasarkan prinsip dinamika konstan, planet-planet terus berotasi, lempeng tektonik bergerak, dan energi tak pernah benar-benar diam, sehingga manusia sebagai bagian dari sistem ini pun secara alami terpanggil untuk aktif berkontribusi pada jaringan kehidupan. Bayangkan jika Bumi berhenti bergerak hanya lima menit: gravitasi akan kacau, atmosfer lenyap, dan kehidupan musnah seketika, sebuah metafora tentang bagaimana keseimbangan antara aktivitas dan istirahat harus dijaga.
Persoalannya bukan pada "malas" versus "rajin", melainkan pada jenis aktivitas apa yang kita lakukan, aktivitas destruktif yang mengejar keuntungan jangka pendek, atau aktivitas regeneratif yang memulihkan Bumi. Sejarah menunjukkan bahwa banyak kerusakan lingkungan justru dilakukan oleh manusia "terlalu rajin" terlalu bersemangat membangun bendungan raksasa yang mengubah aliran sungai, terlalu giat menciptakan plastik yang tak terurai, atau terlalu getol mengeksploitasi sumber daya hingga titik kelelahan.
Mungkin solusinya terletak pada redefinisi "kemalasan" sebagai kecerdasan untuk menahan diri, seperti petani tradisional yang memahami waktu bera untuk memulihkan tanah, atau masyarakat adat yang meninggalkan hutan tak tersentuh karena dianggap keramat.
Dalam konteks krisis iklim saat ini, "kemalasan" yang bijak, dalam arti menolak logika eksploitasi, bisa menjadi senjata pamungkas untuk menyelamatkan biosfer, sementara "kerja keras" yang buta justru mengantar kita pada kehancuran. Pada akhirnya, Bumi membutuhkan manusia yang cukup "malas" untuk tidak merusak, tetapi cukup "aktif" untuk memulihkan seperti irama alam itu sendiri yang bergerak dalam siklus dinamis antara pertumbuhan dan pemulihan.
Posting Komentar untuk "Memahami Paradigma Pembangunan Kota Sukabumi: Prolog (4)"