Sebetulnya, saya tidak berniat menuliskan hal ini. Tentang dua hukum semesta yang acapkali disebut-sebut, yaitu hukum tarik-menarik (law of attraction) dan hukum getaran (law of vibration). Bahasan semacam ini sudah lama selesai di tangan para filsuf Yunani, pemikir Islam klasik, dan kaum sufi dari segala zaman.
Mereka menyebutnya dengan istilah berbeda, kadang metafisis, kadang psikologis, namun intinya satu, semesta ini bergetar dalam irama yang saling menarik dan menolak satu sama lain. Sehingga hidup manusia pun tak pernah lepas dari pola, peristiwa, dan getaran yang kita bangun dari dalam.
Saya merasa, apa yang terjadi pada diri kita, apa yang kita temui, siapa yang kita jumpai, dan bahkan apa yang tak sengaja kita alami, semuanya adalah efek dari getaran dan tarik-menarik itu.
Ketika kita hidup dengan pikiran jernih, dengan niat yang tulus, maka secara perlahan kita akan diselaraskan dengan hal-hal baik, meskipun bentuknya kadang tak disadari sebagai “baik” oleh orang lain. Mungkin justru tampak buruk di mata publik. Tapi semesta tidak bekerja dengan standar kasat mata, ia bekerja berdasarkan resonansi.
Misalnya saja siang tadi. Saya berjumpa dan berkomunikasi dengan tiga sosok yang selama ini terasa jauh dalam nalar saya, Kang Dedi Mulyadi, Kang Dicky Chandra, dan Kang Zein.
Bukan karena saya merasa tidak layak berdekatan dengan mereka. Tapi, seperti banyak orang lain, saya menempatkan mereka pada ruang publik yang sibuk, riuh, dan tidak mudah dijangkau. Maka ketika saya secara tidak sengaja berdiri, berbincang, dan bahkan berfoto bersama ketiga orang ini dalam satu waktu, saya terdiam sesaat. Refleksi muncul.
Saya tidak pernah menargetkan hal ini terjadi. Tidak pernah memproyeksikan keinginan itu secara sadar. Namun, saat semuanya terjadi begitu saja, saya merasa semesta sedang bekerja, dan saya sedang dalam getarannya.
Mereka bukan tokoh yang membangun viralitasnya dengan pencitraan, tetapi dengan konsistensi sikap dan kegelisahan yang nyata. Mungkin saja, hari ini, getaran dalam diri saya cocok dengan apa yang mereka pancarkan.
Salah satu dari mereka, Kang Dedi Mulyadi, hari itu memang hadir sebagai pembicara dalam Rapat Koordinasi Penguatan Sinergi Pemberantasan Korupsi yang diselenggarakan oleh KPK RI.
Saya meliput kegiatan ini sebagai bagian dari tugas. Tapi apa yang saya temukan jauh lebih dalam dari sekadar kegiatan formal. Di balik podium dan spanduk bertuliskan jargon-jargon antikorupsi, saya menangkap kegelisahan yang jujur dalam tutur KDM.
Selama dua puluh menit berpidato, KDM berbicara tentang data, regulasi, atau strategi pemberantasan korupsi. Ia juga bicara tentang kesadaran sebagai akar dari tindakan. Bahwa seorang kepala daerah bisa saja kuat menahan godaan untuk korupsi, tetapi bagaimana dengan pegawainya? Bagaimana dengan rekan bisnisnya? Bagaimana pula dengan masyarakat?
Bahkan untuk sekadar memasukkan anak ke sekolah negeri, masih ada orangtua yang dengan sadar memilih memberikan uang pada oknum. Ini bukan hanya soal korupsi di tingkat pejabat, tapi korupsi di dasar nalar kita sebagai bangsa.
Menurut KDM, satu-satunya solusi adalah peningkatan spiritualitas murni. Sadar, bahwa kita diawasi. Sadar, bahwa uang yang haram tak akan pernah memberi manfaat sejati. Sadar, bahwa kemiskinan yang kita tolak hari ini bisa digantikan oleh kehinaan yang lebih besar esok jika jalan yang ditempuh salah.
Dan kesadaran ini tidak bisa dibangun dengan spanduk dan seruan semata. Ia harus diinternalisasikan dalam keluarga, dalam sekolah, dan dalam birokrasi. Dalam ruang-ruang kecil yang sering luput dari perhatian.
Rapat itu tak ubahnya menjadi semacam refleksi nasional dalam miniatur lokal. Saya melihat wajah-wajah yang awalnya datang dengan ekspresi lelah, perlahan menjadi lebih jernih setelah mendengar narasi yang dibangun dengan kejujuran. Beberapa tertunduk. Beberapa orang mengangguk. Saya hanya bisa berharap, momen seperti itu tidak berhenti di ruang pertemuan saja, tapi mengalir keluar, membentuk gema yang lebih luas.
Sekali lagi saya dikuatkan oleh pemahaman lama bahwa hukum semesta berjalan tanpa bisa diintervensi. Ketika seseorang berlaku buruk, bahkan tanpa diawasi manusia, ada hukum lain yang akan mengurusnya. Semacam konsekuensi otomatis yang terbit dari semesta.
Kita tidak perlu terus ditakut-takuti dengan gambaran siksaan oleh api neraka di akhirat. Jika saja telah menyadari bahwa semua tindakan saat ini pun sudah dikawal oleh hukum yang lebih halus namun pasti, hukum sebab-akibat, hukum getaran, hukum keseimbangan.
Tentang bagaimana saya sebaiknya menjalani peran, bukan hanya sebagai pewarta kegiatan, tetapi juga sebagai bagian dari orbit kecil yang ikut berkontribusi, meski sekadar dari kesadaran paling dasar, salah satunya, tidak mencurangi hidup.
Kadang saya berpikir, apakah dengan menjalani hidup yang lurus dan sederhana, seseorang bisa benar-benar terbebas dari sistem yang korup ini? Mungkin tidak. Tapi saya percaya, setidaknya kita bisa menjadi pembeda dalam pola getaran yang dapat menular.
Karena ketika getaran kita bersih, kita akan menemukan peristiwa, orang, dan ruang yang juga bersih. Dan ketika itulah, kita tidak akan heran jika tiba-tiba dipertemukan dengan tokoh-tokoh hebat tanpa perlu memaksakan apapun. Sebab mereka bukan hadir karena panggung, tapi karena semesta menyapa kita melalui mereka.
Kamis, 10 Juli 2025. Sambil merasakan belaian angin yang semakin dingin di ujung hari...
Mereka menyebutnya dengan istilah berbeda, kadang metafisis, kadang psikologis, namun intinya satu, semesta ini bergetar dalam irama yang saling menarik dan menolak satu sama lain. Sehingga hidup manusia pun tak pernah lepas dari pola, peristiwa, dan getaran yang kita bangun dari dalam.
Saya merasa, apa yang terjadi pada diri kita, apa yang kita temui, siapa yang kita jumpai, dan bahkan apa yang tak sengaja kita alami, semuanya adalah efek dari getaran dan tarik-menarik itu.
Ketika kita hidup dengan pikiran jernih, dengan niat yang tulus, maka secara perlahan kita akan diselaraskan dengan hal-hal baik, meskipun bentuknya kadang tak disadari sebagai “baik” oleh orang lain. Mungkin justru tampak buruk di mata publik. Tapi semesta tidak bekerja dengan standar kasat mata, ia bekerja berdasarkan resonansi.
Misalnya saja siang tadi. Saya berjumpa dan berkomunikasi dengan tiga sosok yang selama ini terasa jauh dalam nalar saya, Kang Dedi Mulyadi, Kang Dicky Chandra, dan Kang Zein.
Bukan karena saya merasa tidak layak berdekatan dengan mereka. Tapi, seperti banyak orang lain, saya menempatkan mereka pada ruang publik yang sibuk, riuh, dan tidak mudah dijangkau. Maka ketika saya secara tidak sengaja berdiri, berbincang, dan bahkan berfoto bersama ketiga orang ini dalam satu waktu, saya terdiam sesaat. Refleksi muncul.
Saya tidak pernah menargetkan hal ini terjadi. Tidak pernah memproyeksikan keinginan itu secara sadar. Namun, saat semuanya terjadi begitu saja, saya merasa semesta sedang bekerja, dan saya sedang dalam getarannya.
Mereka bukan tokoh yang membangun viralitasnya dengan pencitraan, tetapi dengan konsistensi sikap dan kegelisahan yang nyata. Mungkin saja, hari ini, getaran dalam diri saya cocok dengan apa yang mereka pancarkan.
Salah satu dari mereka, Kang Dedi Mulyadi, hari itu memang hadir sebagai pembicara dalam Rapat Koordinasi Penguatan Sinergi Pemberantasan Korupsi yang diselenggarakan oleh KPK RI.
Saya meliput kegiatan ini sebagai bagian dari tugas. Tapi apa yang saya temukan jauh lebih dalam dari sekadar kegiatan formal. Di balik podium dan spanduk bertuliskan jargon-jargon antikorupsi, saya menangkap kegelisahan yang jujur dalam tutur KDM.
Selama dua puluh menit berpidato, KDM berbicara tentang data, regulasi, atau strategi pemberantasan korupsi. Ia juga bicara tentang kesadaran sebagai akar dari tindakan. Bahwa seorang kepala daerah bisa saja kuat menahan godaan untuk korupsi, tetapi bagaimana dengan pegawainya? Bagaimana dengan rekan bisnisnya? Bagaimana pula dengan masyarakat?
Bahkan untuk sekadar memasukkan anak ke sekolah negeri, masih ada orangtua yang dengan sadar memilih memberikan uang pada oknum. Ini bukan hanya soal korupsi di tingkat pejabat, tapi korupsi di dasar nalar kita sebagai bangsa.
Menurut KDM, satu-satunya solusi adalah peningkatan spiritualitas murni. Sadar, bahwa kita diawasi. Sadar, bahwa uang yang haram tak akan pernah memberi manfaat sejati. Sadar, bahwa kemiskinan yang kita tolak hari ini bisa digantikan oleh kehinaan yang lebih besar esok jika jalan yang ditempuh salah.
Dan kesadaran ini tidak bisa dibangun dengan spanduk dan seruan semata. Ia harus diinternalisasikan dalam keluarga, dalam sekolah, dan dalam birokrasi. Dalam ruang-ruang kecil yang sering luput dari perhatian.
Rapat itu tak ubahnya menjadi semacam refleksi nasional dalam miniatur lokal. Saya melihat wajah-wajah yang awalnya datang dengan ekspresi lelah, perlahan menjadi lebih jernih setelah mendengar narasi yang dibangun dengan kejujuran. Beberapa tertunduk. Beberapa orang mengangguk. Saya hanya bisa berharap, momen seperti itu tidak berhenti di ruang pertemuan saja, tapi mengalir keluar, membentuk gema yang lebih luas.
Sekali lagi saya dikuatkan oleh pemahaman lama bahwa hukum semesta berjalan tanpa bisa diintervensi. Ketika seseorang berlaku buruk, bahkan tanpa diawasi manusia, ada hukum lain yang akan mengurusnya. Semacam konsekuensi otomatis yang terbit dari semesta.
Kita tidak perlu terus ditakut-takuti dengan gambaran siksaan oleh api neraka di akhirat. Jika saja telah menyadari bahwa semua tindakan saat ini pun sudah dikawal oleh hukum yang lebih halus namun pasti, hukum sebab-akibat, hukum getaran, hukum keseimbangan.
Tentang bagaimana saya sebaiknya menjalani peran, bukan hanya sebagai pewarta kegiatan, tetapi juga sebagai bagian dari orbit kecil yang ikut berkontribusi, meski sekadar dari kesadaran paling dasar, salah satunya, tidak mencurangi hidup.
Kadang saya berpikir, apakah dengan menjalani hidup yang lurus dan sederhana, seseorang bisa benar-benar terbebas dari sistem yang korup ini? Mungkin tidak. Tapi saya percaya, setidaknya kita bisa menjadi pembeda dalam pola getaran yang dapat menular.
Karena ketika getaran kita bersih, kita akan menemukan peristiwa, orang, dan ruang yang juga bersih. Dan ketika itulah, kita tidak akan heran jika tiba-tiba dipertemukan dengan tokoh-tokoh hebat tanpa perlu memaksakan apapun. Sebab mereka bukan hadir karena panggung, tapi karena semesta menyapa kita melalui mereka.
Kamis, 10 Juli 2025. Sambil merasakan belaian angin yang semakin dingin di ujung hari...
Posting Komentar untuk "Hukum Getaran, Tarik-Menarik, dan Semesta Menyapa Melalui Orang Lain"