
Tahun 2015, meskipun saya sudah resmi menjadi penduduk Kota Sukabumi sejak 1997, tahun ketika Baros masuk ke dalam wilayah pemekaran Kotamadya Sukabumi, citra dan imaji tentang Kabupaten Sukabumi tetap melekat dalam diri saya. Ingatan-ingatan itu hadir begitu saja, dalam kilatan-kilatan kenangan.
Pada tahun 2015 tersebut, tanpa sengaja saya menemukan istilah baru yang diperkenalkan Pemerintah Kabupaten Sukabumi sebagai bentuk promosi sumber daya alam. Akronim itu adalah GURILAPS: Gunung, Rimba, Laut, Pantai, dan Sungai. Lima potensi alam ini dirangkum sebagai identitas kabupaten yang kaya, membentang luas bak hamparan permadani berhiaskan jamrud. Sukabumi seolah ditakdirkan menjadi miniatur Nusantara, sebuah anugerah yang diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum.
Kenangan masa kecil hingga remaja saya juga berakar kuat di wilayah kabupaten. Saat itu, kampung halaman saya, Balandongan, masih berada dalam naungan Kabupaten Sukabumi. Saya mengenal betul suasana sosial, kultural, hingga lanskap alamnya, meskipun pandangan saya kala itu masih terbingkai oleh pola pikir orde baru.
Balandongan dapat disebut sebagai wilayah penyangga, karena berbatasan langsung dengan Kotamadya Sukabumi. Sebagai daerah peri-urban, ia menampilkan wajah ganda: masih kental dengan budaya paguyuban desa, tetapi mulai disentuh oleh gaya hidup urban yang terus diperbaharui. Konsekuensinya, cara masyarakat memandang sumber daya alam pun perlahan berubah.
Jika di desa lahan terbuka hijau adalah ruang hidup, di wilayah penyangga mulai muncul pandangan baru: lahan adalah aset ekonomi yang bisa diperjualbelikan. Sawah atau kebun bisa dikonversi menjadi perumahan, atau hasil penjualannya berubah menjadi barang-barang modern sebagai pengisi hunian.
Fenomena ini menjelaskan mengapa banyak warga kota generasi X dan Y hanya mewarisi sebidang tanah yang sempit. Generasi sebelumnya sudah menjual atau mengonversi sebagian besar lahan. Alhasil, lahan yang dulunya luas dan bisa diwariskan lintas generasi, kini tergerus hingga hampir mustahil diwariskan kembali dalam bentuk tanah kepada generasi berikutnya.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apa korelasi antara ketersediaan lahan dengan kehidupan kita saat ini? Jawabannya sederhana: wilayah pinggiran kabupaten yang berbatasan dengan kota akan semakin padat. Konversi lahan yang terus berlangsung berarti semakin sempitnya ruang terbuka hijau.
Akibatnya, lambat laun lahan penyangga akan berubah menjadi pemukiman. Tanpa regulasi yang tepat, hal ini memunculkan dilema. Di satu sisi, manusia memang memerlukan hunian yang layak. Tetapi di sisi lain, manusia juga membutuhkan lahan produktif sebagai penopang ketahanan pangan.
Kondisi ini menempatkan kita pada situasi genting. Jika seluruh lahan habis dikonversi menjadi beton, lalu di mana lagi manusia akan bercocok tanam? Bagaimana kita bisa mengandalkan pasokan pangan jika setiap jengkal tanah dijadikan rumah dan jalan?
Di sinilah ironi itu hadir. Pada saat kita merasa telah membangun peradaban modern, sesungguhnya kita sedang mengikis daya hidup yang menopang peradaban itu sendiri. Rimba, salah satu unsur dalam GURILAPS, justru paling terancam oleh proses konversi lahan yang masif.
Penyusutan hutan berarti hilangnya paru-paru dunia. Dampaknya tidak hanya terasa secara lokal, tetapi juga berkontribusi terhadap perubahan iklim global. Kita boleh saja berdalih bahwa perubahan iklim bukan hanya ulah kita. Namun, perilaku konversi lahan yang tidak terkendali tetap memberi andil besar dalam kerusakan bumi.
Ironisnya, negara lain yang merasa terdampak justru melihat kita sebagai aktor penting. Mereka menaruh harapan agar bangsa ini menjaga sumber daya alam, karena mereka memahami bahwa keberlangsungan hidup di belahan bumi lain pun terkait dengan ekosistem di negeri ini.
Sayangnya, kepercayaan itu sering tidak kita sadari. Kita sibuk dengan urusan jangka pendek, sementara dampak ekologis jangka panjang diabaikan. Akibatnya, ketika bencana alam terjadi, kita cenderung menuding hujan atau fenomena alam lain, padahal sebagian besar merupakan konsekuensi dari perlakuan kita sendiri terhadap alam.
Hal ini juga ditegaskan oleh KDM dalam Sidang Paripurna DPRD Kabupaten Sukabumi pada peringatan hari jadi ke-155. Ia mengingatkan bahwa pembangunan Sukabumi harus dilakukan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan, pengelolaan sumber daya yang bijak, dan mencegah lahirnya petaka di masa depan.
Peringatan tersebut sangat beralasan. Aktivitas penambangan dan pengerukan batuan, misalnya, telah menimbulkan bencana berupa longsor atau banjir di berbagai titik. Semua ini bukan hanya disebabkan oleh intensitas hujan yang tinggi, tetapi juga oleh hilangnya penyangga alam yang dulunya menjaga keseimbangan.
Jika kita melihat lebih jernih, bencana yang terjadi belakangan ini tidak pernah terdengar di masa lalu. Dulu, curah hujan deras sekalipun tidak serta-merta menimbulkan banjir bandang. Perbedaan itu menunjukkan bahwa alam sesungguhnya sedang memberi respons atas perlakuan manusia.
Alam memberi apa yang kita tanamkan kepadanya. Jika kita memperlakukan alam dengan penuh keserakahan, maka yang kita panen adalah bencana. Sebaliknya, jika kita bersahabat dengan alam, ia akan menjadi penopang kehidupan yang setia.
Pidato KDM pada dasarnya adalah ajakan untuk kembali beretika dalam memperlakukan alam. Pembangunan sah-sah saja, tetapi harus selaras dengan lingkungan. Bukan dengan mengubah gunung menjadi gedung megah, atau menumbalkan vegetasi hanya demi menghadirkan hunian beton.
Kita perlu sadar bahwa keberlangsungan hidup tidak hanya ditentukan oleh modernitas, tetapi juga oleh kemampuan menjaga keseimbangan dengan alam. Sukabumi dengan potensi GURILAPS-nya akan tetap menjadi mutiara Nusantara hanya jika kita merawatnya bersama. Alam bukan warisan dari leluhur semata, melainkan titipan bagi generasi mendatang.
Posting Komentar untuk "Kembali ke Alam sebagai Penyangga Peradaban"