Saya sedang membaca salah satu buku karya Bertrand Russell berjudul Filosofi Hidup Bahagia. Dari awal, Russell menekankan bahwa tujuan manusia dalam berfilsafat sesungguhnya adalah menemukan kebahagiaan, atau dalam bahasa filsafat Yunani disebut ataraxia, yakni ketenangan jiwa yang mendalam. Namun, jalan menuju kebahagiaan itu tidaklah mudah, sebab selalu ada penghalang yang menyertainya.
Russell menegaskan bahwa tidak semua orang mampu mencapai kebahagiaan sejati. Hambatan-hambatan tertentu justru membuat manusia tersesat dalam pencarian kebahagiaan. Ia merinci tiga hal utama yang menjadi penyebab manusia gagal bahagia. Pertama adalah sikap selfish atau egoisme, kedua narsistik, dan ketiga keserakahan.
Egoisme, atau rasa bangga yang berlebihan terhadap diri sendiri, menjadi akar dari kebahagiaan semu. Orang egois sering merasa bahagia hanya karena dirinya sendiri sedang senang, tanpa peduli apakah orang lain juga merasakan kebahagiaan yang sama. Pola pikir ini menciptakan ruang sempit yang hanya menampung kebahagiaan pribadi, tetapi menutup pintu bagi kebahagiaan bersama.
Kebahagiaan yang lahir dari egoisme pada akhirnya rapuh. Russell melihat bahwa kebahagiaan semacam ini cepat atau lambat akan berubah menjadi malapetaka. Orang yang egois lambat laun akan ikut merasakan energi ketidakbahagiaan dari lingkungannya. Kebahagiaannya yang semula kokoh, perlahan terkikis oleh realitas bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa keterhubungan dengan orang lain.
Penghalang kedua adalah narsistik. Sikap ini lebih dari sekadar mencintai diri sendiri; ia menjelma menjadi pemujaan yang berlebihan terhadap diri. Bagi Russell, narsisme hanya akan melahirkan ketidakbahagiaan, sebab pusat hidup yang terlalu ditarik ke dalam diri akan membuat manusia kehilangan keseimbangan.
Seseorang yang narsistik hanya merasa bahagia ketika ia dipuji. Jika pujian hilang, maka ia akan mencari-cari cara untuk mengagungkan dirinya sendiri. Bahkan, ia bisa jatuh pada anggapan bahwa segala sesuatu terjadi semata-mata karena jerih payahnya sendiri. Pandangan ini, menurut Russell, bukan kebahagiaan, melainkan awal bencana batin.
Filsuf Romawi, Cicero, pernah berkata: Non nobis solum nati sumus, “Kita tidak dilahirkan hanya untuk diri kita sendiri.” Manusia, menurutnya, ditakdirkan hidup dalam kehangatan bersama, bukan hanya dalam penilaian diri sendiri.
Russell mengutip pandangan serupa untuk menegaskan bahwa narsisme menghalangi manusia merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya, karena kebahagiaan itu hanya tumbuh dalam keterhubungan dengan sesama.
Penghalang ketiga adalah keserakahan. Sejak manusia hadir dalam panggung sejarah, keserakahan selalu menjadi racun yang menghancurkan kebahagiaan. Orang yang serakah tidak mengenal kata cukup. Ia merasa bahagia jika bisa menguasai segalanya dengan prinsip yang salah kaprah: “satu untuk semua, semua untuk saya.”
Prinsip hidup seperti ini terbukti melahirkan tragedi dalam sejarah panjang umat manusia. Kekuasaan yang dibangun di atas keserakahan pada akhirnya berbalik menjadi petaka, baik bagi sang penguasa maupun bagi masyarakat luas. Kebahagiaan yang dicari melalui keserakahan ternyata hanya menghasilkan penderitaan dan kehancuran.
Russell ingin menunjukkan bahwa kebahagiaan dapat tumbuh ketika manusia mampu keluar dari jebakan diri sendiri, membuka diri pada orang lain, dan menumbuhkan cinta kasih yang tulus. Ataraxia, ketenangan batin yang dicari setiap orang, hanya mungkin hadir dalam kehidupan yang diisi dengan saling berbagi, memahami, dan menjauh dari dorongan nafsu sempit.
Russell menegaskan bahwa tidak semua orang mampu mencapai kebahagiaan sejati. Hambatan-hambatan tertentu justru membuat manusia tersesat dalam pencarian kebahagiaan. Ia merinci tiga hal utama yang menjadi penyebab manusia gagal bahagia. Pertama adalah sikap selfish atau egoisme, kedua narsistik, dan ketiga keserakahan.
Egoisme, atau rasa bangga yang berlebihan terhadap diri sendiri, menjadi akar dari kebahagiaan semu. Orang egois sering merasa bahagia hanya karena dirinya sendiri sedang senang, tanpa peduli apakah orang lain juga merasakan kebahagiaan yang sama. Pola pikir ini menciptakan ruang sempit yang hanya menampung kebahagiaan pribadi, tetapi menutup pintu bagi kebahagiaan bersama.
Kebahagiaan yang lahir dari egoisme pada akhirnya rapuh. Russell melihat bahwa kebahagiaan semacam ini cepat atau lambat akan berubah menjadi malapetaka. Orang yang egois lambat laun akan ikut merasakan energi ketidakbahagiaan dari lingkungannya. Kebahagiaannya yang semula kokoh, perlahan terkikis oleh realitas bahwa manusia tidak bisa hidup sendiri tanpa keterhubungan dengan orang lain.
Penghalang kedua adalah narsistik. Sikap ini lebih dari sekadar mencintai diri sendiri; ia menjelma menjadi pemujaan yang berlebihan terhadap diri. Bagi Russell, narsisme hanya akan melahirkan ketidakbahagiaan, sebab pusat hidup yang terlalu ditarik ke dalam diri akan membuat manusia kehilangan keseimbangan.
Seseorang yang narsistik hanya merasa bahagia ketika ia dipuji. Jika pujian hilang, maka ia akan mencari-cari cara untuk mengagungkan dirinya sendiri. Bahkan, ia bisa jatuh pada anggapan bahwa segala sesuatu terjadi semata-mata karena jerih payahnya sendiri. Pandangan ini, menurut Russell, bukan kebahagiaan, melainkan awal bencana batin.
Filsuf Romawi, Cicero, pernah berkata: Non nobis solum nati sumus, “Kita tidak dilahirkan hanya untuk diri kita sendiri.” Manusia, menurutnya, ditakdirkan hidup dalam kehangatan bersama, bukan hanya dalam penilaian diri sendiri.
Russell mengutip pandangan serupa untuk menegaskan bahwa narsisme menghalangi manusia merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya, karena kebahagiaan itu hanya tumbuh dalam keterhubungan dengan sesama.
Penghalang ketiga adalah keserakahan. Sejak manusia hadir dalam panggung sejarah, keserakahan selalu menjadi racun yang menghancurkan kebahagiaan. Orang yang serakah tidak mengenal kata cukup. Ia merasa bahagia jika bisa menguasai segalanya dengan prinsip yang salah kaprah: “satu untuk semua, semua untuk saya.”
Prinsip hidup seperti ini terbukti melahirkan tragedi dalam sejarah panjang umat manusia. Kekuasaan yang dibangun di atas keserakahan pada akhirnya berbalik menjadi petaka, baik bagi sang penguasa maupun bagi masyarakat luas. Kebahagiaan yang dicari melalui keserakahan ternyata hanya menghasilkan penderitaan dan kehancuran.
Russell ingin menunjukkan bahwa kebahagiaan dapat tumbuh ketika manusia mampu keluar dari jebakan diri sendiri, membuka diri pada orang lain, dan menumbuhkan cinta kasih yang tulus. Ataraxia, ketenangan batin yang dicari setiap orang, hanya mungkin hadir dalam kehidupan yang diisi dengan saling berbagi, memahami, dan menjauh dari dorongan nafsu sempit.
Posting Komentar untuk "Ketidakbahagiaan ala Russel"