Kemarin saya terjebak di kantor sampai pukul 17.00 WIB. Bukan karena pekerjaan yang menumpuk, melainkan karena dua peristiwa penting yang patut dicatat dan direnungkan. Pertama, aksi unjuk rasa mahasiswa yang menyampaikan sejumlah tuntutan terkait 100 hari kerja Wali Kota dan Wakil Wali Kota Sukabumi.
Mereka datang menyuarakan idealisme. Dalam pandangan saya, unjuk rasa seperti ini adalah hal yang wajar dalam era demokrasi. Bahkan bisa dibilang, ia adalah bagian tak terpisahkan dari napas reformasi.
Bukankah kita sampai di titik ini, dengan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat, bukan ditunjuk oleh pusat lagi, juga berkat gelombang unjuk rasa mahasiswa pada tahun 1998? Maka ketika mahasiswa menyuarakan kritik hari ini, itu bukan ancaman, melainkan pengingat bahwa demokrasi harus terus hidup dan dijaga.
Peristiwa kedua terjadi dalam bentuk yang lebih laten tapi tidak kalah dalam bobot makna. Usai salat ashar, saya berbincang bersama Pak Suhendar, Bu Ochi, dan Bu Esti. Obrolan ngalor-ngidul kami berlanjut hingga lewat jam kerja.
Biasanya pukul 16.00 WIB kami sudah mengisi presensi pulang, tapi sore itu tak satu pun dari kami beranjak. Bukan karena kewajiban pekerjaan atau rasa tanggung jawab yang menahan kami, melainkan rasa sungkan untuk menjadi yang pertama meninggalkan ruangan.
Sebuah sikap sosial yang sering hadir dalam budaya kita: bukan hanya tentang siapa atasan dan siapa staf, tapi tentang norma dan etika yang menahan langkah kita lebih kuat dari aturan formal.
Saya teringat satu contoh klasik: ketika empat orang duduk bersama di meja dan menyisakan satu buah pisang goreng. Tak ada yang berani mengambilnya terlebih dahulu, walau mungkin semuanya ingin. Kita diam, saling menunggu, hingga akhirnya satu orang memberanikan diri mengambil, lalu yang lainnya ikut menyusul dalam waktu bersamaan.
Ini bukan soal lapar, bukan soal kejujuran, melainkan rasa hormat yang begitu dalam terhadap yang lain. Bahkan ketika ingin pulang lebih dulu, kita berpikir: pamit adalah bentuk etika, tapi mendahului adalah bentuk rasa tidak enak. Maka kita bertahan dalam diam. Sopan santun jadi panglima.
Dalam rumah tangga pun demikian, terutama yang masih memegang tradisi lama, di sana kita diajarkan bahwa setinggi apa pun ilmu dan jabatan, tetap akan dinilai dari adab dan akhlak.
Kita juga sering mengalami hal ini: berada di suatu tempat, tapi merasa ingin segera ke tempat lain. Sejak kecil, saat liburan sekolah, kita merasa bosan di rumah dan berkata, “Kapan masuk sekolah lagi?” Tapi baru satu jam duduk di kelas, kita ingin cepat pulang.
Saat dewasa pun tak jauh berbeda. Di rumah kita ingin produktif, lalu bergegas ke kantor. Tapi saat di kantor, saat pekerjaan belum selesai, kita ingin buru-buru pulang. Dalam libur, kita rindu kesibukan. Dalam kesibukan, kita rindu rehat.
Ini bukan semata soal malas atau kurang bersyukur. Terkadang, kita tahu betul apa yang sedang kita kejar, hanya saja belum tahu bagaimana cara hadir utuh di waktu sekarang. Pikiran kita mudah terpaut ke tempat lain, membayangkan versi ideal dari suasana yang belum tentu lebih baik.
Kita merasa tertinggal dalam dunia yang bergerak cepat, dan karena itu, kita terus bergerak. Tapi dalam pergerakan itu, kita jarang betul-betul sampai. Bahkan ketika sampai, kita cepat bosan dan ingin pindah lagi.
Kita mengira mencari tempat, padahal bisa jadi yang kita kejar adalah rasa damai, tenang, berarti, atau bebas. Sayangnya, kita sering salah menebak letaknya. Kita bayangkan ia ada di luar sana, bukan di sini. Maka kita terus berpindah, tanpa pernah benar-benar hadir.
Sore itu mengajari, kadang kita tidak butuh tempat baru. Kita hanya butuh cara baru untuk memandang tempat yang sudah ada. Hadir di rumah sebagai tempat pulang, bukan sebagai pelarian dari kantor. Hadir di kantor sebagai ruang pengabdian, bukan sebagai penjara waktu. Karena bila tidak, ke mana pun kita pergi, rasa gelisah itu akan tetap ikut.
Kebebasan adalah saat kita bisa diam di satu tempat, dan tetap merasa utuh.
Mereka datang menyuarakan idealisme. Dalam pandangan saya, unjuk rasa seperti ini adalah hal yang wajar dalam era demokrasi. Bahkan bisa dibilang, ia adalah bagian tak terpisahkan dari napas reformasi.
Bukankah kita sampai di titik ini, dengan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat, bukan ditunjuk oleh pusat lagi, juga berkat gelombang unjuk rasa mahasiswa pada tahun 1998? Maka ketika mahasiswa menyuarakan kritik hari ini, itu bukan ancaman, melainkan pengingat bahwa demokrasi harus terus hidup dan dijaga.
Peristiwa kedua terjadi dalam bentuk yang lebih laten tapi tidak kalah dalam bobot makna. Usai salat ashar, saya berbincang bersama Pak Suhendar, Bu Ochi, dan Bu Esti. Obrolan ngalor-ngidul kami berlanjut hingga lewat jam kerja.
Biasanya pukul 16.00 WIB kami sudah mengisi presensi pulang, tapi sore itu tak satu pun dari kami beranjak. Bukan karena kewajiban pekerjaan atau rasa tanggung jawab yang menahan kami, melainkan rasa sungkan untuk menjadi yang pertama meninggalkan ruangan.
Sebuah sikap sosial yang sering hadir dalam budaya kita: bukan hanya tentang siapa atasan dan siapa staf, tapi tentang norma dan etika yang menahan langkah kita lebih kuat dari aturan formal.
Saya teringat satu contoh klasik: ketika empat orang duduk bersama di meja dan menyisakan satu buah pisang goreng. Tak ada yang berani mengambilnya terlebih dahulu, walau mungkin semuanya ingin. Kita diam, saling menunggu, hingga akhirnya satu orang memberanikan diri mengambil, lalu yang lainnya ikut menyusul dalam waktu bersamaan.
Ini bukan soal lapar, bukan soal kejujuran, melainkan rasa hormat yang begitu dalam terhadap yang lain. Bahkan ketika ingin pulang lebih dulu, kita berpikir: pamit adalah bentuk etika, tapi mendahului adalah bentuk rasa tidak enak. Maka kita bertahan dalam diam. Sopan santun jadi panglima.
Dalam rumah tangga pun demikian, terutama yang masih memegang tradisi lama, di sana kita diajarkan bahwa setinggi apa pun ilmu dan jabatan, tetap akan dinilai dari adab dan akhlak.
Kita juga sering mengalami hal ini: berada di suatu tempat, tapi merasa ingin segera ke tempat lain. Sejak kecil, saat liburan sekolah, kita merasa bosan di rumah dan berkata, “Kapan masuk sekolah lagi?” Tapi baru satu jam duduk di kelas, kita ingin cepat pulang.
Saat dewasa pun tak jauh berbeda. Di rumah kita ingin produktif, lalu bergegas ke kantor. Tapi saat di kantor, saat pekerjaan belum selesai, kita ingin buru-buru pulang. Dalam libur, kita rindu kesibukan. Dalam kesibukan, kita rindu rehat.
Ini bukan semata soal malas atau kurang bersyukur. Terkadang, kita tahu betul apa yang sedang kita kejar, hanya saja belum tahu bagaimana cara hadir utuh di waktu sekarang. Pikiran kita mudah terpaut ke tempat lain, membayangkan versi ideal dari suasana yang belum tentu lebih baik.
Kita merasa tertinggal dalam dunia yang bergerak cepat, dan karena itu, kita terus bergerak. Tapi dalam pergerakan itu, kita jarang betul-betul sampai. Bahkan ketika sampai, kita cepat bosan dan ingin pindah lagi.
Kita mengira mencari tempat, padahal bisa jadi yang kita kejar adalah rasa damai, tenang, berarti, atau bebas. Sayangnya, kita sering salah menebak letaknya. Kita bayangkan ia ada di luar sana, bukan di sini. Maka kita terus berpindah, tanpa pernah benar-benar hadir.
Sore itu mengajari, kadang kita tidak butuh tempat baru. Kita hanya butuh cara baru untuk memandang tempat yang sudah ada. Hadir di rumah sebagai tempat pulang, bukan sebagai pelarian dari kantor. Hadir di kantor sebagai ruang pengabdian, bukan sebagai penjara waktu. Karena bila tidak, ke mana pun kita pergi, rasa gelisah itu akan tetap ikut.
Kebebasan adalah saat kita bisa diam di satu tempat, dan tetap merasa utuh.
Posting Komentar untuk "Terjebak Rasa Sungkan Sampai Pukul Lima Sore di Kantor"