Dua minggu terakhir ini, saya merasakan perubahan sikap dalam diri yang tidak biasanya: gerasak-gerusuk dan mudah hanyut dalam arus ingar-bingar perberkasan sebagai syarat pengangkatan PPPK Paruh Waktu.
Istri saya sempat menyinggung hal tersebut dengan senyum kecil dan berbisik, “Tidak seperti biasanya, kamu gerasak-gerusuk begitu, mudah mengikuti arus.”
Saya pun tersadar, mengapa harus terbawa aliran yang tidak semestinya saya ikuti? Namun, selalu ada celah untuk berdalih, apa yang saya lakukan ini hanyalah bentuk solidaritas kepada rekan-rekan pegawai pemerintah yang penuh semangat menempuh salah satu fase sebelum resmi diangkat menjadi pegawai negara.
Saya bukanlah tipe manusia yang masa bodoh dan tak acuh terhadap fenomena di sekitar. Hanya saja, saya melihat bahwa di negeri ini setiap peristiwa seolah mengikuti pola yang sulit diprediksi. Mustahil ada kepastian.
Bahkan dalam urusan paling krusial seperti Daftar Pemilih, pemutakhiran data bisa tiba-tiba berubah. Begitu pun di dunia kepegawaian, antara BKN dan BKPSDM di daerah semestinya ada kepastian jadwal unggah dokumen dan penempatan formasi. Namun yang terjadi justru imbauan mendesak mengirimkan dokumen via email.
Membaca surat semacam itu membuat saya tersenyum, karena polanya sama dengan pengisian DRH PPPK beberapa bulan lalu. Misalnya, saat BKN menyatakan dokumen Keterangan Sehat bisa dikeluarkan Puskesmas beberapa hari lalu, artinya badan kepegawaian di daerah tidak melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan BKN.
Di tengah situasi ini, teman-teman honorer memiliki sikap berbeda-beda, namun satu hal yang sama, sebaiknya kita - apalagi badan kepegawaian - menunggu arahan resmi dari pusat. Jangan terlalu banyak bermanuver dengan alasan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Apalagi dengan mengeluarkan pernyataan tanpa dasar, bahwa dokumen bisa dipakai nanti untuk persyaratan pengangkatan penuh waktu. Kenyataannya, untuk memenuhi biaya MCU (Medical Check-Up), banyak honorer yang meminjam uang ke saudara, teman, atau kerabat dekat.
Alasannya sederhana, mereka yang sudah puluhan tahun mengabdi ingin segera merasakan status sebagai abdi negara yang diperhatikan hak-haknya. Saya membayangkan, jika ada honorer yang sudah bekerja dua puluh tahun, sesungguhnya ia pantas duduk di posisi kasi atau sub-bagian, sama seperti mereka yang sudah lebih dulu diangkat sebagai ASN.
Saya sendiri telah bersentuhan dengan lembaga pemerintah sejak tahun 2000. Andai saja dulu pada masa pemerintahan SBY saya diangkat menjadi ASN, mungkin kini saya sudah menduduki jabatan setingkat Asisten Daerah.
Namun, kenyataannya lain. Saya diposisikan semesta sebagai seorang penulis, pengamat, dan pencatat peristiwa, tanpa harus melahirkan pretensi atau caci maki terhadap nasib. Tidak ada gunanya menggugat takdir. Saya percaya, jika saya berada di posisi ini, pasti ada maksud baik Tuhan yang sedang bekerja dalam hidup saya.
Kepada teman-teman honorer terdekat, saya sering berkata "jalani saja peran kita dengan tenang." Jalan cerita hidup adalah skenario Tuhan, dan tidak pernah meleset dari maksud-Nya.
Bahkan jika kelak pengangkatan PPPK paruh waktu atau penuh waktu tidak juga kita alami, tidak apa-apa. Dari sanalah kita belajar menerima cara semesta mengajari kita menempuh kehidupan.
Kita tidak perlu menginterupsi Tuhan dengan pertanyaan mengapa ada yang santai-santai sudah diangkat, sementara yang rajin dan setia belum juga diperhatikan negara.
Justru di situlah letak keseimbangan, keadilan hadir melalui diri kita yang tetap bekerja tanpa lelah meski belum diangkat.
Saya tidak sedang sok idealis, hanya meyakini bahwa kehidupan telah memilih kita dengan peran masing-masing, dan itu harus dijalani dengan lapang dada.
Istri saya sempat menyinggung hal tersebut dengan senyum kecil dan berbisik, “Tidak seperti biasanya, kamu gerasak-gerusuk begitu, mudah mengikuti arus.”
Saya pun tersadar, mengapa harus terbawa aliran yang tidak semestinya saya ikuti? Namun, selalu ada celah untuk berdalih, apa yang saya lakukan ini hanyalah bentuk solidaritas kepada rekan-rekan pegawai pemerintah yang penuh semangat menempuh salah satu fase sebelum resmi diangkat menjadi pegawai negara.
Saya bukanlah tipe manusia yang masa bodoh dan tak acuh terhadap fenomena di sekitar. Hanya saja, saya melihat bahwa di negeri ini setiap peristiwa seolah mengikuti pola yang sulit diprediksi. Mustahil ada kepastian.
Bahkan dalam urusan paling krusial seperti Daftar Pemilih, pemutakhiran data bisa tiba-tiba berubah. Begitu pun di dunia kepegawaian, antara BKN dan BKPSDM di daerah semestinya ada kepastian jadwal unggah dokumen dan penempatan formasi. Namun yang terjadi justru imbauan mendesak mengirimkan dokumen via email.
Membaca surat semacam itu membuat saya tersenyum, karena polanya sama dengan pengisian DRH PPPK beberapa bulan lalu. Misalnya, saat BKN menyatakan dokumen Keterangan Sehat bisa dikeluarkan Puskesmas beberapa hari lalu, artinya badan kepegawaian di daerah tidak melakukan koordinasi terlebih dahulu dengan BKN.
Di tengah situasi ini, teman-teman honorer memiliki sikap berbeda-beda, namun satu hal yang sama, sebaiknya kita - apalagi badan kepegawaian - menunggu arahan resmi dari pusat. Jangan terlalu banyak bermanuver dengan alasan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Apalagi dengan mengeluarkan pernyataan tanpa dasar, bahwa dokumen bisa dipakai nanti untuk persyaratan pengangkatan penuh waktu. Kenyataannya, untuk memenuhi biaya MCU (Medical Check-Up), banyak honorer yang meminjam uang ke saudara, teman, atau kerabat dekat.
Alasannya sederhana, mereka yang sudah puluhan tahun mengabdi ingin segera merasakan status sebagai abdi negara yang diperhatikan hak-haknya. Saya membayangkan, jika ada honorer yang sudah bekerja dua puluh tahun, sesungguhnya ia pantas duduk di posisi kasi atau sub-bagian, sama seperti mereka yang sudah lebih dulu diangkat sebagai ASN.
Saya sendiri telah bersentuhan dengan lembaga pemerintah sejak tahun 2000. Andai saja dulu pada masa pemerintahan SBY saya diangkat menjadi ASN, mungkin kini saya sudah menduduki jabatan setingkat Asisten Daerah.
Namun, kenyataannya lain. Saya diposisikan semesta sebagai seorang penulis, pengamat, dan pencatat peristiwa, tanpa harus melahirkan pretensi atau caci maki terhadap nasib. Tidak ada gunanya menggugat takdir. Saya percaya, jika saya berada di posisi ini, pasti ada maksud baik Tuhan yang sedang bekerja dalam hidup saya.
Kepada teman-teman honorer terdekat, saya sering berkata "jalani saja peran kita dengan tenang." Jalan cerita hidup adalah skenario Tuhan, dan tidak pernah meleset dari maksud-Nya.
Bahkan jika kelak pengangkatan PPPK paruh waktu atau penuh waktu tidak juga kita alami, tidak apa-apa. Dari sanalah kita belajar menerima cara semesta mengajari kita menempuh kehidupan.
Kita tidak perlu menginterupsi Tuhan dengan pertanyaan mengapa ada yang santai-santai sudah diangkat, sementara yang rajin dan setia belum juga diperhatikan negara.
Justru di situlah letak keseimbangan, keadilan hadir melalui diri kita yang tetap bekerja tanpa lelah meski belum diangkat.
Saya tidak sedang sok idealis, hanya meyakini bahwa kehidupan telah memilih kita dengan peran masing-masing, dan itu harus dijalani dengan lapang dada.
Posting Komentar untuk "Refleksi di Tengah Proses Pengangkatan PPPK Paruh Waktu"