Keberlanjutan pembangunan di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, menghadapi tantangan serius sejak era reformasi bergulir.
Salah satu hambatan utamanya adalah model demokrasi elektoral yang menghasilkan kepala negara dan kepala daerah dari berbagai partai politik dengan kepentingan yang tidak selalu sejalan.
Perbedaan afiliasi politik ini menciptakan ketidaksinambungan kebijakan, terutama ketika pergantian kepemimpinan terjadi tanpa ikatan struktural maupun ideologis dengan pemimpin sebelumnya.
Meskipun demokrasi elektoral memberi ruang partisipasi politik secara luas, walakin praktik politik uang, intervensi elite, dan pengabaian pada keberlanjutan program pembangunan telah menimbulkan kekacauan dalam pelaksanaan kebijakan.
Tidak jarang, program yang telah dirancang dan dijalankan dengan matang dihentikan begitu saja karena tidak sesuai dengan orientasi politik kekuasaan baru. Hal ini menghambat proses pembangunan jangka panjang yang seharusnya berpijak pada kebutuhan masyarakat, bukan pada kehendak partai.
Contoh nyata terjadi ketika Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) dihentikan pasca terpilihnya Presiden Jokowi pada 2014.
Kedua program tersebut sebelumnya mendapat dukungan internasional, termasuk dari Bank Dunia, serta berbasis pada konsep pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Namun kebijakan baru yang menggantikannya, seperti Dana Desa, tidak selalu dirancang dengan prinsip partisipatori yang kuat.
Alih-alih memperkuat pemberdayaan masyarakat, pengelolaan Dana Desa justru menempatkan kepala desa sebagai aktor tunggal dengan kontrol anggaran yang besar.
Banyak kepala desa belum siap secara kapasitas maupun integritas, sehingga dana yang seharusnya digunakan untuk pengembangan desa sering berubah menjadi proyek yang menguntungkan secara pribadi atau kelompok.
Fenomena ini menandakan lemahnya sistem pendampingan, pengawasan, dan pembinaan dalam pelaksanaan program pembangunan di tingkat lokal.
Permasalahan menjadi lebih kompleks ketika para relawan dan volunteer pembangunan yang sebelumnya bekerja dalam program-program partisipatif justru diarahkan untuk memberikan dukungan kepada calon presiden atau kepala daerah tertentu.
Netralitas mereka terganggu, dan pembangunan menjadi alat politik. Ketika pasangan calon yang mereka dukung kalah, maka seluruh struktur dan relasi sosial yang telah dibangun melalui program pembangunan ikut tersingkir, bahkan dibubarkan.
Kondisi ini menunjukkan adanya krisis kontinuitas dalam perencanaan pembangunan. Kepala daerah yang terpilih melalui pilkada langsung cenderung mengedepankan janji politik yang tidak selalu sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD).
Janji politik, sering kali dirancang tim pemenangan tanpa kajian mendalam, kemudian dipaksakan masuk ke dalam kebijakan daerah melalui perubahan anggaran atau program baru. Situasi ini menimbulkan inkonsistensi dalam kebijakan publik dan membuat sistem perencanaan yang ada menjadi tidak efektif.
Pembangunan partisipatori sejatinya mengandalkan prinsip kolaborasi, akuntabilitas, dan keberlanjutan. Ia menempatkan masyarakat sebagai subjek, bukan objek.
Masyarakat tidak hanya dilibatkan dalam pelaksanaan program, tetapi juga dalam tahap perencanaan, pengawasan, hingga evaluasi. Konsep ini bertumpu pada keterbukaan informasi, transparansi anggaran, dan mekanisme sosial yang adil dan demokratis.
Namun, ketika perubahan kekuasaan tidak diiringi dengan mekanisme transisi kebijakan yang jelas dan menghargai partisipasi masyarakat, pembangunan partisipatori akan kehilangan pijakan.
Program-program baru yang muncul biasanya hanya mengganti nama atau struktur, tetapi substansinya tidak jauh berbeda dari yang lama.
Akibatnya, terjadi pemborosan anggaran dan tumpang tindih program, sementara rakyat tidak merasakan perubahan berarti.
Perlu dicatat bahwa sistem pembangunan yang efektif membutuhkan kesinambungan kebijakan. Pemerintah baru tidak selalu harus memulai dari nol.
Kebijakan dari masa lalu yang masih relevan seharusnya dapat diteruskan dan dikembangkan. Sayangnya, kepentingan politik sering kali mengaburkan objektivitas dalam melihat mana kebijakan yang berhasil dan mana yang tidak.
Kepemimpinan yang partisipatif dan berkelanjutan harus dimulai dari kesediaan elite politik untuk menempatkan kepentingan masyarakat di atas ambisi kekuasaan.
Pemerintah daerah seharusnya menjadi jembatan antara program pembangunan pusat dan kebutuhan nyata di lapangan, bukan sekadar alat untuk memenuhi janji kampanye.
Jika pola ini tidak dibenahi, pembangunan di negara berkembang akan terus berputar di tempat. Setiap periode kekuasaan hanya diisi oleh pencitraan dan program-program baru yang dibangun dengan semangat proyek, bukan sebagai proses panjang yang berakar pada kebutuhan rakyat.
Pembangunan yang baik bukan hanya tentang hasil fisik atau nominal anggaran yang terserap, tetapi tentang proses yang melibatkan dan memanusiakan masyarakat.
Dalam konteks ini, pembangunan partisipatori menjadi keharusan agar keberlanjutan dan keadilan dapat benar-benar tercapai.
Salah satu hambatan utamanya adalah model demokrasi elektoral yang menghasilkan kepala negara dan kepala daerah dari berbagai partai politik dengan kepentingan yang tidak selalu sejalan.
Perbedaan afiliasi politik ini menciptakan ketidaksinambungan kebijakan, terutama ketika pergantian kepemimpinan terjadi tanpa ikatan struktural maupun ideologis dengan pemimpin sebelumnya.
Meskipun demokrasi elektoral memberi ruang partisipasi politik secara luas, walakin praktik politik uang, intervensi elite, dan pengabaian pada keberlanjutan program pembangunan telah menimbulkan kekacauan dalam pelaksanaan kebijakan.
Tidak jarang, program yang telah dirancang dan dijalankan dengan matang dihentikan begitu saja karena tidak sesuai dengan orientasi politik kekuasaan baru. Hal ini menghambat proses pembangunan jangka panjang yang seharusnya berpijak pada kebutuhan masyarakat, bukan pada kehendak partai.
Contoh nyata terjadi ketika Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) dihentikan pasca terpilihnya Presiden Jokowi pada 2014.
Kedua program tersebut sebelumnya mendapat dukungan internasional, termasuk dari Bank Dunia, serta berbasis pada konsep pemberdayaan dan partisipasi masyarakat. Namun kebijakan baru yang menggantikannya, seperti Dana Desa, tidak selalu dirancang dengan prinsip partisipatori yang kuat.
Alih-alih memperkuat pemberdayaan masyarakat, pengelolaan Dana Desa justru menempatkan kepala desa sebagai aktor tunggal dengan kontrol anggaran yang besar.
Banyak kepala desa belum siap secara kapasitas maupun integritas, sehingga dana yang seharusnya digunakan untuk pengembangan desa sering berubah menjadi proyek yang menguntungkan secara pribadi atau kelompok.
Fenomena ini menandakan lemahnya sistem pendampingan, pengawasan, dan pembinaan dalam pelaksanaan program pembangunan di tingkat lokal.
Permasalahan menjadi lebih kompleks ketika para relawan dan volunteer pembangunan yang sebelumnya bekerja dalam program-program partisipatif justru diarahkan untuk memberikan dukungan kepada calon presiden atau kepala daerah tertentu.
Netralitas mereka terganggu, dan pembangunan menjadi alat politik. Ketika pasangan calon yang mereka dukung kalah, maka seluruh struktur dan relasi sosial yang telah dibangun melalui program pembangunan ikut tersingkir, bahkan dibubarkan.
Kondisi ini menunjukkan adanya krisis kontinuitas dalam perencanaan pembangunan. Kepala daerah yang terpilih melalui pilkada langsung cenderung mengedepankan janji politik yang tidak selalu sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD).
Janji politik, sering kali dirancang tim pemenangan tanpa kajian mendalam, kemudian dipaksakan masuk ke dalam kebijakan daerah melalui perubahan anggaran atau program baru. Situasi ini menimbulkan inkonsistensi dalam kebijakan publik dan membuat sistem perencanaan yang ada menjadi tidak efektif.
Pembangunan partisipatori sejatinya mengandalkan prinsip kolaborasi, akuntabilitas, dan keberlanjutan. Ia menempatkan masyarakat sebagai subjek, bukan objek.
Masyarakat tidak hanya dilibatkan dalam pelaksanaan program, tetapi juga dalam tahap perencanaan, pengawasan, hingga evaluasi. Konsep ini bertumpu pada keterbukaan informasi, transparansi anggaran, dan mekanisme sosial yang adil dan demokratis.
Namun, ketika perubahan kekuasaan tidak diiringi dengan mekanisme transisi kebijakan yang jelas dan menghargai partisipasi masyarakat, pembangunan partisipatori akan kehilangan pijakan.
Program-program baru yang muncul biasanya hanya mengganti nama atau struktur, tetapi substansinya tidak jauh berbeda dari yang lama.
Akibatnya, terjadi pemborosan anggaran dan tumpang tindih program, sementara rakyat tidak merasakan perubahan berarti.
Perlu dicatat bahwa sistem pembangunan yang efektif membutuhkan kesinambungan kebijakan. Pemerintah baru tidak selalu harus memulai dari nol.
Kebijakan dari masa lalu yang masih relevan seharusnya dapat diteruskan dan dikembangkan. Sayangnya, kepentingan politik sering kali mengaburkan objektivitas dalam melihat mana kebijakan yang berhasil dan mana yang tidak.
Kepemimpinan yang partisipatif dan berkelanjutan harus dimulai dari kesediaan elite politik untuk menempatkan kepentingan masyarakat di atas ambisi kekuasaan.
Pemerintah daerah seharusnya menjadi jembatan antara program pembangunan pusat dan kebutuhan nyata di lapangan, bukan sekadar alat untuk memenuhi janji kampanye.
Jika pola ini tidak dibenahi, pembangunan di negara berkembang akan terus berputar di tempat. Setiap periode kekuasaan hanya diisi oleh pencitraan dan program-program baru yang dibangun dengan semangat proyek, bukan sebagai proses panjang yang berakar pada kebutuhan rakyat.
Pembangunan yang baik bukan hanya tentang hasil fisik atau nominal anggaran yang terserap, tetapi tentang proses yang melibatkan dan memanusiakan masyarakat.
Dalam konteks ini, pembangunan partisipatori menjadi keharusan agar keberlanjutan dan keadilan dapat benar-benar tercapai.
Posting Komentar untuk "Pembangunan Partisipatori dan Tantangan Politik di Negara Dunia Ketiga"