Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80–90an (Bag 21)

Tahun 1991, lebar Jalan Santiong masih berukuran sekitar tiga meter. Lebar jalan ini hanya mampu dilalui oleh dua kendaraan roda empat jika berpapasan dalam waktu bersamaan, itupun jika dipaksakan. 

Meskipun wilayah ini masih menjadi bagian dari Kabupaten Sukabumi, jalan yang menghubungkan Cipanengah hingga Cipeujeuh telah diaspal. 

Bentuk perkampungan membentang mengikuti alur jalan, mengikuti bagian kiri-kanan, sebelum akhirnya mulai meluber ke wilayah persawahan di dekade-dekade berikutnya.

Hingga awal dekade 1990-an itu, masyarakat di sekitar perbatasan Tegallaya hingga Santiong sudah mulai menikmati kehadiran aliran listrik sejak sekitar tahun 1986. 

Bagi masyarakat perdesaan, listrik telah menjadi berkah yang menggantikan lampu teplok, obor, dan centir yang sebelumnya digunakan untuk penerangan. 

Meskipun demikian, beberapa peralatan rumah tangga seperti kompor masih mengandalkan minyak tanah, yang saat itu harganya sangat terjangkau.

Secara nasional, cadangan bahan bakar minyak pada masa itu masih dianggap cukup untuk ratusan tahun ke depan. Hal ini disebabkan rendahnya tingkat konsumsi, karena kendaraan bermotor belum dimiliki secara masif oleh masyarakat. 

Kebutuhan energi belum sepadat sekarang. Penggunaan listrik pun terbatas pada penerangan dan radio. Belum banyak keluarga yang memiliki televisi atau kulkas, serta alat elektronik lainnya.

Batas-batas perkampungan di masa itu masih tampak jelas. Di antara dua kampung, masih terdapat lahan kosong yang belum tersentuh bangunan. 

Ruang-ruang kosong inilah yang secara sosial dan ekologis memungkinkan masyarakat membentuk pola hidup yang lebih komunal, saling mengenal, dan memelihara nilai-nilai rempug jukung sauyunan. 

Tingkat polusi pun sangat rendah, memungkinkan hubungan manusia dan lingkungan berlangsung lebih harmonis.

Tak heran jika saat itu masyarakat, dari anak-anak hingga orangtua, begitu dekat dan akrab dengan alam. Potensi alam digunakan secara bijaksana, bukan dieksploitasi. 

Contoh sederhana, mereka tidak membuang sampah sembarangan. Belum ada aturan formal tentang larangan membuang sampah ke selokan, tetapi secara etis masyarakat justru memilih mengumpulkan daun-daun kering dan menumpuknya di pinggir jalan atau di pojokan halaman rumah.

Saya mengisahkan Jalan Santiong dan kebiasaan masyarakatnya karena keduanya sangat dekat dan berpengaruh dalam kehidupan saya. 

Ujian Madrasah Diniyah, misalnya, saya mengikutinya di MI Pangkalan, atau yang lebih dikenal sebagai Sekolah Agama Pak Ocih. 

Selain itu, saya dan teman-teman sering bermain ke daerah Santiong hanya untuk melihat Patung Naga di pemakaman Tionghoa. 

Kedekatan ini secara alami telah membentuk cara pandang saya terhadap hidup, ruang, pola, dan kenangan masa kecil.

Perubahan besar mulai terjadi setelah wilayah-wilayah seperti Cipanengah, Tegallaya, Santiong, Cikundul, hingga Cikeong menjadi bagian dari Kotamadya Sukabumi pada tahun 1996. 

Meskipun secara administratif baru dimasukkan ke dalam Peraturan Daerah pada tahun 2000, dampaknya telah terasa sejak proses transisi berlangsung. Pemerintah mulai fokus membangun infrastruktur dan mengembangkan kawasan.

Salah satu bentuk nyata pembangunan itu adalah pelebaran Jalan Santiong. Jalan yang dahulu sempit diperlebar menjadi dua jalur. 

Bagian tengah jalan kemudian dipasang pembatas yang dihiasi dengan berbagai jenis bunga dan tanaman hias. 

Perubahan fisik jalan ini bukan sekadar pembangunan infrastruktur, tetapi juga mengubah karakter wilayah dan cara masyarakat berinteraksi dengan ruang publik di sekitarnya.

Pembangunan jalan ini menandai babak baru dalam sejarah sosial wilayah tersebut. Dulu masyarakat berinteraksi di lapangan terbuka atau halaman rumah, kini mulai terbiasa dengan aktivitas yang lebih terstruktur dalam ruang-ruang yang dibentuk oleh beton dan aspal. 

Hubungan manusia dengan alam tak lagi seakrab dulu. Kebiasaan sederhana seperti duduk di bawah pohon atau berjalan santai menyusuri jalan kampung mulai terkikis.

Walakin, semua perubahan itu tetap menjadi bagian dari mozaik kenangan yang tak mungkin dihapus. Jalan Santiong, kampung-kampung sekitarnya, dan masyarakat yang dahulu hidup bersahaja tetap hidup dalam ingatan saya. 

Karena itulah, menulis tentang kenangan ini bukan sekadar bernostalgia, tetapi juga sebagai pengingat bahwa segala sesuatu di dunia ini terus bergerak, dan kenanganlah yang membantu kita tetap berpijak dalam pusaran perubahan.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80–90an (Bag 21)"