Sejak kecil, saya kerap mendengar dalam ceramah-ceramah maupun obrolan sehari-hari bahwa Yahudi adalah bangsa pilihan Tuhan.
Pandangan tersebut tampak diperkuat oleh sejumlah fakta kontemporer, seperti dominasi tokoh-tokoh Yahudi dalam perolehan Hadiah Nobel yang konon mencapai 22% dari total penerima.
Ditambah lagi dengan narasi religius bahwa sebagian besar nabi dan rasul yang diimani tiga agama besar dunia: Islam, Kristen, dan Yahudi, berasal dari kalangan Bani Israel.
Namun bagi saya, pandangan ini tidak sepenuhnya dapat diterima begitu saja. Perspektif sejarah dan peradaban manusia seharusnya dipahami secara utuh melalui pergerakan waktu, linimasa dan konteksnya.
Sayangnya, kita sering terjebak dalam potret sejarah yang seolah membekukan suatu momen sebagai satu-satunya kebenaran mutlak.
Era ini, Yahudi terlihat menguasai banyak sektor penting dunia, termasuk media sosial yang kita gunakan setiap hari.
Namun, kemampuan individu dalam menciptakan layanan digital global tidak serta-merta bisa dikaitkan dengan latar belakang etnis atau agama mereka.
Sama kelirunya dengan menganggap seseorang malas hanya karena ia keturunan Sunda, itu jelas bentuk generalisasi yang salah kaprah.
Secara historis, Bangsa Yahudi tidak selalu berada di puncak. Mereka pernah diperbudak oleh Bangsa Mesir Kuno dan menjalani kehidupan nomaden tanpa tanah air yang tetap.
Ketika sempat mendiami wilayah Yerusalem Kuno, tempat yang dulunya dipersembahkan bagi Dewa Shalem oleh orang-orang Kanaan, mereka kembali mengalami penindasan oleh penduduk asli wilayah tersebut.
Diaspora Bangsa Israel adalah perjalanan panjang yang telah berlangsung selama ribuan tahun, bahkan beberapa klan Yahudi tercatat pernah menetap di Yatsrib (sekarang Madinah).
Interaksi Nabi Muhammad dengan klan Yahudi di Madinah menjadi bagian penting dari narasi sejarah. Saat itu, penyebutan Yahudi sebagai bangsa terpilih lebih merupakan bentuk etika komunikasi dan penghormatan, bukan pengakuan mutlak atas superioritas mereka.
Al-Qur’an, sebagai pedoman moral, memuat banyak contoh komunikasi santun seperti ini.
Dalam kehidupan kita pun, ucapan seperti “Kamu memang hebat!” seringkali hanya bentuk apresiasi, bukan penilaian absolut.
Maka, penyebutan kehormatan kepada Yahudi kala itu lebih bisa dilihat sebagai sikap Nabi Muhammad terhadap sesama rumpun keturunan Nabi Ibrahim, bukan legitimasi keunggulan rasial.
Fakta lain yang jarang dikaji secara mendalam adalah bahwa sejarah Bangsa Isarael juga dipenuhi penderitaan. Hingga abad ke-19, di mana pun mereka berada, mereka hampir selalu menjadi objek diskriminasi dan pengucilan. Salah satu contohnya adalah tragedi Wabah Hitam di abad ke-14.
Bangsa Eropa kala itu menyalahkan kehadiran Yahudi sebagai penyebab kutukan Tuhan, hingga berujung pada pogrom, pengusiran, dan pembakaran permukiman Yahudi (getto).
Ironisnya, tanpa tragedi-tragedi semacam itu, Eropa yang dingin dan beku mungkin saja menjadi tanah pemukiman tetap Yahudi, sebagaimana yang kini terjadi di Palestina.
Pandangan Eropa terhadap Yahudi sebagai ancaman tak pernah benar-benar pudar. Eksodus besar-besaran bangsa Yahudi pasca-Perang Dunia I dan II, seringkali dianggap sebagai bentuk penindasan, ternyata juga merupakan skenario politik untuk memindahkan populasi yang dianggap mengganggu dari daratan Eropa ke wilayah yang disebut “Tanah yang Dijanjikan.”
Ini sekaligus menghidupkan kembali narasi eksodus kedua ke Yerusalem, seperti yang terjadi tiga ribu tahun sebelumnya. Eropa pun mendukung proses ini, sebab mereka melihat perpindahan Yahudi ke Timur Tengah sebagai solusi dari "masalah" internal mereka sendiri.
Maka, dari titik mana kita bisa menerima klaim bahwa suatu bangsa memiliki posisi paling tinggi di antara umat manusia? Rasanya tidak masuk akal.
Sama kelirunya ketika seseorang merasa lebih unggul karena berasal dari keturunan Nabi atau dari etnis tertentu.
Dunia ini berjalan berdasarkan hukum-hukum alam, siapa yang bekerja, memaksimalkan potensi, mendapat dukungan, dan memperoleh pengakuan, dialah yang berhasil.
Keberhasilan tidak ditentukan oleh preferensi keyakinan, ras, atau darah keturunan, tetapi oleh usaha nyata di dunia ini.
Kehidupan manusia tidak hanya dimulai hari ini. Ia merupakan hasil proses panjang, sejak bumi menyelesaikan siklus evolusinya dalam miliaran tahun.
Pandangan tersebut tampak diperkuat oleh sejumlah fakta kontemporer, seperti dominasi tokoh-tokoh Yahudi dalam perolehan Hadiah Nobel yang konon mencapai 22% dari total penerima.
Ditambah lagi dengan narasi religius bahwa sebagian besar nabi dan rasul yang diimani tiga agama besar dunia: Islam, Kristen, dan Yahudi, berasal dari kalangan Bani Israel.
Namun bagi saya, pandangan ini tidak sepenuhnya dapat diterima begitu saja. Perspektif sejarah dan peradaban manusia seharusnya dipahami secara utuh melalui pergerakan waktu, linimasa dan konteksnya.
Sayangnya, kita sering terjebak dalam potret sejarah yang seolah membekukan suatu momen sebagai satu-satunya kebenaran mutlak.
Era ini, Yahudi terlihat menguasai banyak sektor penting dunia, termasuk media sosial yang kita gunakan setiap hari.
Namun, kemampuan individu dalam menciptakan layanan digital global tidak serta-merta bisa dikaitkan dengan latar belakang etnis atau agama mereka.
Sama kelirunya dengan menganggap seseorang malas hanya karena ia keturunan Sunda, itu jelas bentuk generalisasi yang salah kaprah.
Secara historis, Bangsa Yahudi tidak selalu berada di puncak. Mereka pernah diperbudak oleh Bangsa Mesir Kuno dan menjalani kehidupan nomaden tanpa tanah air yang tetap.
Ketika sempat mendiami wilayah Yerusalem Kuno, tempat yang dulunya dipersembahkan bagi Dewa Shalem oleh orang-orang Kanaan, mereka kembali mengalami penindasan oleh penduduk asli wilayah tersebut.
Diaspora Bangsa Israel adalah perjalanan panjang yang telah berlangsung selama ribuan tahun, bahkan beberapa klan Yahudi tercatat pernah menetap di Yatsrib (sekarang Madinah).
Interaksi Nabi Muhammad dengan klan Yahudi di Madinah menjadi bagian penting dari narasi sejarah. Saat itu, penyebutan Yahudi sebagai bangsa terpilih lebih merupakan bentuk etika komunikasi dan penghormatan, bukan pengakuan mutlak atas superioritas mereka.
Al-Qur’an, sebagai pedoman moral, memuat banyak contoh komunikasi santun seperti ini.
Dalam kehidupan kita pun, ucapan seperti “Kamu memang hebat!” seringkali hanya bentuk apresiasi, bukan penilaian absolut.
Maka, penyebutan kehormatan kepada Yahudi kala itu lebih bisa dilihat sebagai sikap Nabi Muhammad terhadap sesama rumpun keturunan Nabi Ibrahim, bukan legitimasi keunggulan rasial.
Fakta lain yang jarang dikaji secara mendalam adalah bahwa sejarah Bangsa Isarael juga dipenuhi penderitaan. Hingga abad ke-19, di mana pun mereka berada, mereka hampir selalu menjadi objek diskriminasi dan pengucilan. Salah satu contohnya adalah tragedi Wabah Hitam di abad ke-14.
Bangsa Eropa kala itu menyalahkan kehadiran Yahudi sebagai penyebab kutukan Tuhan, hingga berujung pada pogrom, pengusiran, dan pembakaran permukiman Yahudi (getto).
Ironisnya, tanpa tragedi-tragedi semacam itu, Eropa yang dingin dan beku mungkin saja menjadi tanah pemukiman tetap Yahudi, sebagaimana yang kini terjadi di Palestina.
Pandangan Eropa terhadap Yahudi sebagai ancaman tak pernah benar-benar pudar. Eksodus besar-besaran bangsa Yahudi pasca-Perang Dunia I dan II, seringkali dianggap sebagai bentuk penindasan, ternyata juga merupakan skenario politik untuk memindahkan populasi yang dianggap mengganggu dari daratan Eropa ke wilayah yang disebut “Tanah yang Dijanjikan.”
Ini sekaligus menghidupkan kembali narasi eksodus kedua ke Yerusalem, seperti yang terjadi tiga ribu tahun sebelumnya. Eropa pun mendukung proses ini, sebab mereka melihat perpindahan Yahudi ke Timur Tengah sebagai solusi dari "masalah" internal mereka sendiri.
Maka, dari titik mana kita bisa menerima klaim bahwa suatu bangsa memiliki posisi paling tinggi di antara umat manusia? Rasanya tidak masuk akal.
Sama kelirunya ketika seseorang merasa lebih unggul karena berasal dari keturunan Nabi atau dari etnis tertentu.
Dunia ini berjalan berdasarkan hukum-hukum alam, siapa yang bekerja, memaksimalkan potensi, mendapat dukungan, dan memperoleh pengakuan, dialah yang berhasil.
Keberhasilan tidak ditentukan oleh preferensi keyakinan, ras, atau darah keturunan, tetapi oleh usaha nyata di dunia ini.
Kehidupan manusia tidak hanya dimulai hari ini. Ia merupakan hasil proses panjang, sejak bumi menyelesaikan siklus evolusinya dalam miliaran tahun.
Bahkan pemahaman kita terhadap sejarah masih sangat terbatas, karena ratusan misteri belum mampu dijelaskan oleh manusia.
Dalam dimensi lain, bisa saja muncul klaim sebaliknya, bahwa orang Sunda adalah bangsa pilihan Tuhan, misalnya. Semua itu hanya konstruksi dari pengalaman dan pengamatan lahiriah kita yang terbatas.
Singkat kata, tidak ada bangsa yang secara kodrati ditakdirkan sebagai yang paling unggul.
Dalam dimensi lain, bisa saja muncul klaim sebaliknya, bahwa orang Sunda adalah bangsa pilihan Tuhan, misalnya. Semua itu hanya konstruksi dari pengalaman dan pengamatan lahiriah kita yang terbatas.
Singkat kata, tidak ada bangsa yang secara kodrati ditakdirkan sebagai yang paling unggul.
Hanya manusia-manusia yang mengolah dirinya dengan sungguh-sungguhlah yang akan sampai pada puncak keberhasilan, siapa pun mereka dan dari mana pun asalnya.
Posting Komentar untuk "Klaim Sebagai Bangsa Pilihan"