Pada masa kepemimpinan Wali Kota Sukabumi Muslikh Abdussyukur, pada periode pertamanya, sempat dirintis sebuah upaya yang cukup visioner untuk mengelola limbah rumah tangga. Salah satu gagasannya adalah memanfaatkan peses atau kotoran manusia sebagai bahan baku gas. Ini sejalan dengan program konversi energi rumah tangga dari minyak tanah ke gas yang kala itu sedang didorong oleh pemerintah pusat.
Gagasan ini, secara teknis dan arah kebijakan, sangat progresif dan menyentuh isu penting perkotaan yaitu pengelolaan limbah yang berkelanjutan sekaligus menghadirkan alternatif sumber energi. Namun, sayangnya, gagasan besar itu tidak bisa tumbuh kuat karena tidak bertemu dengan kesiapan realitas kehidupan masyarakat sehari-hari.
Sanitasi perkotaan, terutama di kalangan warga menengah ke bawah, masih jauh dari kata ideal. Masih banyak rumah-rumah warga yang membuang limbah langsung ke selokan tanpa sistem penyaringan atau penampungan yang layak. Septic tank sebagai standar pengelolaan kotoran pun tidak dimiliki oleh semua rumah.
Kalaupun ada, fungsinya sering tidak maksimal karena dicampur dengan air sabun, air cucian, dan sisa-sisa limbah rumah tangga lainnya. Belum lagi, untuk menyedot septic tank, banyak warga yang menganggap itu bukan kebutuhan mendesak. Mereka menunda hingga bertahun-tahun, atau bahkan tidak pernah menyedotnya sama sekali.
Proyek penampungan peses untuk gas ini dibangun di sebelah timur kawasan yang sekarang menjadi lokasi Rumah Susun Warga. Secara fisik, kolam-kolam penampung sempat dibuat dan sempat pula dijalankan. Namun karena tidak berjalan sesuai rencana dan tidak menemukan keterikatan dengan pola hidup masyarakat, tempat itu akhirnya terbengkalai.
Lama-kelamaan, rumput dan semak-semak tumbuh menutupi sisa-sisa proyek tersebut. Keberadaannya pun seolah-olah hilang dari ingatan. Namun, meskipun demikian, proyek ini tidak bisa begitu saja disebut gagal. Ia pernah berjalan, pernah dicoba, dan pernah menjadi harapan. Hanya saja, ia tidak menemukan iklim sosial yang cukup untuk membuatnya hidup dan berakar.
Sementara itu, di bidang lain, justru ada sebuah program yang dari dulu hingga kini tetap berjalan dan justru menguat. Posyandu, yang sejak dulu dilaksanakan setiap bulan, terus bertahan. Ia bukan proyek besar dan bukan pula proyek yang selalu mendapat sorotan, tetapi keberlangsungannya menjadi bukti bahwa program yang terhubung dengan kebutuhan masyarakat sehari-hari akan lebih mampu terus hidup.
Kekuatan utamanya justru ada pada orang-orangnya, para kader yang mayoritas adalah ibu rumah tangga. Mereka bukan ASN, bukan pegawai pemerintah, dan tidak bergaji tetap. Tapi mereka hadir dalam setiap kesempatan, menyambut anak-anak balita, menimbang berat badan, memberi nasihat kesehatan, hingga mendistribusikan makanan tambahan.
Daya bertahan Posyandu sangat kuat karena menyatu dengan ritme kehidupan masyarakat. Para ibu yang datang membawa anaknya untuk menimbang berat badan anaknya, dan mereka datang karena merasa bagian dari komunitas. Ada rasa diterima dan dilibatkan.
Belum lagi, ketika kader menyediakan Pemberian Makanan Tambahan, secara tidak langsung program ini memberi dukungan berarti bagi keluarga kecil. Hal-hal semacam ini, meski terlihat sederhana, justru sangat membekas dan membangun ikatan yang kuat antara warga dan program.
Keberhasilan Posyandu juga karena adanya keberlanjutan. Ia tidak pernah putus, tidak terhenti karena pergantian pejabat atau perubahan program. Bahkan dari Posyandu, lahir lembaga lain yang kini menjadi pilar penting dalam pendidikan anak, yaitu PAUD.
Hal ini menunjukkan bahwa jika sebuah kegiatan benar-benar menyentuh kehidupan dasar warga, maka ia akan beranak-pinak, tumbuh secara organik, dan menjadi bagian dari keseharian. Tidak perlu diiklankan dengan banyak manipulasi kata, tidak harus didanai besar-besaran, tapi bisa terus berdenyut selama masih ada kebutuhan yang dirasakan.
Berbeda jauh dengan proyek-proyek yang hanya menjadi bagian dari seremonial, yang sekali jadi lalu ditinggalkan, Posyandu tumbuh seperti tanaman yang disiram dan dirawat. Ia menerima dukungan bukan hanya dari pemerintah, tetapi dari komunitas itu sendiri.
Seperti ketika Tim Penggerak PKK yang dipimpin oleh Hj. Isye mengunjungo Posyandu dan berbincang langsung dengan para kader. Interaksi semacam itu bukan hanya sekadar kunjungan biasa, melainkan jalinan rasa, penghargaan, dan pertemuan antara pengambil kebijakan dengan pelaku di lapangan.
Pengalaman dari proyek pengelolaan peses dan keberhasilan Posyandu memberi pelajaran besar bahwa kehidupan masyarakat tidak bisa diarahkan begitu saja oleh rencana-rencana besar, jika tidak ada ruang untuk mendengarkan dan menyerap denyut kehidupan itu sendiri. Masyarakat bukan bidang datar yang bisa digambari sesuka hati. Mereka adalah ruang dinamis yang punya irama sendiri, nilai-nilai sendiri, dan kebutuhan yang tidak selalu bisa dipetakan dengan angka.
Oleh karena itu, jika pemerintah hendak kembali merancang program di bidang sanitasi atau pengelolaan limbah, maka pelajaran dari kegagalan terdahulu harus menjadi titik tolak yang jujur. Sebuah program sebaiknya tidak hanya berbasis pada kehebatan teknologi atau kebaruan ide, tapi juga pada kedekatan dengan kehidupan nyata masyarakat. Jika tidak, ia akan kembali ditelan waktu.
Dan jika ingin ada program sekuat Posyandu, maka perlu ada penopang seperti para pelaku, ruang interaksi, rasa memiliki, dan kepercayaan timbal balik. Bukan sekadar instruksi dari atas, tetapi lengkap dengan gerakan dari bawah yang menemukan bentuknya dalam aktivitas sehari-hari.
Masyarakat bukan hanya butuh fasilitas, tapi juga ajakan untuk terlibat. Bukan hanya butuh struktur, tapi juga cerita yang menginspirasi. Ketika proyek-proyek pemerintah bisa menjadi bagian dari cerita kehidupan warga, maka di situlah ia akan diterima, dijaga, bahkan diwariskan.
Tidak heran jika Posyandu tidak memerlukan seruan setiap tahun agar dihidupkan kembali. Ia tidak pernah benar-benar mati, karena ia tumbuh bersama manusia, dijalankan oleh manusia, dan dirasakan manfaatnya langsung oleh manusia. Inilah yang membuatnya bertahan.
Maka, untuk setiap program pembangunan ke depan, penting untuk memikirkan satu hal mendasar, apakah masyarakat akan merindukannya ketika ia berhenti? Jika tidak, maka bisa jadi program itu hanya sebatas proyek. Tapi jika ya, maka ia adalah bagian dari hidup. Dan hidup, seperti yang ditunjukkan oleh para kader Posyandu, selalu tahu bagaimana caranya bertahan.
Gagasan ini, secara teknis dan arah kebijakan, sangat progresif dan menyentuh isu penting perkotaan yaitu pengelolaan limbah yang berkelanjutan sekaligus menghadirkan alternatif sumber energi. Namun, sayangnya, gagasan besar itu tidak bisa tumbuh kuat karena tidak bertemu dengan kesiapan realitas kehidupan masyarakat sehari-hari.
Sanitasi perkotaan, terutama di kalangan warga menengah ke bawah, masih jauh dari kata ideal. Masih banyak rumah-rumah warga yang membuang limbah langsung ke selokan tanpa sistem penyaringan atau penampungan yang layak. Septic tank sebagai standar pengelolaan kotoran pun tidak dimiliki oleh semua rumah.
Kalaupun ada, fungsinya sering tidak maksimal karena dicampur dengan air sabun, air cucian, dan sisa-sisa limbah rumah tangga lainnya. Belum lagi, untuk menyedot septic tank, banyak warga yang menganggap itu bukan kebutuhan mendesak. Mereka menunda hingga bertahun-tahun, atau bahkan tidak pernah menyedotnya sama sekali.
Proyek penampungan peses untuk gas ini dibangun di sebelah timur kawasan yang sekarang menjadi lokasi Rumah Susun Warga. Secara fisik, kolam-kolam penampung sempat dibuat dan sempat pula dijalankan. Namun karena tidak berjalan sesuai rencana dan tidak menemukan keterikatan dengan pola hidup masyarakat, tempat itu akhirnya terbengkalai.
Lama-kelamaan, rumput dan semak-semak tumbuh menutupi sisa-sisa proyek tersebut. Keberadaannya pun seolah-olah hilang dari ingatan. Namun, meskipun demikian, proyek ini tidak bisa begitu saja disebut gagal. Ia pernah berjalan, pernah dicoba, dan pernah menjadi harapan. Hanya saja, ia tidak menemukan iklim sosial yang cukup untuk membuatnya hidup dan berakar.
Sementara itu, di bidang lain, justru ada sebuah program yang dari dulu hingga kini tetap berjalan dan justru menguat. Posyandu, yang sejak dulu dilaksanakan setiap bulan, terus bertahan. Ia bukan proyek besar dan bukan pula proyek yang selalu mendapat sorotan, tetapi keberlangsungannya menjadi bukti bahwa program yang terhubung dengan kebutuhan masyarakat sehari-hari akan lebih mampu terus hidup.
Kekuatan utamanya justru ada pada orang-orangnya, para kader yang mayoritas adalah ibu rumah tangga. Mereka bukan ASN, bukan pegawai pemerintah, dan tidak bergaji tetap. Tapi mereka hadir dalam setiap kesempatan, menyambut anak-anak balita, menimbang berat badan, memberi nasihat kesehatan, hingga mendistribusikan makanan tambahan.
Daya bertahan Posyandu sangat kuat karena menyatu dengan ritme kehidupan masyarakat. Para ibu yang datang membawa anaknya untuk menimbang berat badan anaknya, dan mereka datang karena merasa bagian dari komunitas. Ada rasa diterima dan dilibatkan.
Belum lagi, ketika kader menyediakan Pemberian Makanan Tambahan, secara tidak langsung program ini memberi dukungan berarti bagi keluarga kecil. Hal-hal semacam ini, meski terlihat sederhana, justru sangat membekas dan membangun ikatan yang kuat antara warga dan program.
Keberhasilan Posyandu juga karena adanya keberlanjutan. Ia tidak pernah putus, tidak terhenti karena pergantian pejabat atau perubahan program. Bahkan dari Posyandu, lahir lembaga lain yang kini menjadi pilar penting dalam pendidikan anak, yaitu PAUD.
Hal ini menunjukkan bahwa jika sebuah kegiatan benar-benar menyentuh kehidupan dasar warga, maka ia akan beranak-pinak, tumbuh secara organik, dan menjadi bagian dari keseharian. Tidak perlu diiklankan dengan banyak manipulasi kata, tidak harus didanai besar-besaran, tapi bisa terus berdenyut selama masih ada kebutuhan yang dirasakan.
Berbeda jauh dengan proyek-proyek yang hanya menjadi bagian dari seremonial, yang sekali jadi lalu ditinggalkan, Posyandu tumbuh seperti tanaman yang disiram dan dirawat. Ia menerima dukungan bukan hanya dari pemerintah, tetapi dari komunitas itu sendiri.
Seperti ketika Tim Penggerak PKK yang dipimpin oleh Hj. Isye mengunjungo Posyandu dan berbincang langsung dengan para kader. Interaksi semacam itu bukan hanya sekadar kunjungan biasa, melainkan jalinan rasa, penghargaan, dan pertemuan antara pengambil kebijakan dengan pelaku di lapangan.
Pengalaman dari proyek pengelolaan peses dan keberhasilan Posyandu memberi pelajaran besar bahwa kehidupan masyarakat tidak bisa diarahkan begitu saja oleh rencana-rencana besar, jika tidak ada ruang untuk mendengarkan dan menyerap denyut kehidupan itu sendiri. Masyarakat bukan bidang datar yang bisa digambari sesuka hati. Mereka adalah ruang dinamis yang punya irama sendiri, nilai-nilai sendiri, dan kebutuhan yang tidak selalu bisa dipetakan dengan angka.
Oleh karena itu, jika pemerintah hendak kembali merancang program di bidang sanitasi atau pengelolaan limbah, maka pelajaran dari kegagalan terdahulu harus menjadi titik tolak yang jujur. Sebuah program sebaiknya tidak hanya berbasis pada kehebatan teknologi atau kebaruan ide, tapi juga pada kedekatan dengan kehidupan nyata masyarakat. Jika tidak, ia akan kembali ditelan waktu.
Dan jika ingin ada program sekuat Posyandu, maka perlu ada penopang seperti para pelaku, ruang interaksi, rasa memiliki, dan kepercayaan timbal balik. Bukan sekadar instruksi dari atas, tetapi lengkap dengan gerakan dari bawah yang menemukan bentuknya dalam aktivitas sehari-hari.
Masyarakat bukan hanya butuh fasilitas, tapi juga ajakan untuk terlibat. Bukan hanya butuh struktur, tapi juga cerita yang menginspirasi. Ketika proyek-proyek pemerintah bisa menjadi bagian dari cerita kehidupan warga, maka di situlah ia akan diterima, dijaga, bahkan diwariskan.
Tidak heran jika Posyandu tidak memerlukan seruan setiap tahun agar dihidupkan kembali. Ia tidak pernah benar-benar mati, karena ia tumbuh bersama manusia, dijalankan oleh manusia, dan dirasakan manfaatnya langsung oleh manusia. Inilah yang membuatnya bertahan.
Maka, untuk setiap program pembangunan ke depan, penting untuk memikirkan satu hal mendasar, apakah masyarakat akan merindukannya ketika ia berhenti? Jika tidak, maka bisa jadi program itu hanya sebatas proyek. Tapi jika ya, maka ia adalah bagian dari hidup. Dan hidup, seperti yang ditunjukkan oleh para kader Posyandu, selalu tahu bagaimana caranya bertahan.
Posting Komentar untuk "Memahami Paradigma Pembangunan Kota Sukabumi (12)"