Sejak dulu, orang-orang di Kabupaten Sukabumi memiliki akses yang sama untuk bersekolah di kota, terutama pada jenjang SLTP dan SLTA. Namun, persaingan untuk dapat diterima di SMP, SMA, dan STM Negeri kala itu cukup ketat.
Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab sistem penerimaan siswa baru pada era tersebut sepenuhnya didasarkan pada Nilai Ebtanas Murni (NEM), bukan menggunakan indikator jarak, zonasi, atau domisili seperti yang berlaku di era sekarang.
Pemerintah Orde Baru menerapkan sistem NEM ini dengan keyakinan penuh akan objektivitasnya. Mengingat anak-anak akan memasuki jenjang pendidikan selanjutnya, maka indikator penerimaan harus terukur dan tepat.
Artinya, rata-rata NEM yang harus diraih oleh seorang anak di bidang akademik idealnya harus bernilai 8 hingga 9 pada setiap mata pelajaran yang diujikan dalam EBTANAS.
Format ujian nasional dalam bentuk EBTANAS kala itu juga dinilai sangat efektif dan objektif. Para siswa di era 80-90an sama sekali tidak mengenal praktik "pengatrolan" atau peninggian nilai, hanya demi alasan agar dapat diterima di sekolah tujuan.
Praktik curang dan culas dapat dieliminasi oleh setiap sekolah, yang notabene para gurunya masih memegang teguh nurani dan integritas dalam menjalankan tugas.
Lebih dari itu, setiap anak yang berhasil diterima di salah satu sekolah negeri di masa itu dipandang sebagai duta atau delegasi dari sekolah asalnya.
Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab sistem penerimaan siswa baru pada era tersebut sepenuhnya didasarkan pada Nilai Ebtanas Murni (NEM), bukan menggunakan indikator jarak, zonasi, atau domisili seperti yang berlaku di era sekarang.
Pemerintah Orde Baru menerapkan sistem NEM ini dengan keyakinan penuh akan objektivitasnya. Mengingat anak-anak akan memasuki jenjang pendidikan selanjutnya, maka indikator penerimaan harus terukur dan tepat.
Artinya, rata-rata NEM yang harus diraih oleh seorang anak di bidang akademik idealnya harus bernilai 8 hingga 9 pada setiap mata pelajaran yang diujikan dalam EBTANAS.
Format ujian nasional dalam bentuk EBTANAS kala itu juga dinilai sangat efektif dan objektif. Para siswa di era 80-90an sama sekali tidak mengenal praktik "pengatrolan" atau peninggian nilai, hanya demi alasan agar dapat diterima di sekolah tujuan.
Praktik curang dan culas dapat dieliminasi oleh setiap sekolah, yang notabene para gurunya masih memegang teguh nurani dan integritas dalam menjalankan tugas.
Lebih dari itu, setiap anak yang berhasil diterima di salah satu sekolah negeri di masa itu dipandang sebagai duta atau delegasi dari sekolah asalnya.
Oleh karena itu, pihak sekolah asal sudah pasti akan merekomendasikan anak-anak pilihannya, bukan hanya mengirimkan siswa tanpa pertimbangan yang matang, yang pada akhirnya justru dapat mempermalukan nama baik sekolah asal mereka.
Pandangan dan praktik semacam ini, sayangnya, seolah telah tercerabut dari nurani pendidikan di masa sekarang.
Pandangan dan praktik semacam ini, sayangnya, seolah telah tercerabut dari nurani pendidikan di masa sekarang.
Kita menyaksikan fenomena di mana dari mulai siswa hingga orangtua seolah hanya memikirkan bagaimana caranya agar sang anak dapat diterima di sekolah tujuan.
Ini sungguh ironis dan kontradiktif dengan tujuan mulia pendidikan, yaitu memanusiakan manusia dan memupuk nilai-nilai kejujuran.
Munculnya sikap sportif dari dalam diri guru dan siswa di masa itu memang disebabkan juga oleh keterukuran sistem pendidikan nasional.
Munculnya sikap sportif dari dalam diri guru dan siswa di masa itu memang disebabkan juga oleh keterukuran sistem pendidikan nasional.
Orang modern seperti sekarang mungkin saja beralasan bahwa metode penilaian akademik semata dapat memarginalkan siswa-siswa yang berprestasi di bidang tertentu, seperti non-akademik. Ini terjadi karena di masa lalu negara kita tidak memiliki jenis pendidikan gymnasium di tingkat dasar.
Kita memang hanya memiliki SGO atau Sekolah Guru Olahraga di tingkat atas, itupun untuk mencetak para guru olahraga, bukan ditujukan untuk mencetak siswa berprestasi di bidang olahraga dan seni.
Kita memang hanya memiliki SGO atau Sekolah Guru Olahraga di tingkat atas, itupun untuk mencetak para guru olahraga, bukan ditujukan untuk mencetak siswa berprestasi di bidang olahraga dan seni.
Kelemahan ini masih terasa hingga saat ini, di mana kita pada akhirnya mencampuradukkan berbagai jenis kecerdasan. Seorang anak yang cerdas secara akademik di bidang matematika, misalnya, disatukan dalam satu kelas dengan juara lari dan atletik. Maka pola dan metode pengajaran pun kerap tampak canggung.
Namun, hal yang paling penting dari pendidikan adalah bagaimana menciptakan iklim dan nuansa kejujuran. Bukan sekadar fokus pada keinginan dan hasrat hanya karena anak ingin diterima di sekolah yang mereka pandang unggulan.
Namun, hal yang paling penting dari pendidikan adalah bagaimana menciptakan iklim dan nuansa kejujuran. Bukan sekadar fokus pada keinginan dan hasrat hanya karena anak ingin diterima di sekolah yang mereka pandang unggulan.
Jika kejujuran terabaikan, seleksi alamiah pada akhirnya tidak akan terjadi di dalam kehidupan, dan iklim sosial pun akan dipenuhi oleh manusia-manusia yang menghalalkan berbagai macam cara, trik, dan intrik yang mengaburkan nilai-nilai kejujuran yang esensial.
Anehnya, kenyataan semacam ini kini harus dihadapi oleh generasi X dan Y, yang sebagian besar telah memiliki anak.
Anehnya, kenyataan semacam ini kini harus dihadapi oleh generasi X dan Y, yang sebagian besar telah memiliki anak.
Padahal, munculnya situasi semacam ini seharusnya menjadi momentum aplikatif bagi generasi 80-90an untuk mempraktikkan pengalaman berharga yang mereka terima saat masih mengenyam pendidikan.
Bukan malah tercebur dan menyeburkan diri pada sikap-sikap yang terjadi saat ini, hanya karena dorongan rasa empati kepada anak, tetapi mengabaikan sikap ksatria yang perlu ditanamkan.
Saya pribadi, saat duduk di bangku SMA, memiliki banyak teman dari tempat-tempat terjauh di Kabupaten Sukabumi, seperti Pajampangan.
Saya pribadi, saat duduk di bangku SMA, memiliki banyak teman dari tempat-tempat terjauh di Kabupaten Sukabumi, seperti Pajampangan.
Kami bertukar pengalaman pada bidang-bidang tertentu, termasuk tradisi rural pedesaan dengan etika urban perkotaan.
Setiap kelas dipenuhi oleh delegasi atau utusan dari berbagai sekolah dan kampung, dengan latar belakang dan karakter berbeda, namun semuanya unggul di bidang akademik.
Proses alamiah yang dapat meningkatkan pendidikan ini, seleksi ketat ini telah memunculkan sikap benar-benar peduli terhadap pendidikan.
Proses alamiah yang dapat meningkatkan pendidikan ini, seleksi ketat ini telah memunculkan sikap benar-benar peduli terhadap pendidikan.
Rata-rata siswa usia SMP di masa itu sudah pasti hafal benar perkalian 1-10, dan menguasai sistem aritmatika sederhana.
Posting Komentar untuk "Sepanjang Jalan Kenangan: Sukabumi Tahun 80-90an (Bag 24)"