Menyusuri Jejak Waktu: Antara Barcelona, Hologram, dan Kesementaraan Hidup

Rasanya baru kemarin, saya duduk di ruang tamu bersama teman-teman, mata terpaku ke layar televisi, menyaksikan pertandingan final Champions League tahun 2011 antara Barcelona dan Manchester United. Dini hari itu, Lionel Messi mengukuhkan dirinya sebagai ikon dunia sepakbola, dan Barcelona tampil superior dengan permainan tiki-taka yang menghipnotis dunia. Tak terasa, sudah 14 tahun berlalu sejak malam itu. Ternyata, waktu memang tidak mau menunggu, ia terus melaju bahkan saat kita merasa sedang diam di tempat.

Empat belas tahun bukanlah waktu sebentar. Dalam rentang itu, kita telah melewati tiga kali Pemilu Legislatif dan Pilpres; tahun 2014, 2019, dan 2024 juga tiga kali Pilkada; tahun 2013, 2018, dan 2024. Artinya, waktu berjalan seiring dengan perubahan besar dalam politik, teknologi, dan kehidupan sosial kita. Dari euforia politik hingga gegap gempita pertandingan sepakbola, semua kini terasa seperti cerita lama yang mulai pudar dari ingatan.

Saya menulis ini bukan hanya karena pernah menjadi penggemar Barcelona, tapi karena tiba-tiba tersadar: diri kita sangat rapuh, dan kehidupan ini perlahan keropos. Kita hidup di antara momen-momen yang silih berganti, lalu tenggelam tanpa jejak. Begitu banyak pemikir besar dan kitab-kitab suci yang mengangkat tema tentang kefanaan dunia. Barangkali, memang itulah esensi kehidupan: kesementaraan.

Bisa jadi, sepuluh atau dua puluh tahun mendatang, kita tidak lebih dari sebaris nama dalam silsilah keluarga dan nisan pusara. Anak cucu kita mungkin mengenang kita dalam obrolan singkat saat kumpul keluarga, atau lewat foto usang yang terselip di album digital. Itu pun kalau mereka sempat membuka dan membacanya. Waktu akan terus menggerus, bahkan kenangan pun pelan-pelan bisa memudar.

Fisikawan modern pernah menyebut bahwa kehidupan ini tak lebih dari seberkas hologram. Bagi orang kampung, mungkin cukup menyebutnya sebagai fatamorgana. Sementara itu, dunia hiburan menyebutnya dengan lirik: “dunia ini hanyalah tipu-tipu.” Ketiganya sebenarnya menggambarkan satu hal yang sama bahwa hidup ini sementara, tidak bisa sepenuhnya digenggam, dan tidak ada yang benar-benar abadi.

Dalam bahasa Sunda, kita mengenalnya dengan istilah "sakedet netra", sekejap mata. Satu kedipan mata, dan waktu telah beranjak jauh dari titik kita berdiri sekarang. Kita sering menganggap hari ini akan bertahan lebih lama, namun ternyata ia segera menjadi masa lalu. Bahkan saat kita mengabadikan momen dengan foto atau video, yang tersisa hanyalah representasi semu, bukan pengalaman itu sendiri.

Kita mengenang kisah kemasyhuran leluhur dari buku sejarah dan cerita turun-temurun. Suatu saat nanti, kita pun akan menjadi bagian dari narasi itu. Barangkali kita akan menjadi tokoh figuran dalam cerita cucu kita di sekolah, atau menjadi nama jalan di gang kecil, jika beruntung. Tapi mayoritas dari kita akan lenyap, hanya menyisakan jejak samar.

Karena hidup ini seperti hologram, terkadang kita merasa sudah berada "di sini", padahal kenyataannya kita terus bergerak tanpa sadar. Generasi X dan Y telah menyaksikan dua orde besar: transisi dari Orde Baru ke Reformasi, dan dari abad ke-20 ke abad ke-21. Kita telah hidup di ujung milenium pertama dan memulai awal milenium kedua. Itu seharusnya menjadi pengingat betapa panjangnya perjalanan waktu, meski terasa sangat singkat.

Kita menyaksikan pergeseran teknologi dari telepon berkabel ke ponsel genggam, dari telepon lipat ke ponsel pintar, dari SMS ke aplikasi pesan instan. Kita mengalami masa ketika permainan dilakukan di halaman rumah, lalu berpindah ke layar gadget dengan game daring. Semua itu terjadi dalam hidup kita dan itu pun akan segera usang.

Namun sayangnya, tidak semua dari kita sempat berhenti dan merenung tentang makna semua itu. Kita terjebak dalam rutinitas, dalam ambisi, dan dalam kebanggaan akan pencapaian diri. Padahal, jika dibandingkan dengan luasnya semesta, keberadaan kita tak lebih dari debu kosmik yang tak dikenali. Kita mungkin penting bagi diri sendiri, tapi tidak ada yang benar-benar memerlukan kita untuk alam semesta terus berjalan.

Tanpa kehadiran manusia, bumi akan tetap berputar. Gunung tetap berdiri, sungai tetap mengalir, dan bintang tetap bersinar. Mungkin tanpa kita, bumi malah akan lebih tenang, tanpa pencemaran, konflik, atau kerusakan ekologis. Kita sering menganggap diri sebagai pusat alam semesta, padahal kita hanyalah bagian kecil yang bisa saja diganti.

Walakin, dengan kesadaran akan kefanaan itulah, kita bisa menghargai hidup. Ketika kita tahu bahwa semuanya akan hilang, kita terdorong untuk memberikan makna pada setiap detik yang kita jalani. Kita belajar untuk tidak menunda kebaikan, tidak menahan kasih sayang, dan tidak menutup mata terhadap keindahan yang hadir setiap hari.

Mungkin itulah yang membuat momen seperti final Champions League 2011 begitu membekas. Bukan hanya karena permainannya yang indah, tapi karena ia tertangkap di satu waktu ketika kita sedang benar-benar hidup dan sadar. Saat kita duduk, tertawa, berdebar, dan menikmati hidup, lalu menyadari bahwa semua itu kini hanya kenangan.

Pada akhirnya, semua akan berlalu. Kita, mimpi kita, kebanggaan kita, dan bahkan luka kita. Yang tertinggal hanyalah kisah jika ada yang masih ingin menceritakannya. Maka selama kita masih bisa berbicara, mencintai, dan mengenang, mari kita isi hari-hari ini dengan sesuatu yang berarti. Karena seperti yang sering kita lupakan, waktu tidak pernah menunggu siapa pun. Waktu sedang mengantarkan kita menuju akhir.
Kang Warsa
Kang Warsa Sering menulis hal yang berhubungan dengan budaya, Bahasa, dan kasukabumian.

Posting Komentar untuk "Menyusuri Jejak Waktu: Antara Barcelona, Hologram, dan Kesementaraan Hidup"